Seorang seniman yang merupakan keturunan Tionghoa bernama Lie Ping Ping atau Ade Kurniawan. (IDN Times / Ayu Afria)
Keturunan Tionghoa memilih jalan hidup sebagai seniman seni rupa bak mencari jarum di tumpukan jerami. Biasanya mereka lebih dikenal sebagai seorang pengusaha.
Tapi, di Sempidi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, ada seniman Bernama Lie Ping Ping atau Ade Kurniawan (32). Ia seniman keturunan Tionghoa dari Kintamani, Kabupaten Bangli.
Ping Ping, sapaan akrabnya, sangat berbeda dari keempat belas saudara kandungnya. Sebagai anak bungsu, selain lebih dekat dengan sang mama, ia juga cenderung memiliki pemikiran hingga prinsip hidupnya yang tidak mudah disetujui keluarga. Termasuk pilihannya menekuni seni rupa, belum direstui mamanya.
“Saya ingin menemukan jati diri saya. Ya saya pernah jual, jadi penjual sepeda. Sepeda bekas ke sana kemari jual. Terus pernah juga jadi kurir tukang angkat sofa, tukang kirim yoghurt, kurir juga. Terus juga pernah jualan masker. Pernah jualan toothbag, baju segala macam. Tapi dari perjalanan itu, akhirnya saya kembali sadar bahwa seni itu tidak bisa dibohongi. Seni itu juga nggak bisa bohong. Ternyata seni itu hal yang paling jujur,” kata pria kelahiran 7 September 1989 ini.
Ping Ping menyampaikan, semua lukisan yang ia lukis selama ini adalah bentuk curahan hatinya (curhat). Ia mulai menyukai seni sejak kelas V Sekolah Dasar (SD). Saat itu, ia terpilih mewakili sekolah untuk perlombaan seni lukis, namun ia menolak karena merasa tidak bisa menggambar bagus.
Saat dites menggambar oleh gurunya, gambaran tangannya yakni “orang mancing”, disebut paling bagus. Padahal baginya itu hanya gambaran aneh, jelek, dan visualnya pun tidak oke. Sejak saat itulah ia mulai jatuh cinta dengan seni rupa.
Ketika usai menggambar dan melihat kembali karyanya, ia mengaku malah merasa seperti orangt ua yang terjebak dalam tubuh anak-anak. Ia berulang kali menghindari untuk menggambar namun upayanya tidak cukup berhasil.
Ketika di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu-satunya yang membuat jiwanya terasa hidup adalah pelajaran menggambar. Ia kerap menghadiahi teman-teman sekelasnya dengan gambar hasil karyanya.
“Jawabannya curhat. Itu doang. Aku nggak bisa cerita sama orang. Aku nggak percaya sama manusia, termasuk diriku sendiri. Jadi tempat teraman untuk aku cerita ya kanvas itu. Jadi apapun ceritaku. Seaneh apapun, se-nggak masuk akal pun kanvas itu nggak pernah nolak aku. Itu doang,” ungkapnya.
Ping Ping lalu melanjutkan pendidikan ke Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan sempat ingin berhenti kuliah karena ingin menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Ia sempat vakum kuliah beberapa semester hingga akhirnya mantap memilih menjadi seniman.
Kondisi saat itu menurutnya begitu sulit. Mulai dari perang batin antara menjadi seniman atau mengikuti kemauan keluarga untuk menjadi pebisnis. Di tengah keputusasaan dan keterbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan bahan atau material lukisan, hingga skill, ia tetap maju melukis.
Ketika itu ia hanya memiliki beberapa warna cat saja, kanvas dua lembar. Bahkan, ia sering terpaksa melukis di atas lukisan yang sudah jadi karena tidak punya bahan. Juga harus menghemat uang jajan demi bisa membeli cat lukisan. Ia mulai percaya diri lagi menjadi seniman setelah mendapatkan dukungan dari dosen-dosennya saat itu.
Hingga 2010 lalu, saat pertama kali ia mengikuti pameran, lukisannya laku dijual seharga Rp1 juta yang pembelinya merupakan seorang kolektor. Saat itulah menjadi titik awal baginya menjadi hidup sebagai seniman. Uang hasil penjualan lukisan tersebut ia buat modal membeli bahan-bahan lukisan.
Kapan ia melukis? Ping Ping mengaku ia melukis tidak kontinu. Baginya melukis bukanlah berkesinambungan. Ia pun pernah istirahat melukis selama dua tahun dan kemudian ditambah lagi satu tahun. Namun karena kanvas baginya seperti orangtua, sehingga ketika ada masalah apapun, ia kembali melukis lagi pada kanvas.
Laki-laki yang suka diam di pintu ke luar setiap kali mengadakan pameran ini menyampaikan ia tetap berprinsip layaknya keturunan Tionghoa lainnya. Namun jiwa bisnisnya ia tuangkan dengan cara berbeda. Misalnya agar lebih ekonomis, ia membuat katalog dan barang-barang lainnya sendiri. Jika ia beli dengan harga Rp50 ribu, maka dengan membuat sendiri, ia hanya mengeluarkan biaya Rp15 ribu saja. Dengan cara itu, ia bisa menekan biaya pengeluaran dan menambah keterampilan.
“Aku gak bisa lepas dari jiwa Tionghoa itu. Bisnis kek. Mungkin kalau orang bilang pelit, padahal nggak pelit. Kami itu hemat, tapi memang ada yang pelit. Banyak yang pelit. Cuma aku pikir ekonomislah. Ngirit gitu. Aku masih tetap orang Tionghoa, aku masih tetap dengan darah itu. tapi di tempat yang berbeda,” katanya.
Sampai saat ini ia tidak tahu berapa banyak lukisannya yang telah terjual. Namun di galeri sederhananya, diperkirakan masih ada 150-an lukisan. Ia hanya mengingat mulai aktif menjual lukisannya pada tahun 2010 silam.