ilustrasi seseorang di perpustakaan (Pexels.com/Onur Karakuş)
Padahal, fiksi punya peran krusial dalam peradaban manusia. Fiksi sebenarnya juga kaya pengetahuan, tetapi dikemas dengan format cerita naratif yang terkesan seperti produk hiburan.
Genre fiksi sejarah dan realisme misalnya adalah buah riset dan observasi penulis yang bisa mendorong pembaca untuk menyusuri fakta sebenarnya. Fiksi juga diciptakan sebagai ruang untuk melakukan kontemplasi, tepatnya lewat penggambaran kehidupan yang jauh dari jangkauanmu serta perspektif yang mungkin belum pernah terbersit di benakmu.
Namun, ide maskulinitas mainstream cenderung tidak mempromosikan kebiasaan introspeksi dan berempati pada pria. Pria ideal dalam pandangan maskulinitas mainstream (cenderung toksik) adalah sosok yang tangguh, tidak mengandalkan emosi, dan logis. Ini yang akhirnya menciptakan kesan kalau buku fiksi tidak mampu mengakomodasi kebutuhan pria.
Padahal, sebaliknya di tengah tekanan untuk jadi tangguh dan kuat di segala situasi, pria justru butuh fiksi untuk membantunya melatih kepekaan sosial dan melakukan introspeksi. Membaca buku sejarah dan self-help memang terasa lebih berharga, tetapi bila ingin memperkaya perspektif yang menapak tanah dan lekat dengan realitas, fiksi justru solusinya.