Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kecanduan gadget (Freepik.com/ sodawhiskey)
ilustrasi kecanduan gadget (Freepik.com/ sodawhiskey)

Intinya sih...

  • Program literasi TBM Karya Mulya di Palembang menjadi tempat bernaung bagi anak-anak untuk belajar membaca, menulis, dan memahami makna dari bacaan

  • Pegiat literasi seperti Heri Condro Santoso mendirikan perpustakaan mandiri di rumahnya dan mengajak anak-anak membaca buku serta berkreasi bersama

  • Rumah Literasi Ranggi di Sumatera Utara berupaya kreatif dalam bidang literasi dengan berkolaborasi, membantu anak-anak putus sekolah atau yang mengalami perundungan untuk kembali ke sekolah

Bandar Lampung, IDN Times - Z tampak sibuk dengan gawainya siang itu. Berbagai jenis game ia coba, bahkan tamatkan. Sekilas memang tak ada yang berbeda dengan anak berusia 9 tahun itu. Namun, saat ditanya soal jam, ia menggeleng kepala.

Ketimbang mencoba menjawabnya, ia memilih menyerahkan ponsel di tangannya. Z meminta sang penanya untuk melihatnya sendiri. Begitu pula ketika dimintai tolong untuk berbelanja ke warung, Z hanya membayarkan uang tanpa tahu berapa nominal yang ia pegang. Begitupun dengan kembalian yang harus ia terima. 

Ketika berhadapan dengan tugas sekolah di kelas, siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) di Kota Mojokerto Provinsi Jawa Timur ini lebih sering mencoret-coret isi bukunya. Ia sama sekali tidak mengerti apa tugas yang ada di dalamnya. Jangankan tugas harian, saat ujian datang, Z juga tak pernah gusar, atau mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ironis memang, tapi itulah yang terjadi, Z masih buta angka dan aksara, sama sekali.

Masih di kota yang sama, ada K, murid kelas 6 SD berumur 12 tahun yang masih mengalami kesulitan baca, tulis, dan hitung. Beda dengan Z yang berasal dari keluarga normal, pertumbuhan dan pengembangan diri K memang tak terpantau keluarga besarnya.  Ia berasal dari keluarga sederhana dan ayahnya pernah mengalami insiden kecelakaan yang mengakibatkan cedera di kepala sehingga membuat ayah K mengalami disabilitas mental. Sejak saat itu, pendidikan K memang seperti tak ada yang menggubris. 

Beruntung, baru-baru ini K didaftarkan ke sebuah lembaga pendidikan yang fokus pada pembelajaran baca, tulis dan hitung. Dalam proses belajarnya, K mengaku masih kerap mendapat ejekan dari teman lesnya. Kini, perlahan K bisa mengeja beberapa kata. 

Kejadian lainnya, A (9), seorang siswi sekolah dasar (SD) kelas 3 di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Meski belum begitu lancar membaca, ia menunjukkan kemampuan yang cukup piawai mengoperasikan perangkat gawai, termasuk penggunaan aplikasi digital hingga permainan daring.

Dalam wawancara disertai pendampingan orang tua, A mengaku kerap mengalami kesulitan memahami maupun mengikuti kegiatan belajar mengajar yang disampaikan di kelas. “Kadang tidak paham karena penjelasannya cepat, tapi malu bertanya di kelas,” ujarnya singkat dengan wajah yang polos.

FA, salah satu siswa kelas 4 sekolah dasar di Bandung, mengaku lebih suka memegang gawai ketimbang membaca buku. Ia tak menampik, bisa membaca tapi belum lancar meski sudah kelas 4. Menurutnya, gawai lebih menyenangkan ketimbang membaca buku sehingga dia malas ketika harus diminta membaca, menulis, atau menghitung. "Enakan pegang HP kan bisa lihat apa saja. Tinggal diklik gampang," ujar FA kepada IDN Times, Jumat (4/7/2025).

FA memang sudah terbiasa memegang gawai sejak duduk di bangku sekolah dasar. Awalnya dia diberi gawai milik orang tuanya. Namun sekarang dia sudah punya sendiri. Meski kadang disimpan oleh ibunya karena terlalu sering bermain gawai, FA sesekali mengambil gawai milik kakek atau neneknya untuk bermain. "Saya pakai buat main game aja," ungkap dia.

Dia menyebut, membaca buku kadang membosankan karena mata harus lihat terus huruf. Berbeda dengan ponsel yang dipakai sudah bisa didengarkan dan langsung tahu apa yang dimaksud. "Jadi lebih enak kalau pegang HP kan bisa tahu banyak juga," selorohnya.

1. Ternyata di IKN ada anak kelas 4 SD belum bisa membaca

Keenam perusahaan yang sepakat berinvetasi di IKN berasal dari berbagai sektor strategis, mulai dari kuliner, perhotelan, pendidikan, ritel modern, hingga konstruksi dan properti, baik komersial maupun residensial. (IDN Times/Erik Alfian)

Hasil asesmen inovasi dilakukan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) mengungkapkan temuan mengejutkan yakni, sejumlah siswa kelas 4 Sekolah Dasar (SD) di wilayah IKN masih belum bisa membaca. Fakta ini menjadi perhatian serius pemerintah.

“Saya terus terpikirkan apa yang disampaikan pak Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono. Dari hasil asesmen, ditemukan bahwa masih ada siswa kelas 4 SD di IKN yang belum bisa membaca,” kata Suwito, Direktur Pelayanan Dasar, Kedeputian Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, saat membuka School Improvement Project IKN 2025 di SDN 011 Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Senin (30/6/2025).

Kejadian tak kalah miris lainnya di Indonesia adalah ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali belum bisa membaca dengan lancar. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana. Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, faktor motivasi belajar yang rendah sekitar 50 persen. Kedua, peran orang tua yang tidak memperhatikan anaknya untuk belajar, itu sekitar 20 persen. Ketiga, faktor disleksia gangguan pada neuron anak sekitar 10 hingga 15 persen.

"Ada juga karena faktor lain-lain itu sekitar 55 persen. Mungkin di sana karena ada faktor gurunya, faktor lingkungan sekolah, dan sebagainya. Jadi banyak faktor yang menyebabkan," jelasnya.

Dari data yang didapatinya, faktor yang paling dominan ialah soal motivasi belajar yang rendah. Saat ini, anak-anak dinilai senang bermain game yang tidak mengedukasi. Banyak anak yang suka bermain handphone dan kecanduan media sosial.

Hal tersebut membawa pengaruh kepada tingkat pembelajaran siswa. Dari temuannya, bahkan ada siswa yang tidak bisa menulis di buku pelajaran. Situasi tersebut mendominasi dari faktor penyebab lainnya. "Rasa ingin tahunya atau ingin belajar rendah sekali. Itu penyebabnya," terangnya.

Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) bernama Nisa (20) membagikan pengalamannya tahun lalu ketika mengajar dalam program Kampus Merdeka di salah satu sekolah di Surabaya Timur. Nisa menyampaikan di sekolah tempatnya mengajar, terdapat 30 murid dari kelas 1 sampai 6 SD yang masih belum mahir baca, tulis, dan hitung. 

Selama 4 bulan mengabdi, Nisa bercerita anak-anak tersebut selalu memperhatikannya selama mengajar, tetapi tidak paham dengan apa yang ia sampaikan. Mereka lebih cenderung aktif dan bersemangat dengan kegiatan luar kelas seperti Pramuka dan membuat kerajinan tangan. 

Permasalahan lebih besar terjadi saat ujian. Para siswa yang buta aksara ini tetap dipaksa untuk mengikutinya. Walhasil, mereka pun mengisi jawaban dengan apa adanya, sehingga nilainya juga apa adanya. Tak cuma soal nilai, masalah lain juga timbul dalam pergaulan sehari-hari. Siswa-siswa tersebut mengaku kerap dikucilkan.

2. Pengakuan orang tua, intensitas anak gunakan gawai tinggi

ilustrasi pengguna kecanduan gadget (Pexels/Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare)

Juwita ibu dari A siswi kelas 3 SD di Lampung Selatan mengakui, penggunaan intensitas gawai oleh anaknya cukup tinggi bisa sekitar 3 hingga 5 jam per hari. Waktu itu sebagian besar digunakan untuk menonton video, bermain game, dan mengakses berbagai aplikasi hiburan lainnya.

“Sebenarnya saya khawatir, tapi di sisi lain saya tidak bisa terus-menerus mendampingi. Kadang pemberian gawai menjadi cara untuk membuat anak tetap di rumah,” ucapnya.

Sadar akan dampak negatif ditimbulkan terhadap penggunaan gawai, khususnya dari smartphone. Ia dan suami kini perlahan mulai mengurangi kebiasaan dilakukan anak sulungnya tersebut. "Ya sebisa mungkin, sekarang sudah kami kurangi untuk lebih disiplin," lanjut dia.

Terkait upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca anak, Juwita menyebut sudah mencoba berbagai pendekatan mulai dari bimbingan belajar hingga mengawasi perkembangan anak di rumah sehari-hari. Namun dikarenakan persoalan biaya, A kini lebih banyak melakoni pembelajaran tambahan. Khusus membaca di bawah bimbingan kedua orang tuanya langsung.

“Kami berharap ada perhatian lebih, terutama pendekatan pengajaran yang bisa menyesuaikan dengan kemampuan anak, karena tidak semua anak bisa mengikuti metode yang sama di kelas,” katanya.

Gundah gulana orang tua terkait anak belum bisa membaca disampaikan Ebi (nama samaran) saat berbincang dengan IDN Times beberapa waktu lalu. "(anak) Sudah hafal huruf tapi belum bisa baca. Dia tahu alfabet dari nonton di handphone," ucap warga menetap di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ini.

Diketahui, Ebi adalah ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Anak pertamanya, inisial AF tahun ajaran baru ini masuk SD. Namun kata Ebi, sang anak belum bisa membaca, bahkan mengeja. Padahal lanjutnya, sejak usia tiga tahun dia sudah tahu jenis huruf.

"Di kamar itu, ditempel karton huruf warna-warni. Dulu dia (anaknya) suka nanya, ini apa itu apa, ya saya kasih tau. Lama-lama dia hafal. Tapi sekarang dia belum bisa baca juga," ujarnya.

Ebi mengatakan, sejak memiliki anak kedua, fokus dan perhatian ke anak pertamanya terbagi. Dia terkadang bingung dan kesulitan harus prioritas anak yang mana dahulu. Sebab, ia mengurus buah hatinya tanpa bantuan suami. Bukan karena pasangannya tak peduli, melainkan jarak yang memisahkan. Ebi dan suami menjalani hubungan long distance married, karena sang suami harus bekerja di luar Palembang untuk menafkahi mereka.

Karena merasa AF, anak pertamanya sudah mengetahui huruf, dia yakin sang anak akan dengan mudah membaca kelak. Dirinya pun mulai abai untuk konsisten belajar bersama anak. Dia lebih memilih memberikan anaknya gawai agar AF bisa lebih anteng sembari dia mengurus anak keduanya. Aktivitas itu Ebi lakukan sehari-hari. Bahkan sampai ia memiliki tiga anak.

Namun, ketika AF memasuki usia sekolah, dia baru tersadar anaknya sulit konsentrasi untuk belajar. AF lebih tertarik mengutik permainan yang ada di telepon genggamnya, ketimbang melihat buku dengan beragam pembelajaran untuk fase awal sekolah. Bukan tanpa usaha, Ebi pun memasukkan anaknya itu ke Taman Kanak-kanak (TK) di sekitar rumah di usia 4 tahun 8 bulan.

Tujuannya, agar sang anak bisa belajar didampingi tenaga pendidik. Namun hingga usia hampir 6 tahun, anaknya belum pandai mengeja. Kerap kali AF bertanya, huruf apa yang ada di depannya, saat dihadapkan sebuah tulisan.

"Misal kalau di jalan, kan banyak pamflet ada merek apa gitu, nah dia tahu itu huruf M, atau I atau A gitu. Tapi dia gak bisa bacanya. Contoh warung makan tegal ya tulisannya, dia tahu semua huruf itu tapi pas baca bingung," kata Ebi.

Butuh waktu panjang Ebi mencari penyebab kenapa sang anak sulit fokus. Hingga akhirnya, ia menemukan jawaban kalau anaknya itu tak bisa lepas dan ketergantungan dengan smartphone atau telepon pintar. Ia tahu masalah tersebut, setelah konsultasi dengan wali kelas AF di waktu TK agar mengajak anaknya, ke psikolog.

"Kata gurunya gak bisa fokus belajar karena dia itu maunya main game terus. Coba konsultasi ke yang ahli soal psikis biar bisa lepas sama HP," jelasnya.

Syukurlah, lambat laun anak laki-laki Ebi itu sudah bisa mengeja, walaupun belum lancar. Ternyata kata Ebi, terpenting agar anak itu dapat membaca adalah pendampingan orang tua dan memang berikan gawai itu di waktu yang tepat. Bukan sebagai jawaban agar sang anak anteng, karena asik bermain smartphone.

"Kadang suka nyesel, kenapa ya terlalu dini kasih HP. Tapi ya sudah yang penting sekarang sudah tau jawabannya. Jangan merasa salah, tapi cari gimana solusinya," katanya.

3. Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari buta huruf

ilustrasi angka buta huruf (unsplash.com/@thoughtcatalog)

Data siswa SMP di Kabupaten Buleleng yang belum lancar membaca sekitar 360 siswa dari sekitar 70 sekolah swasta maupun negeri. Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana mengatakan, dalam satu sekolah ada delapan anak yang belum lancar membaca. Bahkan, dalam satu sekolah ada 20 siswa belum lancar membaca. Data tersebut belum termasuk data sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama di Buleleng.

"Ini masih fluktuatif, waktu awal kita kisaran 400 siswa (yang belum lancar baca). Tadi setelah diskrining, karena sedang berproses juga, beberapa sudah mulai keluar dari zona itu. Sehingga ada 360 siswa," jelasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, dikutip IDN Times per 1 Juli 2025 dari pembaruan data pada 8 Mei 2024, Angka buta huruf paling tinggi di Sumsel terdapat di kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), yaitu 3,36 persen dengan rincian 4,26 persen buta huruf dialami laki-laki dan 0,82 persen dialami kaum perempuan dari jumlah penduduk 674.184 jiwa.

Kemudian wilayah buta huruf tertinggi nomor dua di Sumsel adalah Kabupaten Banyuasin, yakni 1,97 dengan rincian 1,55 persen terjadi pada laki-laki dan 2,41 persen perempuan dengan total penduduk sepanjang 2024 berjumlah 885.902 jiwa. Lalu, angka buta huruf tertinggi nomor tiga terjadi di Ogan Komering Ilir (OKI) 1,77, dengan rincian 1,55 persen laki-laki dan 1,99 persen perempuan dari jumlah penduduk 807.085 jiwa. Sedangkan dari keseluruhan data buta huruf di Sumsel, Palembang menempati angka paling rendah, tercatat hanya 0,55 persen dengan rincian laki-laki 0,27 persen sedangkan perempuan 0,83 persen

Secara akumulasi data BPS, jumlah buta huruf di Sumsel mendominasi dari jenis kelamin perempuan. Tercatat paling banyak selama 3 tahun berturut-turut, BPS mencatat jika persentase laki-laki di bawah 1 persen. Namun yang paling penting perempuan maupun laki-laki yang buta huruf sama-sama memiliki kesempatan sama mendapatkan pengajaran dan pendampingan untuk tahu cara baca.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS terdapat data angka buka aksara Provinsi Jawa Barat presentasenya pada 2024 mencapai 1,31 persen dari jumlah penduduk. Angka ini perlahan menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya pada 2022 (1,38 persen) dan 2023 (1,36 persen).

Adapun dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat terdapat tiga daerah yang presentase angka melek huruf untuk anak 15 tahun ke atas masih rendah pada 2024 karena berada di bawah rata-rata, yaitu Indramayu hanya 93,26 persen, Cirebon 96,49 persen, dan Subang, 96,39 persen.

Berdasarkan data BPS 2024, angka buta huruf atau buta aksara di NTB masih cukup tinggi. Angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di NTB berada di atas rata-rata nasional. Angka buta huruf di NTB pada 2024 sebesar 9,17 persen, jauh di atas angka buta huruf rata-rata nasional yakni sebesar 3,05 persen.

Angka buta huruf di NTB sebesar 9,17 persen paling banyak perempuan yaitu sebesar 11,69 persen, sedangkan laki-laki sebesar 6,56 persen. Sedangkan secara nasional, perempuan yang buta huruf sebesar 3,97 persen dan laki-laki sebesar 2,13 persen.

Jika dibandingkan dengan dua provinsi tetangga yaitu Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT), angka buta huruf di NTB juga masih jauh lebih tinggi. Angka buta huruf di Bali sebesar 3,89 persen terdiri dari laki-laki 1,98 persen dan perempuan sebesar 5,8 persen. Sedangkan angka buta huruf di NTT sebesar 4,35 persen, terdiri dari laki-laki 3,82 persen dan perempuan 4,86 persen.

Angka buta aksara di Provinsi Banten masih tergolong tinggi. Kabupaten Lebak menjadi wilayah dengan persentase terbesar. Dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia tahun 2023, angka buta aksara penduduk di Provinsi Banten mencapai 1,03 persen atau sekitar 124.702 orang. Data ini menempatkan Banten masuk 10 provinsi dengan angka buta aksara tertinggi di Indonesia. Lalu di Kabupaten Lebak, angka ini mencapai 2,28 persen atau sekitar 23.000 orang.

Koordinator JPPI, Ubaid Matraji menilai, tingginya angka buta aksara di Banten menunjukkan buruknya kualitas pendidikan dasar di daerah tersebut. “Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dasar kita sangat buruk sekali. Problemnya ada di kompetensi guru yang rendah dan juga beban serta tuntutan kurikulum yang berlebihan,” kata Ubaid, Minggu (6/7/2025).

Ubaid menjelaskan, fakta masih adanya siswa yang buta huruf di Banten mengindikasikan akses pendidikan dasar yang berkualitas belum merata. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena kesenjangan akses, kualitas pengajaran yang rendah, sarana prasarana pendidikan yang minim, serta faktor ekonomi keluarga yang tidak mendukung pendidikan anak.

“Keluarga dengan latar belakang ekonomi rendah mungkin kesulitan mendukung pendidikan anak-anak mereka, dan anak-anak sering kali terpaksa bekerja,” ujarnya.

Data angka buta aksara di Indonesia dari BPS. (IDN Times/Aditya Pratama).
Data angka buta aksara di Indonesia dari BPS. (IDN Times/Aditya Pratama).

4. Egoisme terselubung orang tua

Ilustrasi ayah anak main hp(pexels.com/August de Richelieu)

Pegiat literasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) Dedy Ahmad Hermansyah menyoroti peran keluarga terkait fenomena anak melek digital tapi buta huruf alias tidak lancar membaca dan menulis. Fenomena yang terjadi di era serba digital ini sangat disayangkan. Dia mengibaratkan anak-anak usia SD seperti gelas kosong yang masih bisa dibentuk.

"Umur segitu, anak-anak banyak bersama keluarga. Kalau di sekolah cuma setengah hari, belum lagi ditambah hari libur. Mau tidak mau di keluarga yang punya peran sangat penting, tapi bukan berarti sekolah gak ada peran," kata Dedy saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Sabtu (5/7/2025).

Pada era serba digital saat ini, gawai atau gadget bukan harus dimusuhi. Karena itu adalah perkembangan teknologi yang menjadi bukti kecerdasan manusia bisa membuat gawai. Seharusnya, gawai memudahkan dan membantu dalam meningkatkan minat baca anak-anak.

Sekarang banyak platform-platform digital yang ramah anak seperti YouTube Kids dan lainnya. Menurutnya, hal itu tinggal dimanfaatkan oleh orang tua untuk meningkatkan minat baca anak. Namun kecenderungan yang terjadi sekarang, orang tua memberikan gawai ke anaknya bukan niat baik.

"Kecenderungan sekarang orang dewasa kasih gawai ke anak, itu bukan niat baik tetapi egoisme terselubung orang dewasa. Maksudnya karena tidak mau direpotkan. Bukan karena anak-anak mau belajar tapi kepentingan orang dewasa tidak mau diganggu atau direpotin kemudian anaknya dikasih HP," jelas Dedy.

Pendiri Komunitas Teman Baca Kota Mataram ini mengatakan orang tua asal memberikan gawai ke anaknya. Mereka juga tIdak tahu apakah anaknya mengakses konten yang benar atau tidak asalnya tidak direpotkan. Gawai tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan minat baca. "Penggunaan secara literatif gawai ini tidak dimanfaatkan. Makanya aku menyoroti peran keluarga," kata Dedy.

Selain keluarga, sekolah juga berperan dalam meningkatkan minat baca para siswa. Sekolah harus membuat perpustakaan yang nyaman bagi anak-anak. Dari sisi desain perpustakaan sekolah harus menarik sehingga membuat siswa merasa nyaman.

"Jadi anak-anak yang punya habit membaca akan betah. Anak-anak yang baru tumbuh minat bacanya tertarik ke perpustakaan. Cuma kecenderungan anak-anak bilang perpustakaan kita masih sangat kaku. Anak-anak suka yang asyik-asyik kayak Perpustakaan Kota Mataram," ujarnya.

Di zaman serba digital ini, kata Dedy, tidak ada alasan untuk tidak membaca. Jika alasannya harga buku mahal, sekarang banyak buku digital yang dapat diakses secara gratis. Dia mengatakan kemajuan teknologi jangan dianggap sebagai ancaman. Memang kemajuan teknologi ada ekses negatif dan positifnya. Tetapi manfaat positifnya yang harus diambil untuk peningkatan literasi.

Muhammad Sidqi Irsyadi, pegiat komunitas Mraen Mimpi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, menjelaskan, ada korelasi antara pemakaian gawai yang berlebihan dengan kurangnya kecakapan membaca. "Kalau saya lihat, rata-rata masih dikarenakan HP. Kalau pun untuk menengah ke bawah mereka juga sudah main HP meski pun bukan main HP-nya sendiri," ucap lelaki yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur tersebut.

Irsyad menambahkan, peran orang tua cukup penting. Kesadaran orang tua diharapkan hadir untuk bersedia belajar soal parenting. "Emosinya anak-anak ini kemudian dialihkannya ke gawai yang menurut saya menjadi masalah juga," imbuh dia

Irsyad mengatakan, kasus belum lancar membaca yang pernah dilihatnya langsung adalah anak-anak usia masuk SD. "Rata-rata usia TK sampai SD kelas 1, 2, sampai 3. Bahkan ada juga yang kelas 4 atau 5 SD belum bisa membaca," tuturnya.

Dari seringnya menggelar lapak membaca di berbagai tempat, Irsyad jadi mengamati tingkah laku anak-anak yang belum bisa membaca ini dan memahami bahwa akhirnya, mereka kebanyakan hanya melihat gambar yang terdapat pada buku. Di sinilah peran fasilitator dari Komunitas Mraen Mimpi. Tidak hanya sebatas menggelar dan menata buku, tapi membantu menceritakan tentang isi dan inti cerita di dalamnya.

Menurut Irsyad, literasi di kalangan anak-anak bisa ditingkatkan dengan penambahan jumlah perpustakaan yang dimulai dari yang paling mendasar seperti di tingkatan desa hingga jam operasional perpustakaan menjadi 24 jam. Anak-anak pun perlu didekatkan dengan buku melalui cara menyenangkan hingga akhirnya terbentuk kebiasaan suka membaca.

"Kalau bisa perpus itu 24 jam buka. Soalnya kalau kita ditanya bukanya kapan jam berapa, kami 24 jam buka. Kita malam pun kalau ada yang datang biasanya juga welcome, gak kita tolak," ujar dia.

Selain itu, dia juga berharap perpustakaan semakin banyak sehingga anak semakin mudah mengaksesnya. "Jumlah anak dengan jumlah perpus yang ada, yang mungkin sesuai standar belum sesuai. Dan menambah saran tadi, memperbanyak jumlah perpus lagi," kata

Pegiat Komunitas Lereng Medini Kendal Jawa Tengah, Heri Condro Santoso, menjelaskan kecanduan gawai ini dapat mengurangi kemampuan anak untuk memahami teks tertulis dan mengembangkan kemampuan analisis. Maka itu, orang tua perlu mengenalkan anak pada bacaan sejak dini ketika usia semakin meningkat, disiplinkan anak untuk membaca. Kalau perlu ada jam-jam tertentu untuk membaca bersama di ruang keluarga,” jelas ayah dari dua anak ini.

Saat kegiatan itu, lanjut Heri, singkirkan atau jauhkan segala perangkat digital. Ia meyakini pembatasan interaksi anak-anak dengan gawai dapat membantu mengembalikan kendali atas waktu, perhatian, konsentrasi, fokus pada tujuan. Termasuk dalam upaya meningkatkan minat baca.

Ketua Komunitas Lampung Literature, Devin Nodestyo juga menanggapi fenomena masih ditemukannya anak-anak buta huruf di Provinsi Lampung. Menurutnya, kondisi ini tidak serta-merta menjadi tanggung jawab penuh pemerintah, melainkan peran dan fungsi orang tua juga patut dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan.

"Ini bentuk orang tua yang tidak memperdulikan masa depan anaknya. Jika ekonomi jadi alasan, sekarang banyak bantuan atau beasiswa bagi anak yang tidak mampu misalnya. Anak tidak bisa disalahkan, karena kita tahu anak-anak belum dapat berpikir jauh, ia hanya mengikuti kehendak senangnya saja," katanya.

Oleh karena itu, kegiatan belajar membaca sejak dini di zaman sekarang masih sama pentingnya di zaman dahulu. Orang tua disebut harus bisa memberi pengertian bahwa membaca itu menyenangkan dan amat penting.

"Dalam hal ini, semua pihak punya peran dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kapasitasnya, adanya smartphone atau gadget itu hanya media untuk memberikan kemudahan dalam mengakses sesuatu, tapi terpenting adalah peran orang tua, mulainya pendidikan diawali dari rumah," lanjut dia.

5. Era digital tak semua menjadi serba mudah

ilustrasi orang kecanduan gawai (unsplash.com/Marvin Meyer)

Era digital tak semua menjadi serba mudah, terutama dalam mengentas persoalan buta huruf. Di era ketika anak-anak lebih pintar mengoperasikan gawai ketimbang membaca dan menulis, menjadi persoalan baru yang harus menjadi perhatian.

Inisiator Taman Baca Masyarakat (TBM) Karya Mulya Kota Palembang Provinsi Sumatra Selatan, Yuli Harsiah menyebut, salah satu tantangan memberikan edukasi terkait literasi yakni, masih adanya anak yang butu huruf. Ia menilai, tidak semua anak mempunyai proses yang sama dalam belajar. Menurutnya, proses edukasi yang cerialah menjadi awal agar anak-anak dapat menyukai dunia literasi.

"Termasuk anak saya salah satu contohnya. Dulunya mengalami proses belajar membaca cukup lama. Namun dengan pendekatan yang menyenangkan sesuai konsep belajar ceria, anak-anak diajak belajar tanpa tekanan," jelas dia.

Permasalahan buta huruf menjadi masalah nasional, Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari buta huruf. Tanpa belajar menyenangkan, pendidikan akan semakin jauh untuk dicintai mereka. Permasalahan buta huruf dan minimnya literasi ini merupakan proses yang panjang untuk diselesaikan. "Kembali lagi kepada keinginan masing-masing anak, apakah mereka ingin didamping dan belajar," jelas dia.

Fenomena melek digital tapi gagap membaca ini menurut Heri Condro Santoso pendiri Pondok Baca Ajar di Dusun Slamet RT 01 RW 08 Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah sangat memprihatinkan. “Melihat realitas ini, saya ikut prihatin. Namun, prihatin saja, saya kira tak cukup. Bagi saya ini menjadi peringatan.. Peringatan bagi semua pihak, mulai orangtua, pihak sekolah, hingga Pemerintah. Sebab, ini persoalan kompleks,” katanya kepada IDN Times, Sabtu (5/7/2025).

Pegiat Komunitas Lereng Medini ini menuturkan, tak ada satu penyebab tunggal dalam fenomena anak-anak mengalami melek digital tapi tak lancar membaca atau memahami bacaan. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam literasi pada anak-anak kita.

Dari pengamatan di lingkungan tempat tinggalnya, menurut Heri mengalami hal serupa meski masih dalam kadar yang belum parah. Persoalan membaca memang masih menjadi masalah. Ada anak SD yang sudah bisa membaca terbata-bata, ada yang sudah lancar, dan ada pula yang belum bisa membaca meski ia sudah mulai mengenal huruf dan angka-angka.

Sementara bagi pemerintah, Heri berharap agar memperkuat ekosistem literasi. Sebab, literasi butuh gerakan bersama. “Pemerintah punya perangkat kebijakan atau political will yang bisa mengatur untuk memperkuat ekosistem literasi. Kemudian, benahi kembali gerakan literasi di sekolah dan kesadaran literasi keluarga. Lalu, bangun gerakan bersama dengan pegiat literasi di berbagai daerah,” tandas Heri.

Ketua Komunitas Lampung Literature, Devin Nodestyo mengatakan, literasi masyarakat Lampung kini mengalami kemunduran secara kualitas. Itu akibat banyaknya konsumsi konten hiburan terbilang kurang mendidik di platform digital.

"Secara kuantitas memang meningkat karena adanya platform digital seperti TikTok, YouTube, Instagram yang hampir seluruh masyarakat bisa mengaksesnya. Tetapi secara kualitas tentu jauh dari yang diharapkan," ujarnya dikonfirmasi, Kamis (4/7/2025).

Devin tidak menampik pemerintah tetap memiliki tanggung jawab besar dalam penyediaan akses dan program literasi. Oleh karenanya, ia turut mengkritisi peran pemerintah dalam membina ekosistem literasi di Lampung.

Pemerintah sejauh ini dinilai tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa dalam mengembangkan dunia literasi, yang seharusnya bisa memfasilitasi dan menciptakan ruang-ruang untuk literasi.

Ketua Rumah Literasi Ranggi dari Sumatra Utara, Ranggini mengakui, sebagian anak ditempatnya memang ada yang buta huruf dan melek digital. Hal ini menurutnya, sangat miris.

"Kalau yang sepengetahuan kami khususnya di lingkungan anak-anak di Rumah Literasi Ranggi, ataupun dari pertemuan kita-kita sesama penyelenggara kegiatan literasi atau sesama literasi skala di kabupaten hingga nasional di pertemuan yang dua kali terakhir diikuti secara nasional di Jakarta. Ternyata memang sampai hari ini miris, ada anak naik kelas terus dari SD sampai SMP," jelas Ranggini pada IDN Times.

Dia mengatakan, ada kebijakan beberapa tahun terakhir ini di sekolah, yang menyatakan memang tidak boleh tinggal kelas. Meskipun, murid tersebut belum layak atau belum bisa membaca.

"Jadi, anak bisa atau tidak bisa dia harus naik kelas. Belum lagi proses belajar mengajar yang dijalankan di sekolah itu, apakah sudah benar-benar seperti yang seharusnya atau bagaimana. Kita kan sudah tahu juga dimana justru sekarang kadang-kadang kita temui di kelas itu anak-anak justru membuat konten yang tidak seharusnya bahkan guru juga. Nah, itu sekarang kondisi yang kami lihat," ucapnya.

Strategi baginya untuk bisa mendidik anak tanpa pemakaian gadget di Rumah Literasi Ranggi ini adalah dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan positif, untuk mengalihkan mereka dari gadget. "Tapi, sebetulnya disisi lain gadget itu sendiri kan di era digital sekarang ini justru bisa untuk positif memberikan pelajaran bagi mereka supaya lebih mudah, menarik dan efektif. Baik itu perhitungan atau pengetahuan lainnya," katanya.

Menurutnya, anak yang rajin membaca itu jika dikorelasikan dengan digital tentunya bisa saja. Tetapi, rajin membaca itu juga tidak semata dari digital.

"Kita bisa membuat cara-cara yang menarik seperti belajar membaca nyaring, bercerita sehingga mereka lebih rajin membaca. Kalau rajin membaca kan tidak buta huruf lagi. Tetapi cara-caranya memang harus kita kreatifkan, kita kreasikan semenarik mungkin dan kalau bisa dikaitkan juga dengan digital. Misalnya, kegiatan yang kami buat itu kami dokumentasikan baik mereka belajarnya, baik mereka bercerita jadi mereka semakin merasa menarik kegiatan yaitu yang kita buat di Rumah Literasi Ranggi," tambah Ranggi.

6. Ini kata pemerintah daerah

Ilustrasi anak-anak membaca (freepik.com/jcomp)

Merespons kondisi anak-anak usia sekolah masih mengalami buta huruf dan masih banyak orang yang belum bisa membaca, Wali Kota Palembang Ratu Dewa mengakui, jika dinas pendidikan masih harus evaluasi program literasi dan numerasi sebagai tiang utama dalam pembelajaran.

"Kita juga tahu, beberapa survei mengatakan bahwa anak-anak bahkan ada juga orang tua yang tidak bisa baca dan informasinya meningkat, dari survei-survei ini, maka dari itu ini menjadi PR kita," jelasnya, Kamis (3/7/2025).

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Americo menyampaikan keprihatinan terhadap masih ditemukannya siswa SD belum mampu membaca dengan lancar. Diakui, fenomena ini ditemukan pada anak pada kelompok sekolah dasar maupun menengah. Oleh karenanya, jajaran dinas setempat di kabupaten dan kota terus melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kondisi kemampuan literasi siswa di Provinsi Lampung.

“Dari hasil monitoring kami sejauh ini, kasus buta huruf pada siswa masih ditemukan di kalangan anak SD maupun SMP, terutama di wilayah akses pendidikannya belum merata seperti di daerah terpencil, pesisir, dan perbatasan kabupaten,” ucapnya.

Selain itu, berdasarkan laporan dari dinas pendidikan kabupaten maupun kota, fenomena ini tidak banyak ditemukan di pusat kota atau ibu kota provinsi. “Mayoritas justru berada di wilayah terpencil yang mungkin infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajarnya masih terbatas,” lanjut dia.

Guna mengentaskan kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung telah menyiapkan sejumlah langkah. Salah satunya melalui program pendampingan belajar dan peningkatan kapasitas guru di daerah dengan tingkat literasi rendah.

“Kami mengarahkan dinas pendidikan kabupaten/kota agar melakukan asesmen awal terhadap kemampuan membaca siswa, lalu dilanjutkan dengan program pemulihan pembelajaran secara bertahap,” katanya.

Ia turut menekankan pentingnya penanaman budaya literasi sejak dini di sekolah-sekolah dasar, termasuk dengan mengintegrasikan literasi digital secara seimbang.

“Literasi itu tidak hanya soal membaca buku, tetapi juga kemampuan memahami informasi. Maka ke depan, kami akan dorong pelatihan literasi digital yang tetap berakar pada kemampuan dasar seperti membaca dan menulis,” tambah Thomas.

Saat ini Pemerintah Kota Bandung menyiapkan aturan agar siswa yang datang ke sekolah tidak membawa ponsel. Harapannya para siswa bisa lebih fokus untuk belajar ketimbang menggunakan ponsel selama proses belajar mengajar.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan memastikan kebijakan larangan membawa ponsel atau HP bagi siswa sekolah akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru setelah Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) selesai. Saat ini, kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian dan penyusunan Instruksi Wali Kota (Inwal).

Dia menjelaskan, kebijakan ini bertujuan menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif tanpa gangguan gawai di ruang kelas, sekaligus menindaklanjuti instruksi dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Untuk memperkuat dasar kebijakan, Pemkot Bandung juga menggandeng akademisi dari perguruan tinggi untuk melakukan kajian lebih mendalam.

“Nanti begitu selesai SPMB, saya akan bicara dengan Disdik dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) karena ada beberapa kajian yang sedang kita pelajari,” jelas Farhan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB Abdul Aziz mengatakan pengentasan buta huruf menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Karena jenjang pendidikan SD dan SMP berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan Pemprov NTB punya kewenangan untuk jenjang pendidikan SMA/SMK sederajat dan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Untuk pengentasan buta aksara yang cukup tinggi di NTB, pada 2008-2013, Pemprov NTB pernah membuat program menekan angka buta aksara menjadi nol atau Absano. Tahun 2009 dilakukan pendataan warga buta aksara, tercatat sebanyak 417.000 warga NTB yang termasuk penyandang buta aksara. Angka ini cukup besar, karena mencapai sekitar 10 persen dari penduduk NTB yang berjumlah 4,2 juta jiwa pada waktu itu.

Program Absano dilaksanakan melalui program Pemberantasan Buta Aksara (PBA) dan Keaksaraan Fungsional, dengan mengarahkan dana sebesar Rp10 juta untuk masing-masing desa se NTB. Selain mengangkat tutor dari masing-masing desa program, juga dikerahkan mahasiswa yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk melakukan Keaksaraan Fungsional.

Hasilnya, dari 417.000 warga itu, sebanyak 108.000 orang telah dididik selama 32 hari sampai bulan November 2009 dan sebanyak 96.000 orang di antaranya dinyatakan lulus. Namun, saat ini program tersebut tidak lagi berlanjut.

Kepala Program Implementasi Tanoto Foundation, Merryen Silalahi, menjelaskan, School Improvement Project IKN 2025 merupakan bagian dari program induksi yang akan berlangsung selama tiga tahun ke depan. “Program ini hasil kolaborasi Tanoto Foundation dan Otorita IKN, didukung Balai Guru dan Tenaga Kependidikan (BGTK) Kaltim, Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP), serta mitra pembangunan seperti Tim Inovasi dan Astra,” tuturnya.

Program ini menyasar pendidikan anak usia dini hingga sekolah dasar, sejalan dengan visi IKN sebagai kota cerdas berkelanjutan dan pusat keunggulan pendidikan nasional. “Pelatihan melibatkan guru, kepala sekolah, dan pengawas. Sekolah yang terlibat akan mendapat pelatihan intensif dari kami,” imbuhnya.

Merryen juga mengapresiasi dedikasi para tenaga pendidik dan berharap program ini menjadi harapan baru untuk pendidikan yang lebih baik di IKN. Ia menjelaskan, Tanoto Foundation memiliki tiga program utama yakni, Sigap untuk anak usia 0-6 tahun, Pintar untuk pendidikan dasar, dan Teladan, yaitu program beasiswa bagi mahasiswa semester awal. “Kami telah bermitra dengan 10 universitas di Indonesia, termasuk Universitas Mulawarman di Kalimantan Timur,” jelasnya.

7. Mengenal disleksia, salah satu indikator siswa belum lancar membaca

ilustrasi media anak disleksia (pexels.com/Yan Krukov)

Pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Dr. Hitta Alfi Muhimmah, M.Pd. menyebut beberapa kesulitan yang umum terjadi pada anak-anak buta aksara di lingkungan sekolah adalah ketinggalan pelajaran dan kurang memahami instruksi dari gurunya. Menurut Hitta, anak yang mengalami hambatan intelektual itu usia intelektualnya berbeda dengan usia biologisnya. Kondisi intelektual yang berbeda dengan teman sebayanya juga menjadikan mereka tidak percaya diri dan alhasil mendapatkan perlakuan diskriminasi dari teman-temannya.

Apabila berbicara mengenai anak yang mahir bermain gawai sedangkan dirinya sendiri masih kesulitan calistung, Hitta mengatakan tidak ada sinkronisasi antara kemahiran anak mengoperasikan gawai dan kesanggupannya untuk baca tulis. Secara digital memang maju, tetapi secara literasi perlu dipertanyakan karena di gawai lebih banyak visualnya.

Fenomena siswa di Kabupaten Buleleng tidak bisa membaca, jadi masalah serius terhadap dunia pendidikan di Bali. Melihat persoalan ini, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) mempersiapkan pendampingan bagi para siswa yang kesulitan baca, tulis, dan hitung (calistung).

Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan, Psikologi, dan Bimbingan FIP Undiksha, Prof Dr I Gde Wawan Sudatha SPd ST, mengatakan, ada panduan dan tindakan yang masih dipersiapkan. “Kami di FIP sedang mempersiapkan panduan dan tindakan yang akan diberikan. Tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Tapi kami menyasar jangka panjang untuk guru dan siswa,” jelas Sudatha saat dihubungi IDN Times, Minggu (20/4/2025).

Sudatha menambahkan, saat ini FIP Undiksha tengah menyesuaikan metode pembelajaran dengan kendala yang dialami siswa. “Metode menyesuaikan dengan kesulitan belajar peserta didik. Karena itu kami berusaha menganalisis kesulitan belajar siswa,” ungkap Sudatha.

Selain membaca, pendampingan dari FIP Undiksha juga akan menyasar kemampuan menulis dan berhitung para siswa di Buleleng. Sementara itu, beberapa anak dengan diagnosis disleksia dan kebutuhan khusus akan ditangani oleh tim khusus. Tim khusus tersebut juga bertugas mendiagnosis, dan menyusun strategi pembelajaran yang tepat serta efektif.

“Tentunya nanti kalau siswa yang berkebutuhan khusus ada tim yang menangani, dan ada tim pembelajaran yang menangani masalah kesulitan belajar siswa,” kata dia.

Ada juga yang disebut dengan tim pembelajaran. Tim ini, kata Sudatha akan mempersiapkan berbagai metode pembelajaran. Sehingga siswa bisa membaca lebih cepat. Para dosen dan mahasiswa terlibat dalam pendampingan intensif ini. “Tim yang dipersiapkan ini akan melibatkan dosen-dosen FIP dan mahasiswa yang akan dibagi ke beberapa daerah di Buleleng,” ungkap Sudatha.

Disleksia disebut satu dari beberapa penyebab ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng yang belum bisa membaca dengan lancar. Angkanya sekitar 10-15 persen. Psikolog Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah, Lyly Puspa Palupi, mengatakan disleksia adalah gangguan neurologi di mana seseorang mengalami kesulitan belajar secara spesifik. Ini ditandai dengan adanya kesulitan dalam membaca, mengeja, dan menulis yang tidak disebabkan oleh masalah penglihatan, pendengaran kecerdasan atau keterampilan berbahasa yang normal.

"Jadi disleksia itu ketidakmampuan belajar yang berbasis bahasa. Jadi disleksia merujuk pada sekumpulan gejala yang menyebabkan orang-orang mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa tertentu. Khususnya membaca," ujarnya.

Lyly menjelaskan, biasanya gangguan disleksia ini diketahui di usia sekolah. Dalam masa ini, kemampuan membaca jadi satu kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh anak-anak di usia sekolah. Jadi, siswa-siswa yang mengalami disleksia itu biasanya mengalami kesulitan dan keterampilan dalam mengeja, menulis, atau mengucapkan kata-kata.

"Memang pada akhirnya, biasanya di situlah terdeteksi ketika anak pada usia yang seharusnya menguasai kemampuan membaca dengan lancar, pada akhirnya diketahui mengalami kesulitan dalam membaca, bahkan mengeja," terangnya.

Lalu apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Lyly menyebutkan, beberapa faktor risiko munculnya gangguan tersebut hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa dugaan. Pertama, dari faktor genetik atau keturunan yang diturunkan dari orangtuanya. Kemudian juga faktor yang memperburuk risiko seperti anak-anak lahir dalam keadaan prematur, atau dengan berat badan lahir yang juga rendah.

Selain hal itu, paparan zat berbahaya selama kehamilan misalnya nikotin, alkohol, dan napza juga bisa memengaruhi perkembangan otak janin. "Cedera atau trauma pada otak juga bisa menyebabkan disleksia. Namun sekali lagi belum ada penelitian yang bisa menjelaskan penyebab pasti dari disleksia," paparnya.

Untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami disleksia atau tidak, memang gejalanya bisa berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain. Namun bisa diobservasi atau dilihat. Misalnya ketika anak mengalami kesulitan dalam mempelajari nama dan suara dari suatu abjad.

"Misalnya dia sulit mengucapkan M menjadi N gitu, dan itu berulang kali. Bukan karena faktor ketidakmatangan dari organ di mulut. Begitu sudah dilatih, tetap tidak bisa membedakan. Kemudian perkembangan kemampuan bicaranya bisa lebih lambat dibandingkan teman-teman sebayanya," jelasnya.

"Jadi kita bisa melihat tuh misalnya pada usia tertentu, 2-3 tahun diharapkan sudah lancar dalam berbicara membentuk kata kalimat, menyusun dan bercerita. Namun pada anak-anak disleksia bisa jadi terlambat. Kemudian sering mendiskata secara terbalik misalnya BOK, pada anak disleksia jadinya KOB" lanjutnya.

Lalu di beberapa aktivitas anak juga mengalami kesulitan misalnya memahami informasi, instruksi, kesulitan menemukan jawaban, dan kata-kata untuk menjawab pertanyaan.

"Sebenarnya dia paham pertanyaannya, dia tahu jawabannya namun ketika harus menjelaskan kata atau kalimat itu dia kesulitan. Kesulitan dalam mengeja, membaca, menulis menghitung. Kesulitan mengingat huruf angka warna kemudian agak sulit memahami aturan aturan dalam menulis," paparnya.

8. Pegiat literasi jadi lentera harapan

Suasana Pondok Baca Ajar di rumah pegiat literasi Heri Chandra Santoso di Dusun Slamet RT 01 RW 08, Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Di sudut kampung, jauh dari hiruk pikuk kota, para relawan Taman Baca Masyarakat (TBM) Karya Mulya Palembang terus melakukan kegiatan untuk mengajar anak-anak agar bisa membaca, menulis dan memahami makna dari bacaan yang ada. "Program ini hidup karena relawan termasuk warga dan komunitas yang peduli terhadap pendidikan," jelas Inisiator TBM Karya Mulya, Yuli Harsiah kepada IDN Times, Rabu (2/7/2025).

Yuli menceritakan, TBM Karya Mulya menjadi tempat bernaungnya anak-anak dari beragam usia di wilayah Karya Mulya Palembang. Berawal dari hobi, jadi aksi literasi yang lahir dari keinginan seorang ibu rumah tangga yang sempat dilanda kejenuhan dan ingin tetap produktif tanpa harus jauh dari keluarga.

Setiap pekannya, tawa anak-anak terdengar menyatu dengan halaman buku-buku bergambar, nyanyian dan semangat para relawan. Kegiatan literasi yang ada terlihat sepele namun begitu bermanfaat untuk masyarakat.

Berdiri sejak 2017, TBM Karya Mulya memiliki program utama yang digelar rutin setiap Senin, Rabu, dan Jumat serta akhir pekan. Anak-anak diajak membaca bersama, mengenal huruf, berdongeng, dan bahkan belajar sesuai apa yang ingin mereka baca.

"Saya percaya, anak-anak tidak bisa dipaksa. Kita hanya bisa mendampingi dan mengajak mereka dengan cara yang menyenangkan. Kalau mereka belum tertarik, tidak masalah. Yang penting pintunya selalu terbuka," jelas Yuli.

Meski menjadi inisiator, Yuli tidak bisa mengembangkan TBM sejauh ini tanpa bantuan dari para relawan dan masyarakat. Tak jarang ada komunitas yang datang membantu mengajar dan mendonasikan buku atau sekedar menemani anak-anak belajar.

"Dukungan dari pemerintah kelurahan, kecamatan, hingga kota juga turut memperkuat eksistensi TBM ini. Salah satu bentuk dukungan konkret adalah penyediaan fasilitas Wi-Fi gratis, yang bisa dimanfaatkan anak-anak untuk mengerjakan tugas, mencari informasi edukatif, atau mengakses video pembelajaran," beber dia.

Yuli mencatat, ada sekitar 5 ribu lebih buku yang menjadi koleksi TBM Karya Mulya. Buku-buku tersebut tidak asal masuk menjadi bacaan, lantaran dirinya turut menyeleksi buku apa saja yang bisa dibaca anak-anak. Tidak semua buku dipajang, dirinya lebih selektif dalam memilah buku-buku sesuai dengan umur anak-anak. Buku-buku seperti komik dewasa disimpan terpisah. "Hal ini dikarenakan pengunjung TBM didominasi anak-anak," jelas dia.

Sebagai pegiat literasi, Heri Condro Santoso tak pernah lelah untuk membuka ruang, mengajak anak-anak membaca dan mencintai buku. Dari rumahnya di Dusun Slamet RT 01 RW 08 Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal ia mendirikan Pondok Baca Ajar.

Hal tersebut dilakukan pria berusia 42 tahun itu sejak tahun 2007. Selama 18 tahun ia mengajak anak-anak di sekitar tempat tinggalnya untuk gemar membaca dengan mendirikan pondok baca di ruang tamu rumahnya. Ia menata ruang tamu dengan rak-rak yang berisi ratusan buku.

Lalu, dari satu pintu ke pintu rumah tetangganya ia mengajak anak-anak datang ke rumahnya untuk mengenal buku dan membaca. Upaya itu dilakukan semata agar aktivitas literasi tetap hidup melalui pembiasaan membaca sejak dini pada anak-anak.

Kini, Heri mengembangkan ruang membaca itu menjadi sebuah perpustakaan mandiri di belakang rumah. Usahanya tetap sama, yakni membiasakan anak-anak membaca buku meskipun di era serba digital seperti sekarang. Sebagaimana terjadi fenomena banyak anak-anak lebih pandai bermain gawai daripada membaca.

Kondisi itu tak membuat Heri diam saja. Selain membuka ruang perpustakaan di rumahnya, ia juga mendirikan klub baca untuk menarik  anak-anak membaca buku. Ia terus berupaya mengenalkan anak-anak dengan bacaan,  khususnya buku cerita.

Selain itu, mendampingi mereka saat membaca. Kemudian, melalui kegiatan membaca buku bersama, Heri juga mengajak anak-anak bermain dan berkreasi bersama melalui berbagai program atau kegiatan misalnya, Sanggar Ajar, Tilik Kebun Karet, Tilik Sungai. Pada kegiatan itu, selain mengenalkan literasi, Heri juga mendekatkan anak-anak pada alam.

“Mereka antusias. Dan, membaca juga antusias. Sekali lagi, jika akses bacaan memadai, lingkungan mendukung, orang tua juga mendampingi, minat baca anak akan terbentuk dengan sendirinya. Persoalan kita sekali lagi, kesadaran sudah ada, tapi belum ada proses pembiasaan. Maka itu, peran orangtua di rumah sangat penting dalam upaya peningkatan literasi,” tegasnya.

Mraen Mimpi adalah komunitas literasi yang sudah terbentuk sejak tahun 2017 dengan berbagai program menarik seperti safari literasi gratis, pinjam buku gratis, dan sebagainya. Mereka kerap menggelar lapak membaca buku di lokasi yang berbeda-beda hingga mereka menyadari bahwa tak sedikit anak-anak yang masih kesulitan membaca lancar.

"Biasanya, kami mendapat cerita dari tuan rumah (tempat menggelar acara membaca). Misalnya si A, belum bisa membaca padahal usianya seharusnya sudah bisa, sudah SD," kata Muhammad Sidqi Irsyadi, pegiat komunitas Mraen Mimpi saat diwawancarai melalui WhatsApp, Jumat (4/7/2025).

Ia menjelaskan, sebelum memulai program kolaborasi, ada briefing antar panitia yang mewanti-wanti kalau akan ada satu-dua anak turut hadir tapi belum bisa membaca dan minta untuk didampingi. Sedangkan jika saat mengadakan program membaca buku gratis seperti di Alun-alun Wates, pihak orangtua sendiri yang bercerita kalau anaknya belum pandai membaca.

Hal kini dilakukan Irsyad dan tim Mraen Mimpi dalam mengupayakan peningkatan literasi anak bangsa yaitu melalui program Safari Mraen Mimpi dan buka lapak. Safari Mraen Mimpi misalnya, diadakan di berbeda-beda tempat yang meski diakui oleh Irsyad belum bisa jangka panjang karena bergantung dengan tuan rumah yang berkolaborasi dengan mereka.

Ada juga program buka lapak baca buku gratis yang telah rutin dilakukan di Alun-alun Wates tiap Minggu pagi yang dimulai sejak awal tahun 2025. Tak sampai di situ, Irsyad mengatakan bahwa ia juga siap membantu siapa pun yang ingin membuka perpustakaan baik melalui sistem pinjam atau donasi buku.

Di Rumah Literasi Ranggi Sumatera Utara, berupaya kreatif tapi semaksimal mungkin di bidang literasi. Sebab, masih berswadaya dan berkolaborasi. "Jadi, masih bekerja sama dengan pihak-pihak universitas dan relawan-relawan dan hari ini susah mencari relawan yang royal dan punya idealisme untuk benar-benar ikut memiliki visi berbuat karena namanya relawan tidak digaji,” jelasnya.

Tidak hanya itu, di Rumah Literasi Ranggi, anak yang putus sekolah karena berbagai faktor misalnya karena tidak ada adminduk atau akta kelahiran, dikarenakan orang tuanya juga tidak memiliki KTP dan KK akan dibantu.

Kemudian, ada juga anak yang mengalami perundungan di sekolahnya dan orang tuanya juga tidak peduli. Sehingga, anak tersebut tidak mau sekolah lagi. Maka, peran Rumah Literasi Ranggi mencoba membujuk dan memberi pengertian untuk anak tersebut dididik. Sehingga, anak tersebut kembali mendaftar masuk sekolah lagi.

"Ada juga karena masalah keluarga orangtuanya, bapaknya botot mamaknya di pabrik sarang walet jadi punya bayi lagi, anaknya agak besar jadi disuruh jaga adiknya sehingga tidak bisa sekolah. Hal ini menjadi kompleks masalahnya, dan inilah yang kami hadapi. Jadi, kami berusaha semaksimal mungkin. Kami berharapnya banyak pihak yang peduli, karena kami selain kekurangan Sumber Daya Manusia, kami juga kurang daya sumber ekonominya untuk mendukung proses belajar mengajar seperti ini, supaya lebih maksimal, supaya lebih efektif dan bisa menginterpretasikan lebih banyak anak lagi," jelas Ranggini.

Anak yang dijadikan narasumber dalam pemberitaan ini hanya inisial merujuk Pedoman Penulisan Ramah Anak. Anak didampingi orang tua saat reporter IDN Times melakukan tugas jurnalistik. Pedoman Pemberitan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dan indikator lainnya

Editorial Team