Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Amnesti dan abolisi menjadi sorotan publik

  • Pertanyakan penggunaan instrumen hukum tersebut

  • Bentuk koreksi sistem hukum yang keliru?

  • Tekankan transparansi dan akuntabilitas kepada publik

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Publik baru-baru ini diramaikan dua instrumen hukum tergolong istimewa dalam tata negara Indonesia, amnesti dan abolisi. Itu menjadi sorotan pasca Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi bagi mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga mengatakan, istilah ini menjadi sorotan karena dikaitkan dengan dua figur publik sedang menghadapi persoalan hukum, masing-masing berasal dari latar belakang dan spektrum politik berbeda.

"Ya, dibalik perbedaan itu, keduanya menimbulkan pertanyaan yang sama, sedalam apa etika bernegara masih dijaga dalam penggunaan kewenangan konstitusional tertinggi?," ujarnya dikonfirmasi menyoroti keputusan tersebut, Sabtu (2/8/2025).

1. Pertanyakan penggunaan instrumen amnesti dan abolisi

Dosen Fakultas Hukum, Bidang Hukum Tata Negara UBL, Rifandy Ritonga. (IDN Times/Istimewa).

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, Rifandy menyampaikan, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dengan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sebagaimana hak prerogatif lainnya, kewenangan ini bukan kekuasaan absolut yang lepas dari prinsip kehati-hatian, etika konstitusi, dan rasa keadilan masyarakat.

Dalam praktiknya, amnesti diberikan sebagai bentuk pengampunan terhadap tindak pidana yang bermuatan politik. Terutama ketika proses hukum terhadapnya dipandang mencederai prinsip-prinsip keadilan substantif. Sedangkan abolisi, menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.

"Sekarang pertanyaannya, apakah penggunaan dua instrumen ini masih benar-benar diarahkan untuk meluruskan ketimpangan hukum, atau justru berpotensi menimbulkan kesan bahwa hukum hanya bekerja selektif terhadap siapa yang dekat dan siapa yang bersuara berbeda?," ucapnya.

2. Bentuk koreksi sistem hukum yang keliru?

Ilustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Rifandy melanjutkan, prerogatif Presiden secara teori tidak boleh dilepaskan dari prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebab, dalam negara hukum setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Oleh karena itu, ditegaskannya, saat kecenderungan instrumen seperti amnesti dan abolisi digunakan dalam konteks politik yang sempit, maka muncul risiko persepsi publik bahwa keadilan telah menjadi terfragmentasi.

"Apalagi bila dua kebijakan tersebut muncul hampir bersamaan dalam lanskap politik yang dinamis, maka bukan tidak mungkin publik mempertanyakan, apakah ini koreksi terhadap sistem hukum yang keliru, atau justru refleksi dari sistem hukum yang terlalu lentur menghadapi dinamika kekuasaan?," imbuhnya.

Meski demikian, pandangan tersebut dikatakan bukan berarti menutup ruang bagi upaya korektif terhadap ketidakadilan hukum. Namun justru sebaliknya, amnesti dan abolisi bisa menjadi mekanisme sangat mulia bila digunakan secara bijaksana, akuntabel, dan proporsional.

"Tapi bila dasar pemberiannya tidak terbuka atau hanya berdasar pertimbangan politis sesaat, maka fungsi korektifnya menjadi kehilangan makna dan justru menurunkan wibawa hukum itu sendiri," lanjut dia.

3. Tekankan transparansi dan akuntabilitas kepada publik

ilustrasi hukum (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Dalam konteks tersebut, Rifandy menambahkan, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan penting mengedepankan kebijaksanaan dan kehati-hatian atas penggunaan hak prerogatif. Kebijakan ini harus dilakukan dalam bingkai restorative justice, bukan sekadar untuk memadamkan riak politik atau mengakomodasi tekanan tertentu.

"Transparansi dan akuntabilitas kepada publik harus menjadi standar minimum dalam setiap proses pertimbangan, terlebih jika menyangkut tokoh publik dan isu yang menyentuh rasa keadilan kolektif," katanya.

DPR sebagai lembaga memberikan pertimbangan imbuhnya, juga memiliki tanggung jawab konstitusional, untuk tidak hanya menjadi pelengkap prosedural. Namun lebih dari itu, parlemen harus menunjukkan posisi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif, dengan menyuarakan pandangan rakyat secara independen dan objektif.

Di sisi lain, peran masyarakat sipil, media, dan akademisi dinilai sangat penting untuk terus mengingatkan bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan tanggung jawab, bukan sekadar kepentingan. Sebab, diamnya masyarakat terhadap praktik kekuasaan selektif terhadap hukum, justru akan memperbesar celah bagi penyimpangan ke depan.

"Akhirnya hukum yang baik bukan hanya soal peraturan yang lengkap, melainkan juga soal trust dari masyarakat. Dan kepercayaan itu hanya tumbuh jika hukum dijalankan secara konsisten, adil, dan tidak membedakan siapa yang berada di kursi terdakwa maupun siapa yang berada di lingkar kekuasaan," tambah Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undangan tersebut.

Editorial Team