Suasana Pondok Baca Ajar di rumah pegiat literasi Heri Chandra Santoso di Dusun Slamet RT 01 RW 08, Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)
Di sudut kampung, jauh dari hiruk pikuk kota, para relawan Taman Baca Masyarakat (TBM) Karya Mulya Palembang terus melakukan kegiatan untuk mengajar anak-anak agar bisa membaca, menulis dan memahami makna dari bacaan yang ada. "Program ini hidup karena relawan termasuk warga dan komunitas yang peduli terhadap pendidikan," jelas Inisiator TBM Karya Mulya, Yuli Harsiah kepada IDN Times, Rabu (2/7/2025).
Yuli menceritakan, TBM Karya Mulya menjadi tempat bernaungnya anak-anak dari beragam usia di wilayah Karya Mulya Palembang. Berawal dari hobi, jadi aksi literasi yang lahir dari keinginan seorang ibu rumah tangga yang sempat dilanda kejenuhan dan ingin tetap produktif tanpa harus jauh dari keluarga.
Setiap pekannya, tawa anak-anak terdengar menyatu dengan halaman buku-buku bergambar, nyanyian dan semangat para relawan. Kegiatan literasi yang ada terlihat sepele namun begitu bermanfaat untuk masyarakat.
Berdiri sejak 2017, TBM Karya Mulya memiliki program utama yang digelar rutin setiap Senin, Rabu, dan Jumat serta akhir pekan. Anak-anak diajak membaca bersama, mengenal huruf, berdongeng, dan bahkan belajar sesuai apa yang ingin mereka baca.
"Saya percaya, anak-anak tidak bisa dipaksa. Kita hanya bisa mendampingi dan mengajak mereka dengan cara yang menyenangkan. Kalau mereka belum tertarik, tidak masalah. Yang penting pintunya selalu terbuka," jelas Yuli.
Meski menjadi inisiator, Yuli tidak bisa mengembangkan TBM sejauh ini tanpa bantuan dari para relawan dan masyarakat. Tak jarang ada komunitas yang datang membantu mengajar dan mendonasikan buku atau sekedar menemani anak-anak belajar.
"Dukungan dari pemerintah kelurahan, kecamatan, hingga kota juga turut memperkuat eksistensi TBM ini. Salah satu bentuk dukungan konkret adalah penyediaan fasilitas Wi-Fi gratis, yang bisa dimanfaatkan anak-anak untuk mengerjakan tugas, mencari informasi edukatif, atau mengakses video pembelajaran," beber dia.
Yuli mencatat, ada sekitar 5 ribu lebih buku yang menjadi koleksi TBM Karya Mulya. Buku-buku tersebut tidak asal masuk menjadi bacaan, lantaran dirinya turut menyeleksi buku apa saja yang bisa dibaca anak-anak. Tidak semua buku dipajang, dirinya lebih selektif dalam memilah buku-buku sesuai dengan umur anak-anak. Buku-buku seperti komik dewasa disimpan terpisah. "Hal ini dikarenakan pengunjung TBM didominasi anak-anak," jelas dia.
Sebagai pegiat literasi, Heri Condro Santoso tak pernah lelah untuk membuka ruang, mengajak anak-anak membaca dan mencintai buku. Dari rumahnya di Dusun Slamet RT 01 RW 08 Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal ia mendirikan Pondok Baca Ajar.
Hal tersebut dilakukan pria berusia 42 tahun itu sejak tahun 2007. Selama 18 tahun ia mengajak anak-anak di sekitar tempat tinggalnya untuk gemar membaca dengan mendirikan pondok baca di ruang tamu rumahnya. Ia menata ruang tamu dengan rak-rak yang berisi ratusan buku.
Lalu, dari satu pintu ke pintu rumah tetangganya ia mengajak anak-anak datang ke rumahnya untuk mengenal buku dan membaca. Upaya itu dilakukan semata agar aktivitas literasi tetap hidup melalui pembiasaan membaca sejak dini pada anak-anak.
Kini, Heri mengembangkan ruang membaca itu menjadi sebuah perpustakaan mandiri di belakang rumah. Usahanya tetap sama, yakni membiasakan anak-anak membaca buku meskipun di era serba digital seperti sekarang. Sebagaimana terjadi fenomena banyak anak-anak lebih pandai bermain gawai daripada membaca.
Kondisi itu tak membuat Heri diam saja. Selain membuka ruang perpustakaan di rumahnya, ia juga mendirikan klub baca untuk menarik anak-anak membaca buku. Ia terus berupaya mengenalkan anak-anak dengan bacaan, khususnya buku cerita.
Selain itu, mendampingi mereka saat membaca. Kemudian, melalui kegiatan membaca buku bersama, Heri juga mengajak anak-anak bermain dan berkreasi bersama melalui berbagai program atau kegiatan misalnya, Sanggar Ajar, Tilik Kebun Karet, Tilik Sungai. Pada kegiatan itu, selain mengenalkan literasi, Heri juga mendekatkan anak-anak pada alam.
“Mereka antusias. Dan, membaca juga antusias. Sekali lagi, jika akses bacaan memadai, lingkungan mendukung, orang tua juga mendampingi, minat baca anak akan terbentuk dengan sendirinya. Persoalan kita sekali lagi, kesadaran sudah ada, tapi belum ada proses pembiasaan. Maka itu, peran orangtua di rumah sangat penting dalam upaya peningkatan literasi,” tegasnya.
Mraen Mimpi adalah komunitas literasi yang sudah terbentuk sejak tahun 2017 dengan berbagai program menarik seperti safari literasi gratis, pinjam buku gratis, dan sebagainya. Mereka kerap menggelar lapak membaca buku di lokasi yang berbeda-beda hingga mereka menyadari bahwa tak sedikit anak-anak yang masih kesulitan membaca lancar.
"Biasanya, kami mendapat cerita dari tuan rumah (tempat menggelar acara membaca). Misalnya si A, belum bisa membaca padahal usianya seharusnya sudah bisa, sudah SD," kata Muhammad Sidqi Irsyadi, pegiat komunitas Mraen Mimpi saat diwawancarai melalui WhatsApp, Jumat (4/7/2025).
Ia menjelaskan, sebelum memulai program kolaborasi, ada briefing antar panitia yang mewanti-wanti kalau akan ada satu-dua anak turut hadir tapi belum bisa membaca dan minta untuk didampingi. Sedangkan jika saat mengadakan program membaca buku gratis seperti di Alun-alun Wates, pihak orangtua sendiri yang bercerita kalau anaknya belum pandai membaca.
Hal kini dilakukan Irsyad dan tim Mraen Mimpi dalam mengupayakan peningkatan literasi anak bangsa yaitu melalui program Safari Mraen Mimpi dan buka lapak. Safari Mraen Mimpi misalnya, diadakan di berbeda-beda tempat yang meski diakui oleh Irsyad belum bisa jangka panjang karena bergantung dengan tuan rumah yang berkolaborasi dengan mereka.
Ada juga program buka lapak baca buku gratis yang telah rutin dilakukan di Alun-alun Wates tiap Minggu pagi yang dimulai sejak awal tahun 2025. Tak sampai di situ, Irsyad mengatakan bahwa ia juga siap membantu siapa pun yang ingin membuka perpustakaan baik melalui sistem pinjam atau donasi buku.
Di Rumah Literasi Ranggi Sumatera Utara, berupaya kreatif tapi semaksimal mungkin di bidang literasi. Sebab, masih berswadaya dan berkolaborasi. "Jadi, masih bekerja sama dengan pihak-pihak universitas dan relawan-relawan dan hari ini susah mencari relawan yang royal dan punya idealisme untuk benar-benar ikut memiliki visi berbuat karena namanya relawan tidak digaji,” jelasnya.
Tidak hanya itu, di Rumah Literasi Ranggi, anak yang putus sekolah karena berbagai faktor misalnya karena tidak ada adminduk atau akta kelahiran, dikarenakan orang tuanya juga tidak memiliki KTP dan KK akan dibantu.
Kemudian, ada juga anak yang mengalami perundungan di sekolahnya dan orang tuanya juga tidak peduli. Sehingga, anak tersebut tidak mau sekolah lagi. Maka, peran Rumah Literasi Ranggi mencoba membujuk dan memberi pengertian untuk anak tersebut dididik. Sehingga, anak tersebut kembali mendaftar masuk sekolah lagi.
"Ada juga karena masalah keluarga orangtuanya, bapaknya botot mamaknya di pabrik sarang walet jadi punya bayi lagi, anaknya agak besar jadi disuruh jaga adiknya sehingga tidak bisa sekolah. Hal ini menjadi kompleks masalahnya, dan inilah yang kami hadapi. Jadi, kami berusaha semaksimal mungkin. Kami berharapnya banyak pihak yang peduli, karena kami selain kekurangan Sumber Daya Manusia, kami juga kurang daya sumber ekonominya untuk mendukung proses belajar mengajar seperti ini, supaya lebih maksimal, supaya lebih efektif dan bisa menginterpretasikan lebih banyak anak lagi," jelas Ranggini.
Anak yang dijadikan narasumber dalam pemberitaan ini hanya inisial merujuk Pedoman Penulisan Ramah Anak. Anak didampingi orang tua saat reporter IDN Times melakukan tugas jurnalistik. Pedoman Pemberitan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dan indikator lainnya