Mekah. (arabianbusiness.com)
Menurut Khalid, stereotipe wahabi juga telah banyak dipandang masyarakat Indonesia sebagai suatu hal yang negatif. Hal ini ia ungkapkan karena ia mengalami sendiri perihal tersebut.
“Saat saya hendak berangkat untuk belajar ke Saudi, sekitar awal 1990an, teman ayah saya titip pesan. Katanya ambil ilmunya, tapi jangan sampai jadi wahabi,” katanya.
Ia bercerita dalam enam bulan pertama di Arab Saudi, semua guru yang ada disana adalah orang-orang yang bercirikan ‘wahabi’ seperti yang ada dalam bayangannya.
“Saya ketakutan melihatnya, dalam benak saya, ini wahabi nih. Tapi lama kelamaan, setelah guru itu masuk ke kelas. Tidak pernah ada sebutan nama wahabi dari mereka, yang ada hanyalah Allah berfirman dan Rosulullah bersabda, atau diikuti penjelasan para sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Ummar, kalau ada ilmu fiqih pun didatangkan dari keempat madzab,” jelasnya.
Barulah setelah itu Ia berfikir mengapa selama ini dia takut padahal semua yang disampaikan oleh orang-orang tersebut adalah ilmu memang berpedoman utama pada Al-Quran dan hadist.
“Maka teman-teman sekalian, saya beri satu nasihat, Rosulullah lahir di Makkah, selama 13 tahun turunnya ayat Makkiyah juga ada di Makkah. Setelah itu Rosulullah hijrah ke Madinah sampai meninggal. Demi Allah, Makkah dan Madinah adalah markas Islam, bukan markas wahabi,” tutupnya.