Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk Lingkungan

Diinisiasi 5 mahasiswa Fakultas Hukum Unila

Bandar Lampung, IDN Times - Membuat komunitas lingkungan secara volunteer dan mempertahankannya hingga saat ini memang tidak mudah. Apalagi di tengah kesibukan tugas kuliah saat itu, beberapa milenial dari Fakultas Hukum Universitas Lampung malah terjun ke lapang untuk membersihkan lingkungan.

Komunitas berbasis lingkungan dan sosial ini bernama Lampung Sweeping Community (LSC). Berawal dari sebuah projek himpunan mahasiswa, akhirnya mahasiswa-mahasiswa ini membangun komunitas pakem dan telah berjalan hingga 5 tahun lamanya.

Co Founder LSC, Orima Melati Davey menceritakan awalnya LSC merupakan sebuah projek dari 5 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada 2019 lalu. Kelima mahasiswa dari berbagai angkatan ini membuat projek sweeping atau membersihkan area laut di Pesisir Bandar Lampung.

“Waktu itu gak disangka antusiasmenya tinggi. Di projek pertama itu ada 800 orang yang daftar jadi volunteer. Sampai kita buat dua kali projek waktu itu,” katanya kepada IDN Times, Rabu (8/2/2023).

1. Kegiatan dan awal terbentuknya LSC

Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk LingkunganLampung Sweeping Community. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Orima menjelaskan, LSC sendiri memiliki tiga program utama di dalamnya yakni Beach Clean Up, edukasi khususnya terkait lingkungan ke siswa sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan bakti sosial.

“Waktu itu saat projek kan lumayan tuh volunteernya. Maka kita pertimbangkan untuk kita jadiin komunitas. Kita buat media sosialnya dan akhirnya kita sebar pamflet untuk open recruitment kepengurusan,” jelasnya.

Saat awal menjadi komunitas, ia mengatakan pengurus LSC berjumlah 20 orang. Namun lambat laun kepengurusan ini terus bertambah dan saat ini memiliki sekitar 40 anggota.

2. Tantangan membangun komunitas lingkungan

Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk LingkunganCo Founder LSC, Orima Melati Davey. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Menjadi salah satu pendiri komunitas bidang lingkungan dan sosial memang tidak mudah. Pasalnya, komunitas seperti ini sifatnya relawan dan tidak ada gaji. Sehingga keanggotaan LSC juga sempat naik turun karena hal itu.

“Karena kan ini basicnya relawan ya, gak memaksa karena kita gak gaji. Jadi dinamika SDM kadang naik kadang turun. Cuma gimana kitanya aja bisa tetap konsisten. Karena selain mungkin interest seseorang bisa berubah, ada juga yang sudah sibuk karena udah kerja, punya anak, dan lain-lain,” paparnya.

Sehingga, ia mengatakan setidaknya lima orang pendiri komunitas lah yang harus tetap menjaga komitmen. Di mana meski telah memiliki prioritas sendiri, mereka tidak boleh berhenti karena itu bisa menurunkan semangat anggota lainnya.

Baca Juga: Duh! TPA Bakung Diprediksi Hanya Bisa Tampung Sampah Sampai 2028 Saja

3. Pengalaman luar biasa di daerah dengan kedalaman sampah 50 meter

Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk LingkunganKegiatan sweeping oleh LSC. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Orima juga membagikan salah satu pengalaman luar biasa LSC melaksanakan projek. Ia mengaku pernah datang ke daerah pantai dengan tingkat kotor sudah parah. Daerah tersebut berada di Pesisir Panjang, Bandar Lampung.

“Waktu itu kasusnya di Panjang Utara. Sampah itu menumpuk selama 20 tahun dan kedalaman sampahnya sudah sampai 50 meter. Jadi itu sampah sudah sempat ditimbun dan ada sampah lagi. Sampai kita angkat itu ada maggotnya (belatung),” ujarnya.

Lebih parahnya lagi tak hanya sampah rumah tangga, bahkan mereka banyak menemukan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti jarum suntik dan kondom. Kemudian ada feses manusia, bangkai hewan, dan tentunya berbagai macam sampah plastik.

“Lingkungan itu kan juga ada pemukimannya. Jadi anak-anak yang main itu pun nyemplung ke laut yang penuh dengan sampah. Ironinya orang tua mereka membiarkan hal itu,” ungkapnya.

4. Budaya membuang sampah sembarangan sulit menghilang

Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk LingkunganLampung Sweeping Community. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Orima juga menyadari mayoritas masyarakat dilingkungan itu ternyata memang tidak terbuka dengan orang baru khususnya saat mereka melakukan kegiatan bersih-bersih.

“Kalau ada orang baru itu seolah-olah dikira kita mau intervensi area mereka. Jadi waktu itu ada yang buang sampah depan muka kita. Ketika kita bilangin untuk jangan buang sampah sembarangan, mereka bilang gak cuma dia aja yang buang sampah di situ jadi menurutnya itu gak masalah,” ungkapnya.

Orima sadar kegiatan sweeping memang tidak menyelesaikan masalah karena hal itu akan selalu ada jika perilaku masyarakat masih terus tidak peduli dengan lingkungannya.

“Jadi kami ini ingin banget memberi tahu mereka kalau ada juga lho yang peduli. Kita pengin mereka tahu kalau (lingkungan) bersih gini kan enak. Walau gak seratus persen tujuan kita tercapai, pelan-pelan kita ke arah sana dan terakhir kita ke sana ternyata daerah itu udah lumayan,” katanya.

5. Birokrasi untuk audiensi pada pemerintah masih sulit

Lampung Sweeping Community, Saatnya Milenial Bergerak untuk LingkunganKegiatan sweeping oleh LSC. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Orima juga menyampaikan harapannya kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Ia menyadari sebagai komunitas pihaknya hanya bisa melakukan kegiatan represif saja dan tidak menyelesaikan masalah.

“Harapannya untuk pemerintah supaya bagimana caranya agar bisa menjamin kontinyuitas dalam menjaga lingkungan. Mereka mendukung kegiatan seperti ini, tapi gak ada upaya berkelanjutan,” jelasnya.

Menurutnya pemerintah saat ini belum melihat lingkungan sebagai urgensi. Padahal lingkungan merupakan aspek terpenting yang menunjang kebutuhan manusia. Apalagi jika sekali lingkungan rusak maka manusia tidak bisa mengembalikannya lagi.

“Dan satu lagi terkait birokrasi itu masih susah. Kalau kita gak ada channel (kenal) dengan pejabatnya, bisa dua minggu itu diulur terus. Keburu projek kita lewat kan. Beda kalau misalnya ternyata siapa tetangganya pejabat ini, wah itu bisa cepet banget,” jelasnya.

Baca Juga: Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan Sampah

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya