Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di Desa

Mengedukasi perempuan desa perlu bergerak

Metro, IDN Times - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lampung cukup tinggi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak Januari-Juni 2022 kasus kekerasan di Lampung mencapai 242 kasus terjadi pada perempuan dan 218 kasus terjadi pada anak-anak.

Kasus kekerasan tertinggi terjadi pada perempuan usia 25-30 tahun dan anak-anak usia 13-17 tahun. Tingginya kasus kekerasan tersebut dinilai serius oleh Hifni Septina Carolina.

Hifni menceritakan pengalamannya sebagai seorang dosen dan bagian kemahasiswaan, sering menemukan kasus hubungan pacaran tidak sehat, berujung pada putusnya akses pendidikan bagi perempuan.

Di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, Hifni juga sering mendengar cerita anak-anak remaja tentang kekerasan berbasis gender online. Bahkan, anak-anak remaja di lingkungannya belum paham tentang pendidikan seks.

"Anak-anak SMP di sekitar rumah, suka cerita aneh-aneh kalau di sekolahnya ada temannya open BO terus pamer foto sama om-om. Jadi takut mereka terbawa arus pergaulan itu. Sedangkan mereka masih polos dan belum paham tentang seks edukasi," cerita Hifni kepada IDN Times, Jumat (24/6/2022).

Perjalanan Wes Payungi

Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di DesaHifni Septina Carolina,pendiri dan penggerak Komunitas Wes Payungi(IDN Times/Istimewa)

Merujuk kondisi itu, Hifni terpanggil mendampingi dan tumbuh bersama perempuan lain mendirikan Komunitas Women and Environment Studies (WES) Payungi di Kelurahan Yosomulyo, Kota Metro, Provinsi Lampung.

Komunitas Wes Payungi merupakan bagian dari Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) didirikan Dosen IAIN Metro, Dharma Setyawan sejak 2018 lalu. Sebagai pasar tradisional, Payungi menjadi wadah bagi masyarakat Kelurahan Yosomulyo terutama ibu-ibu rumah tangga, bisa mandiri secara ekonomi.

"Dari Payungi kita mendirikan Payungi University yaitu pendidikan transformatif untuk mendidik warga sekitar supaya pengetahuannya sama. Pada perkembangannya, ada unit-unit lebih spesifik, salah satunya Wes Payungi, tentang pemberdayaan perempuan lingkup remaja," ujar dosen Biologi di IAIN Metro itu.

Setiap Sabtu pagi, komunitas berdiri hampir dua tahun itu mengadakan Liqo Literasi dengan tema berbeda. Pekan pertama tentang gender, pekan kedua tentang advokasi. Kemudian, pekan ketiga membahas lingkungan, seperti dampak krisis iklim atau tips bisa dilakukan di rumah menghindari krisis iklim.

"Jadi gak cuma teori, kita juga memberi tips bisa dipraktikkan. Lalu, minggu keempat baru ramah anak, melibatkan anak-anak di Yosomulyo," tuturnya.

Hifni bersyukur, antusias perempuan mengikuti diskusi di Wes Payungi luar biasa. Bahkan tak hanya dari Kelurahan Yosomulyo dan Kota Metro, beberapa kabupaten lain juga ikut daftar ke sekolah penggerak perempuan tersebut.

"Supaya memperbanyak penggerak perempuan. Jadi, ketika mereka kembali ke daerahnya, bisa memberi pengetahuan sesuai ranahnya," ujarnya.

Secara garis besar menurutnya, Wes Payungi mengedukasi perempuan supaya paham mengapa perempuan perlu bergerak. Itu karena perempuan juga memiliki potensi sama dengan laki-laki.

Hadirkan lingkungan ramah perempuan dan peduli anak

Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di DesaPotret anak-anak di Kelurahan Yosomulyo, Metro, Provinsi Lampung bersama Penggerak Wes Payungi (Instagram/hifni_carolina)

Selain gerakan memberdayakan perempuan, Hifni juga berusaha menghadirkan lingkungan ramah anak. Pembelajaran anak-anak di Taman Pendidikan Quran (TPQ) misalnya, tak hanya baca tulis Quran saja. Anak-anak di Kelurahan Yosomulyo juga belajar melukis, nonton film anak-anak, mendongeng dan bermain permainan tradisional.

"Kita juga memberikan pendidikan seks supaya mereka paham bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Interaksi sosialnya juga kita terapkan supaya anak-anak tidak hanya fokus dengan gawai," tutur Hifni.

Alumni Universitas Muhamadiyah Metro itu juga cukup miris dengan kondisi sosial anak masa kini merasa yatim sosial. Sebab itu, Wes Payungi juga mengedukasi bagaimana menciptakan suasana aman dengan cara menjadikan anak orang lain adalah anak kita.

"Jadi lingkungan sosialnya akan hidup. Kalau saling peduli, orang tua gak perlu merasa cemas ketika anaknya bermain di luar. Kita ingin menghadirkan lingkungan aman itu," terangnya.

Tak hanya remaja dan anak-anak, Hifni juga menceritakan para ibu-ibu fokus berjualan di Payungi, turut mendapat edukasi pemberdayaan perempuan lewat pesantren wirausaha, digelar setiap Rabu malam.

"Wes Payungi juga mengedukasi emak-emak supaya anak-anaknya boleh gabung di Wes. Emaknya kita didik secara ekonomi, anak remaja punya gerakan perempuan dan anak-anak kecilnya gabung di kampung anak," kata Hifni.

Namun, Hifni juga tak membatasi kegiatan Wes Payungi hanya untuk perempuan. Menurutnya, laki-laki juga diperbolehkan daftar sebagai penggerak Wes Payungi.

"Kita selalu katakan, jangan karena namanya sekolah penggerak perempuan terus laki-laki gak ada yang daftar. Kita pengin laki-laki juga punya perspektif tentang gerakan perempuan," ujarnya.

Baca Juga: Cerita Balqis Juara Kompetisi Apple, Terinspirasi Kisah Masa Kecil

Sempat diremehkan karena diskusi tiap pekan

Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di DesaSuasana Liqo Literasi Wes Payungi setiap Sabtu pagi (IDN Times/Istimewa)

Semangat Hifni menciptakan lingkungan ramah perempuan dan peduli anak ternyata tak berjalan mulus begitu saja. Pertemuan tiap pekan kerap membahas isu-isu perempuan, ekonomi dan lingkungan itu ternyata sempat dipandang remeh sebagian orang.

"Tapi saya sendiri merasa tidak perlu memberitahu orang lain kalau dampak pertemuan kita luar biasa. Mereka yang mengikuti pertemuan itu sendiri menunjukkan pengaruhnya," kata Hifni.

Menurutnya, emak-emak di Payungi awalnya ibu rumah tangga tak memiliki penghasilan tetap, bahkan 5-10 persen sudah tidak memiliki suami. Namun, setelah Pasar Payungi berdiri, mereka mandiri secara ekonomi bahkan penghasilannya lebih besar dari suami.

"Secara tidak langsung, interaksi suami istri jadi kerja sama. Mungkin tadinya suami merasa seperti raja karena membawa uang ke rumah. Sekarang itu tidak terjadi lagi. Justru suami bantu istri siapin perlengkapan jualan. Sekarang, interaksi suami istri ini lebih menghormati satu sama lain," jelasnya.

Hifni bahkan baru menyadari, gerakan perempuan lebih kompak dari gerakan laki-laki. Menurutnya, jika diminta kumpul, emak-emak di Kelurahan Yosomulyo lebih cepat dibanding bapak-bapak.

"Saya harap gerakan perempuan makin progresif. Tadinya emak-emak ini gak ngerti sosmed, sekarang mereka main sosmed untuk promosi dagangannya. Menurut saya mereka sudah jadi penggerak juga. Kalau ditanya siapa penggerak Payungi? Ya 50 perempuan yang belajar dan jualan di Payungi," ujarnya.

Tak ada pengalaman jualan kini hasilkan jutaan

Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di DesaSuasana Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi), buka setiap Minggu pagi (Instagram/payungi_)

Dampak berdirinya Payungi dirasakan langsung oleh Tri Utami. Kini, orang tua tunggal dari tiga anak itu menggantungkan kebutuhan ekonomi dari hasil jualan di Payungi.

Meski tak memiliki pengalaman berjualan, Tri Utami mampu meraup untung jutaan dari hasil jualan tiwul goreng dan sate telur puyuh. 

"Awalnya saya jualan lemet singkong dapat untung 50 ribu seneng banget. Kalau sekarang ya udah lumayan banget, sehari bisa sejuta," cerita perempuan berusia 60 tahun itu.

Tri Utami juga senang melihat kampungnya disulap jadi ramai, produktif dan tertata rapi. Fenomena ibu-ibu kumpul sambil bergosip sudah tak ia temui. Sebab, para ibu-ibu sibuk membuat dagangan untuk dijual setiap Minggu Pagi di Payungi.

Sedangkan hari lain, warga setempat sibuk melakukan gotong royong, acara pengajian serta pertemuan mingguan membahas kewirausahaan atau edukasi lainnya.

Sebagai ketua pedagang Payungi ia berharap Payungi bisa terus berjalan dan diteruskan oleh anak-anak muda. "Sampai saya sudah gak ada harapannya tetap berjalan. Kalau sampai berhenti kasian yang berjuang dari awal," harapnya.

Lebih sadar kesetaraan gender dan mengenal diri sendiri

Wes Payungi Metro, 'Cahaya Baru' Berdayakan Perempuan dan Anak di DesaSekolah Penggerak Perempuan, Wes Payungi, Kelurahan Yosomulyo, Kota Metro(IDN Times/Istimewa)

Salah satu penggerak Wes Payungi Ririn Erviana, merasa semakin mengenal dirinya sebagai perempuan selama mengikuti kegiatan Wes.

"Dulu masih percaya sama budaya patriarki kalau perempuan harus pandai pekerjaan domestik. Tapi semenjak sering diskusi mulai paham, pekerjaan domestik itu fleksible bukan kewajiban perempuan aja," kata Ririn.

Ririn juga merasakan lingkungan sosialnya perlahan menyadari pentingnya menghargai perempuan dan tidak melakukan pelecehan terhadap perempuan.

"Cowok-cowok di sekitar Payungi mulai aware kalau ada cewek gak boleh di suit-suitin karena masuk dalam pelecehan atau cat calling," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Shefira Wisudawan Berprestasi UBL, Anak Petani dan Penjual Gorengan

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya