Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi tracking pengeluaran harian (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi tracking pengeluaran harian (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Intinya sih...

  • Gaya hidup frugal living semakin populer di kalangan Gen Z sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya biaya hidup
  • Frugal living didorong oleh kesadaran finansial yang lebih tinggi serta akses luas terhadap informasi mengenai manajemen keuangan melalui media sosial
  • Menerapkan gaya hidup frugal living bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan untuk mengelola keuangan secara bijak tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesejahteraan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Frugal living atau gaya hidup hemat semakin populer di kalangan Gen Z sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya biaya hidup. Alih-alih berfoya-foya, banyak anak muda mulai menerapkan pola konsumsi yang lebih bijak, seperti membatasi pengeluaran, memanfaatkan barang bekas, serta mencari cara untuk hidup efisien tanpa mengorbankan kualitas.

Tren ini didorong oleh kesadaran finansial yang lebih tinggi serta akses luas terhadap informasi mengenai manajemen keuangan melalui media sosial. Namun, gaya hidup frugal living tidak selalu mudah diterapkan dan memiliki dampak baik maupun buruk bagi individu yang menjalankannya.

Sebab itu, diperlukan strategi yang tepat agar frugal living tetap efektif tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesejahteraan. Lalu, bagaimana cara Gen Z di Lampung menerapkan gaya hidup frugal living, dan apa saja dampaknya menurut pengamat ekonomi dan sosial? Berikut IDN Times rangkum selengkapnya.

1. Sulitnya mencari uang menjadi alasan utama untuk berhemat

Zulfauzi, Salah Satu Gen Z Lampung yang Menerapkan Konsep Frugal Living (IDN Times/Istimewa)

Zulfauzi, seorang Gen Z asal Lampung, mulai menerapkan gaya hidup frugal living sejak 2022, tepat ketika ia mulai memiliki penghasilan sendiri. Baginya, sulitnya mencari uang menjadi alasan utama untuk berhemat, membelanjakan uang sesuai kebutuhan, dan fokus menabung sebanyak mungkin.

Untuk mengatur keuangan, Zul menerapkan sistem kantong belanja terpisah. Setiap gajian, ia membagi pendapatannya berdasarkan persentase agar tidak boros.

"Pendapatanku kan gak tetap, jadi aku bagi setiap kantong belanja pakai persenan. Tabungan pasti 50 persen. Sisanya dibagi lagi untuk kebutuhan pokok seperti bayar listrik dan internet. Terus aku sisihin juga buat jajan. Jadi kalau sudah habis, ya udah, nunggu gajian selanjutnya buat isi kantong lagi," ungkapnya kepada IDN Times, Kamis (27/3/2025).

Dengan sistem ini, Zul merasa lebih aman secara finansial. Karena pendapatannya tidak selalu stabil, ia harus berpikir jauh ke depan, memastikan ada cadangan dana untuk bulan-bulan ketika pekerjaan tidak ada.

2. Menerapkan gaya hidup frugal living bukan sekadar tren tapi kebutuhan

Ilustrasi hemat (pexels.com)

Bagi Zul, menerapkan gaya hidup frugal living bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan. Biaya hidup yang semakin mahal membuatnya berpikir lebih bijak dalam mengelola keuangan. Selain itu, ia juga punya tujuan lain yang ingin dicapai, sehingga lebih mudah menahan diri dari pengeluaran yang tidak perlu.

"Pengeluaran paling boros sejauh ini buat beli paket internet sama ngasih ke orang tua. Tapi menurutku masih terkontrol. Aku menerapkan gaya hidup ini secara sadar karena memang kurang suka belanja impulsif," ujarnya.

Menariknya, Zul termasuk Gen Z yang tidak begitu menganut konsep self-reward. Baginya, memberi penghargaan pada diri sendiri tidak harus dengan menghamburkan uang.

"Self-reward termahal yang pernah aku beli itu koleksi One Piece seharga Rp250 ribu atau makan bareng pacar. Ya, sesekali gak apa-apa, tapi kalau punya duit 5 juta, terus self-reward Rp4 juta, itu aneh sih," ucapnya santai.

Prinsipnya dalam mengatur keuangan juga terlihat saat membeli barang berharga. Jika ingin sesuatu yang membutuhkan biaya besar, seperti kendaraan, Zul lebih memilih menabung terlebih dahulu daripada berutang.

"Aku beli motor males kredit, jadi beli second aja, toh fungsinya sama. Karena menurutku, kalau mau hidup frugal living, jangan punya pinjaman," tegasnya.

Baginya, hidup hemat bukan berarti pelit, tapi cerdas dalam mengelola uang agar keuangan tetap sehat dan masa depan lebih terjamin.

3. Frugal living didorong oleh faktor ekonomi

Erwin Oktavianto, Pengamat Ekonomi di Lampung (IDN Times/Istimewa)

Pengamat Ekonomi di Lampung, Erwin Oktavianto, menilai pergeseran gaya hidup Gen Z ke arah frugal living adalah tren positif. Pasalnya, generasi ini sebelumnya lebih dikenal boros dan tak ragu menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk self-reward.

"Pada akhirnya sekarang gaya hidup Gen Z mengarah pada frugal living. Kenapa demikian? Karena mereka sudah tidak punya uang lagi akibat kebanyakan self-reward," ujarnya.

Menurut Erwin, perubahan ini bukan terjadi begitu saja, melainkan didorong oleh faktor ekonomi. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan daya beli yang menurun membuat Gen Z harus lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka. Terlebih, secara karier, kebanyakan dari mereka masih berada di posisi staf atau pegawai dengan gaji terbatas.

"Dengan kondisi seperti ini, mereka mulai membatasi keinginan belanja berlebihan. Ini sebenarnya hal yang baik, karena akhirnya Gen Z lebih sadar dalam mengelola keuangan dengan menyesuaikan pengeluaran berdasarkan kebutuhan dan fungsi barang yang dibeli," jelasnya.

Erwin menilai, fenomena ini menunjukkan Gen Z kini lebih bijak dalam mengatur keuangan, bukan sekadar ikut tren, tetapi sebagai bentuk adaptasi terhadap realitas ekonomi yang semakin menantang.

4. Tantangan bagi industri besar, peluang bagi UMKM

ilustrasi bazaar UMKM (freepik.com/jcomp)

Namun, di tengah kondisi perekonomian global yang kurang stabil, tren frugal living di kalangan Gen Z menjadi fenomena yang perlu dicermati. Erwin menilai jika daya beli masyarakat terus menurun dan kebiasaan membeli barang bekas atau produk non-premium semakin masif, ada potensi terjadinya stagnasi ekonomi.

"Kalau terlalu banyak yang memilih barang second atau produk lebih murah, industri besar bisa terpukul karena barang baru tidak terbeli," jelasnya.

Namun, Erwin menegaskan bahwa dampak ini tidak merata di semua sektor. Justru, pola konsumsi yang lebih hemat ini membuka peluang besar bagi UMKM. Ciri khas frugal living adalah membeli barang dengan fungsi serupa tetapi harga lebih terjangkau, yang sering kali berasal dari produk lokal atau usaha kecil.

"Di satu sisi, industri besar memang terancam karena masyarakat lebih memilih barang second. Tapi di sisi lain, ini justru jadi peluang bagi UMKM yang menawarkan produk alternatif. Akibat perubahan gaya hidup Gen Z ini, transaksi usaha kecil bisa meningkat," ungkapnya.

Erwin menekankan, UMKM harus bisa menangkap momentum ini dengan baik. Jika produktivitas industri besar menurun, sektor UMKM bisa menjadi penyeimbang agar ekonomi tetap tumbuh.

"Frugal living memang punya sisi negatif, tapi jika peluangnya dimanfaatkan dengan baik, perekonomian akan tetap berkembang," ujarnya.

5. Tren sesaat atau kesadaran sosial?

Muhammad Guntur Purboyo, Akademisi Sosiologi Universitas Lampung (IDN Times/Istimewa)

Akademisi Sosiologi Universitas Lampung, Muhammad Guntur Purboyo melihat maraknya gaya hidup frugal living di kalangan Gen Z bisa terjadi karena dua alasan, tren atau kesadaran sosial. Bahkan menurutnya fenomena ini tak lepas dari budaya fear of missing out (FOMO) yang melekat pada Gen Z.

"Frugal living ini juga dipopulerkan di media sosial, dan Gen Z tidak mau ketinggalan. Jadi ada dua kemungkinan, ada yang hanya ikut-ikutan karena sedang tren, dan ada juga yang benar-benar tersadarkan sehingga mulai menerapkannya secara sadar," jelasnya.

Namun, ia menekankan kondisi ekonomi saat ini juga turut mendorong perubahan pola konsumsi. Setelah lonjakan harga dari 2023 hingga 2025 dan daya beli yang melemah, banyak orang mulai lebih selektif dalam berbelanja.

"Mereka yang benar-benar memiliki kesadaran sosial akan lebih berhati-hati dalam konsumsi. Mereka tidak sekadar ikut tren, tetapi juga merasa bertanggung jawab atas apa yang mereka beli. Akibatnya, konsumsi cenderung bergeser ke produk-produk yang memiliki jangka waktu pakai lebih panjang," ujarnya.

6. Memilih gaya hidup bukan sekadar mengikuti tren, tetapi juga harus memahami risikonya

ilustrasi Gen-Z saat bekerja (pexels.com/Andy Barbour)

Guntur menilai, bagi Gen Z yang hanya ikut-ikutan tren frugal living, ada tantangan tersendiri yang bisa mereka hadapi yaitu tekanan sosial. Menurutnya kelompok ini akan merasa perlu menjaga citra di media sosial agar tetap terlihat sebagai bagian dari tren tersebut.

"Tekanan ini bisa menyebabkan ketidakstabilan emosional. Mereka berusaha menunjukkan gaya hidup hemat di media sosial, padahal sebenarnya kebiasaan konsumsi mereka tidak seperti itu. Akibatnya, mereka bisa mengalami stres emosional, bahkan berpotensi kembali boros karena merasa sudah cukup berhemat sebelumnya," jelas Guntur.

Ia menekankan, memilih gaya hidup bukan sekadar mengikuti tren, tetapi juga harus memahami risikonya. Jika frugal living dijalani tanpa pemahaman yang matang, justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.

"Frugal living itu bukan soal berhemat sekarang untuk hidup boros nanti. Konsepnya adalah memiliki tujuan finansial yang jelas, seperti membeli rumah atau memenuhi kebutuhan jangka panjang," tegasnya.

Oleh karena itu, Guntur mengingatkan jika ingin menerapkan frugal living, Gen Z harus benar-benar memahami konsepnya dan menjalankannya dengan cara yang tepat, bukan sekadar demi tampilan di media sosial.

7. Pentingnya beradaptasi dengan kondisi ekonomi saat ini

ilustrasi gen z (pexels.com/Yan Krukau)

Selain memahami konsep frugal living, Guntur juga menekankan pentingnya beradaptasi dengan kondisi ekonomi saat ini dan belajar mengelola uang dengan baik. Menurutnya, gaya hidup hemat harus dilakukan secara berkelanjutan, tetapi tanpa menimbulkan risiko emosional dan sosial.

"Misalnya, kalau terlalu ketat berhemat sampai tidak pernah nongkrong dengan teman-teman, bisa saja dianggap sombong. Itu juga bahaya, karena interaksi sosial tetap penting," jelasnya.

Guntur juga mendorong Gen Z untuk terus berinovasi dalam menjalankan frugal living, sehingga tetap bisa menikmati hidup tanpa mengorbankan kesejahteraan mental dan hubungan sosial.

"Jadi bukan hanya soal mengurangi pengeluaran, tapi juga bagaimana menjalankan gaya hidup ini dengan cara yang cerdas dan tetap seimbang," tandasnya

Editorial Team