Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi Antimainstream

Pilih profesi selain pengusaha atau karyawan swasta

Bandar Lampung, IDN Times - Menekuni profesi sebagai pengusaha atau pekerja swasta mungkin stereotip disematkan bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Paradigma ini diakui mengakar di kehidupan bermasyarakat. 

Kekinian, ada generasi muda Indonesia keturunan Tionghoa berupaya menepis paradigma itu. Mereka ada memilih menekuni profesi sebagai polisi, Pegawai Negeri Sipil (PNS), politikus, seniman, hingga petani.

Melalui artikel kolaborasi pekan ini dan menyemarakkan Tahun Baru Imlek 2022, IDN Times berbagi cerita inspiratif para anak muda berbagai daerah memilih profesi antimainstream.

1. Tak ada keraguan jadi polisi

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamBripda Kelvin anggota Satresnarkoba Polres Lahat keturunan Tionghoa (IDN Times/Bripda Kelvin)

Namanya Bripda Kelvin. Ia merupakan keturunan Tionghoa dari suku Hokkien. Ia menjalani masa kecil hingga remaja di Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Santo Yosef Lahat tak membuat ia kepikiran untuk kuliah, seperti teman-teman yang lain atau menggeluti dunia usaha.

"Kalau menekuni bidang usaha itu sudah biasa. Menekuni profesi sebagai anggota Polri jarang, bukan gak ada. Ada, tapi sedikit. Jadi dari sana muncul keinginan ikut tes polisi," kata Bripda Kelvin kepada IDN Times, Kamis (27/1/2022).

Ia adalah  anggota Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) di Polres Lahat, Provinsi Sumatra Selatan. Kelvin tak terlalu memikirkan cap yang sudah terbangun sejak lama. Baginya mewujudkan cita-cita tak perlu menghiraukan stereotip. Dirinya justru tertantang untuk menekuni profesi lain, jauh dari dunia usaha.

Pascalulus SMA, Kelvin langsung mengambil ancang-ancang mengikuti tes kepolisian. Ia bercerita, usahanya bergabung ke institusi Polri memerlukan perjuangan yang panjang.

"Saya besar dan lahir di Lahat. Jenjang SD, SMP, sampai SMA, saya habiskan di Santo Yosep Lahat. Saya dari kecil memang ingin jadi polisi karena sudah cita-cita. Impian itu makin timbul sewaktu di SMA lihat senior banyak menjadi polisi. Saya jadi semakin termotivasi, mau ikut juga dan akhirnya kesampaian," kenangnya

Kelvin mengatakan, tak ada keraguan untuk menjadi polisi. Menurutnya, profesi sebagai polisi sangat menantang. Saat pertama daftar, Kelvin sempat berpikir apakah dirinya sanggup menjadi polisi. Namun keluarga yang mendukungnya makin menyemangati Kelvin kala itu.

"Memang kebanyakan keluarga saya adalah pengusaha. Tetapi keluarga tetap mendukung penuh pilihan saya. Mungkin saya menjadi yang pertama di keluarga menekuni bidang profesi berbeda. Belum ada keluarga saya yang masuk menjadi anggota TNI atau Polri. Saya yang pertama mematahkan stigma itu," ungkap dia.

Ia pun melakukan semua persiapan untuk menjadi anggota polisi. Misalnya, mulai belajar seputar pengetahuan umum, melatih fisik dan mental. Keraguan yang muncul di tengah jalan coba dihalau. Ia membangun keyakinan semua hal harus dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui batas kemampuan.

Saat pertama kali mencoba, Kelvin sempat gagal menjadi anggota Polri. Kegagalan itu tak menghentikan Kelvin. Ia justru termotivasi mengikuti tes di tahun berikutnya untuk menjadi Bintara Polri. Saat tes kedua, Kelvin diterima mengikuti Pendidikan Pembentukan Bintara (Diktukba) Polri selama hampir tujuh bulan, sebelum akhirnya dilantik sebagai polisi.

Selepas dilantik menjadi Bintara dengan pangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda), Kelvin ditempatkan di Satsabhara Polres Lahat selama setahun. Ia kemudian dimutasi ke Satresnarkoba Polres Lahat. Kemudian ia dirotasi ke Polsek Kikim Timur Lahat, sebelum akhirnya kembali ke Satresnarkoba Polres Lahat.

"Saya sudah empat tahun menjadi anggota polisi di Polres Lahat. Tidak ada diskriminasi. Semua sama, apa pun sukunya, kalau mau berusaha," tutur Kelvin.

Bergabung di institusi Polri menurut Kelvin merupakan suatu kebanggaan. Dirinya mengaku kerap mendapat pujian dari teman-temannya maupun di lingkungan keluarga. Mereka tak menyangka jika keturunan Tionghoa bisa menjadi anggota Polri.

"Teman banyak yang tanya bagaimana kok saya bisa jadi polisi. Jadi tanggapan mereka kok bisa, kan jarang tuh turunan Tionghoa," jelas dia.

Dalam pergaulan sehari-hari, Kelvin tidak pernah membedakan suku, apalagi agama seseorang. Ia pun cukup diterima dengan baik, sehingga mudah bergaul dengan siapa saja. Rekan-rekannya sesama polisi bahkan tidak menyangka kalau Kelvin adalah keturunan Tionghoa.

"Dari senior, teman-teman di Polri gak ada yang mendiskriminasikan saya. Mereka mendukung apa pun sukunya. Kalau bersaing semua sama saja, mau dia Tionghoa, Jawa, Sumsel, sama saja perlakuannya, yang penting usaha dulu," beber dia.

Kelvin tergolong polisi yang berprestasi di Polres Lahat. Ia bersama tim sempat mengungkap ladang ganja yang ditanam di areal perkebunan kopi di perbukitan Desa Muara Cawang, Tanjung Sakti Pumu, Kabupaten Lahat. Dari ladang ganja seluas 1,5 hektare (Ha) itu, Kelvin bersama rekannya mengamankan 57 batang ganja siap panen.

"Waktu itu saya mendapatkan penghargaan dari Bupati Lahat dan Kapolres Lahat setelah mengungkap kasus ini," tutup dia.

2. Awalnya tak berpikir jadi PNS

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamAndry, warga Makassar keturunan Tionghoa yang berkarir sebagai PNS. IDN Times/Asrhawi Muin

Cerita inspiratif lainnya datang dari Andry, warga keturunan Tionghoa asal Makassar, Sulawesi Selatan. Ia memilih 'jalan ninja' dengan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Laki-laki kelahiran 1985 ini tercatat sebagai PNS di Inspektorat Daerah Kota Makassar. Di sini dia bertugas sebagai auditor. Hal ini terbilang menarik sebab tidak banyak warga Tionghoa yang memilih profesi sebagai PNS.

Bagi Andry, warga Tionghoa tak melulu harus bergelut di bidang perdagangan. Menurutnya, saat ini, banyak pilihan selain mengikuti kebiasaan turun-temurun di mana anak akan melanjutkan usaha orang tuanya. Dia tak menampik, masa Pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dibatasi untuk berprofesi selain di bidang ekonomi.

"Kalau menjadi pengusaha, mungkin karena latar belakang orang tuanya memang pengusaha jadi mereka melanjutkan usaha orang tuanya. Sedangkan saya lahir bukan dari kalangan pengusaha atau pebisnis," kata Andry ditemui di Makassar, Sabtu (29/1/2022).

Menjadi abdi negara awalnya tidak terpikirkan oleh Andry. Dia hanya ingin mengaplikasikan ilmu yang diraihnya usai menamatkan pendidikan di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin 2008 silam.

Dia pun sempat berkarier di Kantor Akuntan Publik Drs. Rusman Thoeng, M.Com, BAP sebagai auditor. Namun pikirannya mulai tergelitik tatkala dia sering mendengar seleksi CPNS melibatkan unsur KKN dan bagi etnis Tionghoa sangat sulit untuk lulus.

"Saya awalnya tidak terpikirkan untuk terjun ke PNS. Tapi ada pemicu awal di mana ada anggapan bahwa menjadi PNS harus ada 'dekkeng' ada 'mahar' yang harus dibayar, hanya untuk 'kalangan tertentu' dan lain-lain. Hal itu yang membuat saya penasaran untuk membuktikan anggapan seperti itu" kata Andry.

Didorong rasa penasarannya itu, akhirnya dia memutuskan mendaftar CPNS. "Saya ingin membuktikan bahwa apa benar begitu. Waktu itu kebetulan ada formasi CPNS Pemerintah Daerah Kota Makassar sebagai auditor. Kebetulan saya di kantor akuntan publik memang sebagai auditor, jadi saya daftar dan saat pengumuman saya dinyatakan lulus seleksi." katanya.

Kelulusan itu bagi Andry secara tidak langsung menegaskan perekrutan CPNS tidak seperti anggapan orang pada umumnya. Buktinya, dia yang merasa 'bukan siapa-siapa' tetap bisa lulus seleksi CPNS.

Berkiprah sebagai PNS, Andry berharap bisa memberikan manfaat terhadap perubahan tata kelola pemerintahan menjadi lebih baik lagi. Dia berharap  dengan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, akan meningkatkan kualitas pelayanan publik demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk masyarakat Kota Makassar.

"Menurut saya, ketika ada sesuatu yang ingin diubah, maka kita harus terjun ke dalamnya dan menjadi agen perubahan. Karena perubahan itu lebih efektif jika dimulai dari dalam dibandingkan dari luar," katanya.

Berada di lingkungan pemerintahan yang notabene bukan hal umum bagi warga Tionghoa, tidak membuat Andry mengalami kesulitan dalam berinteraksi.  "Saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan baru, maka kita harus dapat segera beradaptasi. Niat saya adalah menjalin silaturahmi." katanya.

Selain itu, dia sudah terbiasa bergaul dengan teman-teman lintas suku dan agama, sejak mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Makassar hingga melanjutkan kuliah di Universitas Hasanuddin. Saat ini, Andry sedang ditugaskan oleh Pemerintah Kota Makassar untuk melanjutkan studi S3 di Program Doktor Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.

Baca Juga: Bripda Kelvin Patahkan Stereotip Keturunan Tionghoa Jadi Pengusaha

3. Tekuni politik praktis, keluarga sempat menolak

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamChristian Julianto Budiman anggota DPRD Kota Bandung (IDN Times-Azzis Zulkhairil)

Sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung Jawa Barat, memiliki garis keturunan Tionghoa, Christian Julianto Budiman memiliki perjalanan berliku sebelum akhirnya duduk di kursi legislatif Kota Bandung.

Legislator dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini sempat mendapatkan penolakan dari pihak keluarga. Besar dari keluarga pegawai dan pengusaha, Christian sempat tidak, diizinkan untuk terjun dalam politik praktis. Bahkan, pilihannya itu sempat tidak akan didukung oleh pihak keluarga.

"Saya kan usaha, jadi keluarga dukung gedein usaha. Jadi keluarga juga kasih gambaran bahwa tokoh politik itu mainannya ngeri, orang bener bisa buat salah ,orang bisa dizalimi dan mereka minta jauhin lah," ujar Christian, Kamis (28/1/2022).

Meskipun orang tua mendorongnya untuk tidak terlibat dalam politik praktis, Christian bilang dirinya memiliki ketertarikan tersendiri dalam dunia politik. Akhirnya pada 2017 dia memantapkan diri gabung dalam partai PSI. Beberapa alasan lain juga mendasarinya untuk masuk dalam dunia politik.

"Saya merasa terpanggil, soal jadi apa enggak itu urusan nanti, jadi saya pelajari dan akhirnya apa sih yang bisa kita lakukan untuk Indonesia dari politik ini," ucapnya.

Christian kemudian mengikuti Pilkada 2019 mewakili daerah pemilihan (Dapil) 6 Kota Bandung: Astana Anyar, Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Bojongloa Kaler, Bojongloa Kidul. Dari pemilihan ini dirinya memperoleh 5.609 suara.

"Saya ingin membawa perubahan, dan kita serahkan ke yang kuasa, kalau tempat ini di politik pasti dapat perlindungan Tuhan. Tapi kalau jalan saya bukan di sini pasti akan balik lagi," katanya.

Setelah terpilih menjadi anggota DPRD Kota Bandung, Christian mengatakan tidak begitu mengalami kesulitan sasat bergaul dengan politisi lain. Namun jika menyangkut masalah rasisme, hingga saat ini belum dirasakannya secara langsung.

"Kalau rasisme saya tidak tahu, mungkin ada yang gak suka ya biarin aja. Itu kan orang punya hak, mau suka, mau gak suka orang punya hak, dan kita kan gak menyerang orang pakai ras dan suku, jadi kita pinter menempatkan diri aja sih," jelasnya

Meski memiliki darah Tionghoa, Christian sudah lama tinggal di Kota Bandung. Sehingga, dirinya sudah melebur menjadi warga Kota Kembang yang memiliki banyak suku dan agama hidup harmonis berdampingan. "Di tanah Sunda sudah biasa dengan keberagaman, asal kita menempatkan diri tidak begitu sulit," katanya.

4. Rintis ekosistem digital di Sumsel

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamTak Ada Perbedaan Suku Tionghoa, Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika (IDN Times/Dokumen Pribadi)

Cerita menarik lainnya dari Sumatra Selatan disampaikan Joneten Saputra, perintis Ekosistem Digital Builder. Pria akrab disapa Ko Jo ini bercerita, menekuni digitalisasi bermula dari hobi. Kemudian ia melihat potensi teknologi dan digital di Sumatra Selatan (Sumsel) yang terbilang rendah, sehingga ia mulai mengembangkan program digital dan membentuk komunitas IT.

"Akhirnya saya bersama teman-teman mencoba membuat komunitas yang visinya memajukan digitalisasi di Sumsel ini, karena kepedulian melihat ketertinggalan IT di sini. Lumayan kalau dari data index east venture untuk Sumsel tertinggal di peringkat ke-21 tahun 2021," jelas dia.

Cara Ko Jo bergaul dan bersosialisasi di lingkungan adalah bersikap baik dan memegang prinsip toleransi. Sebagai pelopor digital, ia diharuskan berkomunikasi dengan banyak orang untuk membahas program dasar edukasi IT.

Walau Ko Jo fokus mengembangkan digitalisasi, namun ia tetap bergaul dengan sesama. Karena kata dia, mayoritas suku Tionghoa di Indonesia sudah banyak dan rekan-rekan di luar keturunan Tionghoa merespons positif dan membangun hubungan baik.

"Saya gak ada masalah berteman dengan siapa pun dan suku apa pun. Dalam komunitas pun kita terbuka untuk suku mana saja yang bergabung. Dulu sewaktu SD saya sekolah di negeri yang notabene kebanyakan orang non Tionghoa. Dulu saya belajar adaptasi bersama teman-teman dan mereka juga sangat welcome," ungkap dia.

Ko Jo turut merasa tertantang dalam mendalami aktivitas yang ia lakukan, seperti harus mengedukasi ekstra soal digital di daerah yang notabene belum memahami manfaat digitalisasi.

"Karena digital lebih dikenal di kota besar di luar Sumsel. Tapi makin ke sini, makin masyarakat yang mengerti tentang dunia digital. Paling penting sekarang banyak orang tahu pentingnya komunitas digital untuk perkembangan pengetahuan dan wawasan," ujarnya.

5. Jadi creativepreneuer jumpa Presiden

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamRandy saat bertemu Presiden Jokowi (Dok.IDN Times/istimewa)

"Aku melihat bidang kreatif itu peluangnya besar sekali. Sampai hari ini, mau goal-nya sebagai pengusaha, kreator atau profesi lain pun, industri kreatif sudah menjadi bagian dari itu."

Itulah pemikiran Randy Raharja saat memulai percakapannya kepada IDN Times, Jumat (28/1/2022). Pria 31 tahun ini adalah seorang Creativepreneur asal Medan Sumatra Utara.

Lahir dari keluarga pengusaha tidak membuatnya memilih jalan yang sama. Ia malah terjun di bidang kreatif karena melihat peluang besar sekaligus mengembangkan potensinya.

Randy menceritakan, lahir dari keluarga etnis Tionghoa tidak membuatnya ikut garis lurus keluarga menjadi pengusaha. Ia buktikan dengan menjadi creativepreneur bisa  mengembangkan potensi diri dan mendapatkan penghasilan yang memadai.

"Aku keturunan Tionghoa, kakek dan nenek keturunan Tionghoa dari Sibolga. Bisa dibilang mereka punya pengajaran dengan cara lama, very straight ke orang tua jadi pengusaha. Background keluarga di bidang kesehatan dan pendidikan," ucapnya.

"Tapi dari orang tua sudah ikut modernisasi yang terjadi, mereka sendiri cukup bisa memandang kesempatan yang ada," sambung pria kelahiran 1991 itu.

Sebagai creativepreneur, ia sempat diragukan pada awal menjalani profesi di luar pekerjaan orang tuanya itu. Apalagi saat belum ada peluang penghasilan yang menjanjikan.

"Awalnya masih dianggap wasting time. Gak ada endorsement. Belum ada peluang dapat duit saat itu. Dari semua perjalanan itu, satu hal besar yang aku dapat adalah networking. Terjun di bidang ini, aku bisa ketemu menteri bahkan Presiden Indonesia, Joko Widodo," imbuhnya.

Namun, kerja di bidang kreatif membutuhkan konsistensi. Hal itulah yang diterapkan Randy. Bukan hal mudah, ia beberapa kali terlibat di berbagai bidang kreatif yakni digital industri, kreatif industri, hingga akhirnya terjun ke industri F&B.

Saat ini, ia dipercaya untuk mengembangkan salah satu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) asal Kota Medan untuk mengembangkannya di Indonesia. "Aku melihat industri kreatif ini sangat luar biasa. Bagaimana engagement kita kepada publik lewat sosial media. Gak hanya Instagram dan TikTok, banyak platform lain. Sekarang bagaimana mindset anak-anak muda menggunakannya," ucapnya.

Dikatakan Randy, terjun ke industri kreatif membuatnya lebih mudah bergaul dengan berbagai etnis dan agama. Kuncinya saling toleransi agar membuat setiap orang merasa nyaman satu sama lain.

"Aku senang banget berhubungan antar komunitas. Itu kenapa aku punya teman dari semua etnis, dan komunitas, aku punya sahabat," katanya.

Di industri kreatif, katanya, hal penting yang diperhatikan saat membangun networking adalah niat baik. Ia bahkan tidak membatasi dirinya untuk berkomunikasi antar etnis. "Karena gak peduli dia itu etnis apa, hal itu bukan batasan. Selagi dia punya niat baik akan berakhir baik dan sebaliknya," ucapnya.

Baca Juga: Tak Melulu Pengusaha, Kisah Andry Keturunan Tionghoa Memilih jadi PNS

6. Ada potensi besar, terpanggil jadi petani milenial

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamAgus Alendra (IDN Times/Muhammad Nasir)

Tak seperti kebanyakan warga keturunan Tionghoa lainnya, Agus Alendra (35) warga keturunan Tionghoa asal Desa Gerimax Indah Kecamatan Narmada Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak beberapa tahun terakhir memilih mengembangkan sektor pertanian di kampungnya. Dia tidak memilih untuk menjadi pengusaha dengan berjualan di toko seperti keturunan Tionghoa lainnya di Lombok.

Agus merupakan warga keturunan Tionghoa berdarah campuran Sasak - China. Ibunya berasal dari etnis Tionghoa, sedangkan bapaknya etnis Sasak Lombok. Saat ini dia memilih menjadi petani milenial karena melihat potensi sektor pertanian cukup besar di NTB.

Menurut Agus, menjadi petani bukan hal yang memalukan. Dia bisa mengambil peluang besar pada bidang pertanian karena tidak banyak milenial yang mau mengambil peluang yang sama. Apalagi Provinsi NTB dengan pariwisatanya memiliki kebutuhan sayur dan sektor pertanian yang cukup tinggi. Terlebih untuk perhotelan MotoGP dan event lainnya, dia melihat kebutuhan akan pangan dan sektor pertanian lainnya akan semakin meningkat.

"Untuk saat ini, saya bersama keluarga menangkap peluang, menanam dan menyiapkan komoditas pertanian yang dibutuhkan hotel dan restoran serta supermarket. Cuma skalanya masih kecil, belum skala besar," kata Agus saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (29/1/2022).

Menurutnya, sektor pertanian di NTB potensinya cukup besar. Kebutuhan hotel dan restoran seperti sayur-mayur perlu ditangkap peluangnya oleh para petani di daerah ini. Agus yang pernah bekerja di salah satu restoran di Gili Trawangan Lombok Utara ini melihat potensi tersebut. Jika sayur-mayur dijual di pasar tradisional harganya murah, tetapi jika dipasok untuk kebutuhan hotel dan restoran harganya akan naik berkali-kali lipat.

"Saya sekarang petani dan peternak sapi. Orang selama ini kalau sudah berpendidikan tinggi malu jadi petani. Paradigma itu yang ingin saya ubah di masyarakat. Kita kasih contoh bertani yang baik," kata Ketua Kelompok Tani di Desa Gerimax Indah ini.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Mataram ini juga sekarang menjadi salah satu anggota Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Gerimax Indah. Sehingga dia bersama Pemerintah Desa sedang menggagas Desa Gerimax Indah menjadi desa wisata yang mengembangkan agrowisata.

Agus juga memberikan ide mengembangkan agrowisata bersama kepala desa yang sedang digagas. Sehingga sektor pertanian dapat menjadi daya tarik wisata.

Selain menggagas agrowisata di Desa Gerimax Indah, Agus bersama teman-temannya juga membuka usaha di bidang kuliner di Desa Wisata Suranadi Kecamatan Narmada Lombok Barat. Di sana dikembangkan wisata alam. "Itu kita kembangkan di Suranadi Pondok Bambu. Kebun bambu kita sulap jadi lesehan," ujar Agus.

Menariknya, Agus ternyata juga seorang pelatih karate di Lombok Barat. Dia menjadi salah satu pengurus Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki) Provinsi NTB dan Forki Kabupaten Lombok Barat.

"Saya hobi olahraga karate sejak di SMAN 1 Narmada. Kelas III SMA, saya sudah jadi pelatih. Begitu juga ketika kuliah tetap melatih anak-anak di SMAN 1 Narmada. Ratusan anak yang kita dilatih. Anak-anak di luar SMA juga kita terima. Bahkan ada anak-anak kecil juga ikut sekarang," tutur Agus.

7. Jadi seniman bak mencari jarum di tumpukan jerami

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamSeorang seniman yang merupakan keturunan Tionghoa bernama Lie Ping Ping atau Ade Kurniawan. (IDN Times / Ayu Afria)

Keturunan Tionghoa memilih jalan hidup sebagai seniman seni rupa bak mencari jarum di tumpukan jerami. Biasanya mereka lebih dikenal sebagai seorang pengusaha.

Tapi, di Sempidi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, ada seniman Bernama Lie Ping Ping atau Ade Kurniawan (32). Ia seniman keturunan Tionghoa dari Kintamani, Kabupaten Bangli.

Ping Ping, sapaan akrabnya, sangat berbeda dari keempat belas saudara kandungnya. Sebagai anak bungsu, selain lebih dekat dengan sang mama, ia juga cenderung memiliki pemikiran hingga prinsip hidupnya yang tidak mudah disetujui keluarga. Termasuk pilihannya menekuni seni rupa, belum direstui mamanya.

“Saya ingin menemukan jati diri saya. Ya saya pernah jual, jadi penjual sepeda. Sepeda bekas ke sana kemari jual. Terus pernah juga jadi kurir tukang angkat sofa, tukang kirim yoghurt, kurir juga. Terus juga pernah jualan masker. Pernah jualan toothbag, baju segala macam. Tapi dari perjalanan itu, akhirnya saya kembali sadar bahwa seni itu tidak bisa dibohongi. Seni itu juga nggak bisa bohong. Ternyata seni itu hal yang paling jujur,” kata pria kelahiran 7 September 1989 ini.

Ping Ping menyampaikan, semua lukisan yang ia lukis selama ini adalah bentuk curahan hatinya (curhat). Ia mulai menyukai seni sejak kelas V Sekolah Dasar (SD). Saat itu, ia terpilih mewakili sekolah untuk perlombaan seni lukis, namun ia menolak karena merasa tidak bisa menggambar bagus.

Saat dites menggambar oleh gurunya, gambaran tangannya yakni “orang mancing”, disebut paling bagus. Padahal baginya itu hanya gambaran aneh, jelek, dan visualnya pun tidak oke. Sejak saat itulah ia mulai jatuh cinta dengan seni rupa.

Ketika usai menggambar dan melihat kembali karyanya, ia mengaku malah merasa seperti orangt ua yang terjebak dalam tubuh anak-anak. Ia berulang kali menghindari untuk menggambar namun upayanya tidak cukup berhasil.

Ketika di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu-satunya yang membuat jiwanya terasa hidup adalah pelajaran menggambar. Ia kerap menghadiahi teman-teman sekelasnya dengan gambar hasil karyanya.

“Jawabannya curhat. Itu doang. Aku nggak bisa cerita sama orang. Aku nggak percaya sama manusia, termasuk diriku sendiri. Jadi tempat teraman untuk aku cerita ya kanvas itu. Jadi apapun ceritaku. Seaneh apapun, se-nggak masuk akal pun kanvas itu nggak pernah nolak aku. Itu doang,” ungkapnya.

Ping Ping lalu melanjutkan pendidikan ke Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan sempat ingin berhenti kuliah karena ingin menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Ia sempat vakum kuliah beberapa semester hingga akhirnya mantap memilih menjadi seniman.

Kondisi saat itu menurutnya begitu sulit. Mulai dari perang batin antara menjadi seniman atau mengikuti kemauan keluarga untuk menjadi pebisnis. Di tengah keputusasaan dan keterbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan bahan atau material lukisan, hingga skill, ia tetap maju melukis.

Ketika itu ia hanya memiliki beberapa warna cat saja, kanvas dua lembar. Bahkan, ia sering terpaksa melukis di atas lukisan yang sudah jadi karena tidak punya bahan. Juga harus menghemat uang jajan demi bisa membeli cat lukisan. Ia mulai percaya diri lagi menjadi seniman setelah mendapatkan dukungan dari dosen-dosennya saat itu.

Hingga 2010 lalu, saat pertama kali ia mengikuti pameran, lukisannya laku dijual seharga Rp1 juta yang pembelinya merupakan seorang kolektor. Saat itulah menjadi titik awal baginya menjadi hidup sebagai seniman. Uang hasil penjualan lukisan tersebut ia buat modal membeli bahan-bahan lukisan.

Kapan ia melukis? Ping Ping mengaku ia melukis tidak kontinu. Baginya melukis bukanlah berkesinambungan. Ia pun pernah istirahat melukis selama dua tahun dan kemudian ditambah lagi satu tahun. Namun karena kanvas baginya seperti orangtua, sehingga ketika ada masalah apapun, ia kembali melukis lagi pada kanvas.

Laki-laki yang suka diam di pintu ke luar setiap kali mengadakan pameran ini menyampaikan ia tetap berprinsip layaknya keturunan Tionghoa lainnya. Namun jiwa bisnisnya ia tuangkan dengan cara berbeda. Misalnya agar lebih ekonomis, ia membuat katalog dan barang-barang lainnya sendiri. Jika ia beli dengan harga Rp50 ribu, maka dengan membuat sendiri, ia hanya mengeluarkan biaya Rp15 ribu saja. Dengan cara itu, ia bisa menekan biaya pengeluaran dan menambah keterampilan.

“Aku gak bisa lepas dari jiwa Tionghoa itu. Bisnis kek. Mungkin kalau orang bilang pelit, padahal nggak pelit. Kami itu hemat, tapi memang ada yang pelit. Banyak yang pelit. Cuma aku pikir ekonomislah. Ngirit gitu. Aku masih tetap orang Tionghoa, aku masih tetap dengan darah itu. tapi di tempat yang berbeda,” katanya.

Sampai saat ini ia tidak tahu berapa banyak lukisannya yang telah terjual. Namun di galeri sederhananya, diperkirakan masih ada 150-an lukisan. Ia hanya mengingat mulai aktif menjual lukisannya pada tahun 2010 silam.

8. Sedari kecil ingin jadi pengacara demi kemanusiaan

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamMichael Deo (paling kiri), anak muda keturunan Tionghoa yang memilih jalan sebagai pengacara demi kemanusiaan. (IDN Times/dokumentasi Michael Deo)

Jalan hidup seseorang terkadang susah untuk dipahami. Harapan pun sering tidak sesuai ekspektasi. Namun, tekad dan mimpi yang terus dipupuk mampu membawa ke sebuah realita. Itu yang dilakukan Michael Deo, pemuda keturunan Tionghoa dari Kota Semarang, Jawa Tengah kukuh sedari kecil ingin menjadi pengacara demi kemanusiaan.

Jalan yang ditekuni lelaki berusia 30 tahun ini mungkin berbeda dengan warga keturunan Tionghoa lain yang umumnya memilih sebagai pengusaha atau pekerjaan di sektor swasta. Pria yang akrab disapa Deo ini punya alasan mengapa ia bercita-cita sebagai advokat.

‘’Ini passion sejak kecil, saat usia 5 tahun saya sudah ingin menjadi pengacara. Setiap ditanya apa cita-citanya, pengin jadi apa, jawabannya jadi pengacara,’’ katanya, saat dihubungi IDN Times, Jumat (28/1/2022).

Ia memilih cita-cita itu meskipun kedua orang tuanya tidak memiliki latar belakang atau berprofesi di bidang hukum. Sang ibu Maria Lusia Indah berprofesi sebagai bankir di sebuah bank swasta dan sang ayah Felix Sutandi adalah pegawai di sebuah perguruan tinggi di Semarang.

Namun, pilihan hidup ini muncul setelah ia belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan dari seorang pemuka agama bernama Romo Melchers. Deo meneladani dan menanamkan nilai-nilai baik itu di dalam hidupnya.

‘’Dulu saya sering ketemu Romo di tempat ibu saya bekerja. Sikap dan tindakannya menginspirasi saya. Dari sana saya terilhami bahwa pengacara adalah profesi paling konkret setelah kedokteran yang berhubungan dengan kemanusiaan. Sebab, bisa membantu sesama dari sisi hukum, yakni memberi masukan dan menyelesaikan masalah mereka,’’ katanya.

Deo mempercayai profesi pengacara ini adalah pintu masuk untuk membantu orang lain atau sesama yang memiliki masalah hukum. Untuk mencapai cita-cita itu, bungsu dari dua bersaudara itu menempuh pendidikan di Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Tidak cukup hanya menerima ilmu di bangku kuliah, ia juga aktif di berbagai kegiatan sosial.

Menurut dia, profesi pengacara tidak jauh dari dua hal yakni kebijaksanaan dan kemanusiaan. Sehingga, ia memutuskan untuk terjun ke lapangan melihat langsung masalah melalui kegiatan dan aktivitas sosial sekaligus memperkaya nilai-nilai untuk dirinya sendiri.

Selama lima tahun berkarier sebagai pengacara sudah banyak kasus baik pidana maupun perdata yang ditangani oleh Deo. Salah satu kasus yang berkesan adalah kasus pertama, yakni tentang penodaan agama. Selain itu, kesan yang menarik lainnya adalah ia bisa berinteraksi dengan para pengacara senior yang usianya sekitar 50–60 tahun, belajar dan berjuang bersama.

Sebagai milenial keturunan Tionghoa, Deo berharap supaya generasi muda lainnya tidak perlu takut untuk berkarya atau menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Terutama bagi mereka yang juga ingin menggeluti profesi di bidang hukum seperti pengacara.

‘’Sebab, masyarakat butuh banyak pengacara yang kompeten dan mau membantu sesama atas kemanusiaan. Pengacara itu bukan hanya identik dengan namanya calo perkara. Sehingga, tidak perlu takut kalian dari mana, suku dan ras-nya apa,’’ tandasnya.

Baca Juga: Michael Deo, Keturunan Tionghoa Pilih Jadi Pengacara Demi Kemanusiaan 

9. Jadi joki skripsi karena sulit cari kerja

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamDok. Pribadi/Efendi

Warga etnis Tionghoa di sekitar Jakarta umumnya dikenal sebagai pedagang ulung atau profesi lain membuat taraf hidup mereka lebih baik. Namun, tidak dengan etnis Tionghoa di Tangerang, Banten  dikenal sebagai warga Cina Benteng.

Sekian abad mereka berasimilasi di Tangerang, banyak dari mereka kini berprofesi sebagai petani atau profesi lain yang mengasosiasikan dengan warga berpenghasilan bawah hingga menengah. Tapi, ada satu warga Cina Benteng yang sangat lain daripada yang lain. Dia adalah Efendi, 23 tahun, warga Tenjo di perbatasan Tangerang dan Bogor yang berprofesi sebagai joki skripsi hingga penulis hantu atau ghost writer.

"Sebut saja saya Din, itu adalah nama Tionghoa saya, itu juga nama panggilan saya ketika di rumah. Ya, hampir semua etnis Tionghoa di Indonesia memang memiliki dua nama. Marga saya Chia," ujar Efendi.

Efendi adalah anak kedua dari dua saudara. Ayah Efendi saban hari bekerja sebagai penggembala kambing, sementara ibunya bekerja dengan membuka toko sembako. Meski hanya bekerja sebagai peternak penghasilannya tidak menentu, ayah Efendi mampu menyekolahkan dua anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Efendi berkuliah di jurusan sastra. Kata dia, pilihan itu sempat dipertanyakan oleh keluarga. Sebab, mereka menilai jurusan ekonomi atau teknik lebih menjanjikan serta lebih indentik dengan etnis Tionghoa.

"Saya gemar membaca buku. Tidak hanya tentang sastra, tetapi buku lainnya, seperti filsafat, psikologi, dan ilmu terapan. Ternyata, kegemaran saya membaca buku tersebut memudahkan saya dalam pekerjaan yang selama ini saya lakukan yaitu joki tugas," kata dia.

Efendi mengaku sudah menjadi penulis hantu sejak SMA. Kata dia, harus diakui sebagian orang memang kesulitan dalam menyelesaikan beberapa tugas. Di sanalah dia berusaha membantu untuk mengajari mereka menyelesaikan tugas tersebut.

"Tapi, ketika seseorang tersebut masih tidak paham terhadap tugasnya dan menyerah, maka saya mengerjakan tugasnya secara total," katanya.

Selain menjadi penulis hantu dan joki skripsi, Efendi mengaku pernah pula menggeluti pekerjaan sebagai tukang service AC. Pekerjaan itu ia geluti karena dia menginginkan pekerjaan dengan penghasilan pasti.

“Alasan awal memilih pekerjaan ini adalah karena saya merasa bahwa inilah style saya, membaca buku, memahami teori, lalu menjelaskan serta menerapkannya bersama orang lain yang membutuhkan,” akunya.

“Alasan lain mengapa saya masih menekuni ini adalah perihal sulitnya mencari pekerjaan. Saya merasa bahwa kemampuan saya ada di bidang pendidikan, namun cukup sulit bagi saya untuk masuk ke lembaga pendidikan," kata dia.

Biasanya, kata Efendi, di jenjang perguruan tinggi, permintaan kliennya lebih kepada makalah dan artikel. Ada pula yang memesan berupa skripsi. Namun, dia lebih memilih untuk menjadi pembimbing atau tutor skripsi, ketimbang mesti mengerjakan secara total skripsi tersebut.

"Gak semua mahasiswa merasa nyaman, paham, dan pas dengan dosen pembimbingnya. Itu fakta. Gak semua mahasiswa juga memahami secara tepat teori maupun langkah-langkah dalam penyusunan skripsi. Di sana saya hadir untuk membantu mereka menyelesaikan problem-problem tersebut," ungkap Efendi.

Fokus saya, kata Efendi, saat menjadi tutor skripsi adalah di bidang sastra maupun linguistik. "Namun, saya juga pernah menangani beberapa klien di luar bidang itu, seperti pendidikan guru dan teknik industri," ungkapnya.

Efendi mengatakan, ada beberapa kendala yang sering ia hadapi ketika menjadi tutor skripsi. Seperti klien yang sulit menyerap dan memahami teori meski sudah dijelaskan berulang-ulang.

"Kadang juga saya harus memotivasi klien agar terus mengerjakan skripsinya. Sebab, beberapa klien memang memiliki kendala, yaitu malas atau tidak termotivasi, saya harus memahami karakter klien, agar proses bimbingan skripsi sejalan dan lancar," ungkapnya.

Kata Efendi, dia juga harus memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing skripsi kliennya. Efendi berharap, pemerintah bisa memberikan peluang pekerjaan bagi banyak orang sepertinya. Sebab, ia mengakui pekerjaan yang ia lakukan saat ini tergolong serabutan dan tak menentu. Ia menyebut lapangan pekerjaan harus banyak dibuka untuk para sarjana.

10. Jadi duta, kenalkan budaya Tionghoa

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi AntimainstreamCici Lampung 2019, Ferren Marsudi sebagai Duta Budaya Tionghoa. (Instagram/@ferren.wang)

Ferren Marsudi merupakan keturunan Tionghoa lahir dan besar di Kota Bandar Lampung. Ia memilih sehari-hari menyibukan diri sebagai Duta Budaya Tionghoa sejak dinobatkan menjadi Cici Lampung 2019.

"Kalau ketertarikan saya menggeluti aktivitas ini, karena itu duta, yang menjadi role modelnya di bidang tertentu. Apalagi perkembangan zaman sekarang, banyak anak muda belum tahu budaya Tionghoa seperti apa, ini cenderung terlupakan oleh mereka. Jadi saya ingin melestarikan budaya Tionghoa," kata dia saat dikonfirmasi IDN Times, Jumat (28/1/2022).

Meski berstatus sebagai Duta Budaya Tionghoa, Ferren mengaku menjalankan aktivitas tersebut tak melulu berjumpa atau berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa. Melainkan kegiatan itu, ikut melibatkan banyak masyarakat dari macam suku budaya.

Walaupun demikian, ia menyebut tak pernah kesulitan saat harus bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Itu lantaran dirinya tak pernah mempermasalahkan perbedaan antar satu dengan lainnya.

"Kita semua sama, kita satu Indonesia. Lebih dari itu, saya juga pernah bersekolah di bukan swasta waktu duduk di bangku SMP. Jadi memang saya juga banyak teman bukan keturunan Tionghoa," imbuh dara 23 tahun tersebut.

Selain itu, Ferren juga tetap mengedepankan toleransi antar umat beragama, dengan cara menjaga tutur kata kepada tiap orang yang baru dijumpai. "Bagaimana kita harus pandai menjaga cara bersikap, apalagi orang itu baru kita kenal atau temui," sambungnya.

Biarpun keturunan asli Tionghoa, Ferren tak menampik, menjadi Duta Budaya Tionghoa bukan berarti tak memiliki tantangan. Mengingat di usianya yang masih muda sehingga harus banyak mempelajari dan mendalami keanekaragaman budaya tersebut, sebelum akhirnya dikenalkan kepada masyarakat banyak.

Selain itu, ia juga dituntut harus bisa merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari, terkait segala bentuk teori kebudayaan yang selama ini telah diketahui ataupun dipelajari. "Kita harus terapkan di masyarakat atau teman-teman itu seperti apa, jadi mungkin tantangan aktivitas ini bagaimana harus bisa direalisasikan ke kehidupan," ucapnya.

11. Merasa diterima

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi Antimainstreamhttp://materi4belajar.blogspot.com/2017/03/bentuk-dan-contoh-kerjasama-dalam.html

Apakah menjadi orang keturunan Tionghoa berdomisili di Indonesia merasa dikucilkan atau dianggap berbeda? Hal itu ditepis jauh Joneten Saputra. Pria yang akrab disapa Ko Jo ini merasa diterima di lingkungan sekitarnya.

"Kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, buat teman-teman Tionghoa lain jangan takut bersosialisasi dengan siapa pun. Karena sekarang masyarakat sudah sangat welcome," ujar Ko Jo, salah satu pionir digital di Palembang kepada IDN Times, Kamis (27/1/2022).

Ko Jo berharap, warga keturunan Tionghoa di Palembang maupun daerah lain tak lagi merasa terkucilkan, kemudian menganggap tidak ada yang ingin bekerja sama dan mengajak bersosialisasi. Hal penting baginya adalah berperilaku baik dan saling memaklumi.

"Kita harus welcome dengan mereka yang bukan Tionghoa, kalau bisa malah kita kolaborasi bersama, buat suatu hal yang bermanfaat besar bagi orang banyak. Seperti bersama-sama membuat bakti sosial atau program lainnya. Intinya kolaborasi untuk maju beriringan," tandas dia.

Soal masa lalu, Christian Julianto Budiman anggota DPRD Kota Bandung menjelaskan, sempat merasakan adanya perilaku rasis, namun hal itu ada kaitannya dengan persoalan pendidikan. Menurutnya, persoalan perbedaan harus diterangkan dalam bangku pendidikan.

Dalam bingkai NKRI, Christian mengatakan, perbedaan itu tidak berarti buruk dan bukan diartikan sebagai hal yang keliru. Perbedaan di Indonesia harus dihargai dan terus didorong untuk lebih baik.

"Kalau dapat perlakuan gak enak kan ada yang bilang mau pindah ke warga negara, kita harus mengubah itu, gimana orang bisa menghargai kebinekaan ke depan. Tuhan ciptakan kita berbeda, dengan satu tujuan kita harus lihat itu, dan menghargai itu, perbedaan ada karena salah satu tujuan tuhan juga," kata dia.

Keberagaman di Kota Bandung saat ini sudah tergolong lebih baik. Kelompok keturunan Tionghoa sering kali menjadi minor karena politik belanda. Saat itu, kolonial mengkotak-kotakan suku. Sehingga, pemikiran itu menurutnya harus mulai ditinggalkan.

"Kalau kita lihat sejarah Bandung, wilayah ABC kan Arab Bumi Putra Chinese emang dibagi. Orang Gardu Jati orang Ciajis orang Palembang, Sumatera. Kalau hari ini masih ada tersisa ya memang peninggalan kolonial," ujarnya.

Randy Raharja Creativepreneur asal Kota Medan menyatakan, tantangan dalam pergaulan adalah saat mengenal budaya yang berbeda antar etnis. Namun pada kenyataannya, setiap orang memiliki sikap saling terbuka, baik dari komunitas, golongan dan etnis apa pun.

"Sekarang yang jadi masalah itu ketidakpahaman kita untuk mengerti bahwa mereka punya kebiasaan dan kultur yang ingin dimengerti. Itulah yang kita sebut toleransi. Aku mempelajari itu," katanya.

Ia berharap, khususnya kepada sahabat-sahabat dari berbagai kalangan, agar mau belajar dan mengenal kultur dari antar etnis. Dengan hal itu, menurutnya rasa toleransi akan muncul.

"Coba deh belajar dari satu sama lain punya kultur. Di saat itu kita akan mengerti gimana rasanya menjadi mereka. Di saat itu kita akan mengerti gimana caranya bertoleransi. Ketika seseorang belum mengerti, aku gak menyalahkan ada batasan atau gap," ucap Randy.

Sebagai anak muda peduli akan keberadaan budaya Tionghoa di Tanah Air, Ferren Marsudi asal Bandar Lampung berharap agar seluruh masyarakat Indonesia, khususnya Provinsi Lampung bisa kian saling menghargai tiap perbedaan satu dengan yang lain. Menurutnya, kata toleransi akan sangat tepat bila disandingkan dengan kalimat saling menghargai perbedaan antar sesama manusia.

"Kita Indonesia, mari hidup rukun berdampingan dengan tetap tidak melupakan budaya dan para leluhur. Ayo kita lestarikan budaya warisan mereka," tandas alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada Universitas Bandar Lampung tersebut.

12. Harapan momentum Imlek

Kisah Inspiratif Milenial Keturunan Tionghoa, Pilih Profesi Antimainstream

Menjelang Hari Raya Imlek, Christian berharap, keberagaman masyarakat terus bisa terjalin di Kota Bandung, dan berharap akan membawa kebaikan untuk semua umat.

"Imlek tahun ini, semangat baru, dan yang sudah lalu atau yang buruk ditinggalkan. Tahun akan datang semakin banyak kebaikan, dan kesehatan kita lebih baik ekonomi segera pulih intinya itu sih," kata dia.

Ievana Gunawan, perempuan asal Balikpapan, Kalimantan Timur ingin sekali melalui momen Imlek bersama teman-temannya tahun ini. Hanya saja karena kondisi pandemik saat ini hal itu tidak memungkinkan. Bahkan perayaan imlek tahun ini untuk di lingkungan keluarganya saja juga dibatasi.

“Yang biasanya, pihak keluarganya akan berkumpul di rumah sebelum COVID-19, kali ini hanya bisa bertegur sapa melalui telepon saja,” jelas perempuan berprofesi sebagai teller di salah satu bank ini.

Namun kembali pada konteksnya, Ievana berharap agar warga Tionghoa di Balikpapan semakin diterima dan bisa berbaur dengan suku lainnya, termasuk memberanikan diri dalam menjajaki pilihan di luar dari ekspektasi orang-orang saat ini. Melihat pengalamannya sendiri memilih bekerja dan membaur bersama suku lainnya, dirinya makin banyak belajar rasam dan tradisi dari etnis lainnya yang ada di Indonesia.

Menyambut Tahun Baru Imlek di tahun 2022 ini, Andry PNS di Inspektorat Daerah Kota Makassar berharap, semoga tahun ini lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Ia juga berharap masyarakat Kota Makassar, khususnya masyarakat Tionghoa menyambut Imlek ini senantiasa menerapkan protokol kesehatan dan mendukung program pemerintah untuk mengatasi pandemik COVID-19 ini, sehingga dapat segera teratasi.

"Semoga kita semua senantiasa diberkahi kesehatan, kesuksesan dan kebahagiaan di tahun baru Imlek ini." katanya.

Tim Penulis: Rangga Efrizal, Feny Maulia Agustin, Azzis Zulkhairil, Masdalena Napitupulu, Muhammad Nasir, Riani Rahayu, Ayu Afria Ulita Ermalia, Anggun Puspitoningrum, Muhammad Iqbal, Tama Yudha Wiguna, Ashrawi Muin.

Baca Juga: Milenial Tionghoa Asal Lampung Ferren Marsudi Bangga Jadi Duta Budaya

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya