Lampung Timur, IDN Times - Di bawah rindang pohon di tepi hutan Desa Labuhanratu IX Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Ikhsan Sanjaya, seorang Generasi Z menatap layar ponselnya. Jemarinya lincah menulis caption tentang keindahan desanya yang kini kian dikenal lewat media sosial.
Sambil menatap kamera ponsel, Ikhsan merekam panorama hutan konservasi desa. Desa Laburahratu IX notabene menjadi desa penyangga Taman Nasional Way Kambas. Tak sekadar unggahan, bagi dirinya ini adalah cara bercerita tentang kampung halaman yang ingin ia jaga.
Bukan kamera profesional yang ia genggam, melainkan ponsel sederhana. Namun dari situlah lahir kisah-kisah visual yang mengangkat pesona Desa Labuhan Ratu XI. Di tengah hiruk pikuk dunia maya, anak muda ini memilih jalannya sendiri memanfaatkan Instagram sebagai jendela pariwisata berkelanjutan desanya.
“Desa kami tak kalah indah dengan tempat wisata terkenal. Di sini, alam masih hidup berdampingan dengan manusia. Memang betul, desa kami termasuk desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, tapi kami juga ingin Desa Labuhanratu IX punya ciri khas sendiri dan orang perlu tahu itu,” jelasnya kepada IDN Times, Rabu (29/10/2025).
Ikhsan memanfaatkan media sosial bukan untuk mencari popularitas, melainkan untuk memperkenalkan wajah desanya yang kaya potensi wisata. “Dulu, orang hanya tahu Way Kambas karena gajah. Padahal, di sekitar taman nasional ini banyak desa yang punya keindahan alam dan budaya unik. Kami ingin itu juga dikenal,” ujarnya.
Desa Labuhan Ratu XI, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur berbatasan langsung dengan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), kawasan konservasi Gajah Sumatra dan Harimau Sumatra yang menjadi kebanggaan Indonesia. Lantaran Labuhanratu IX termasuk desa penyangga TNWK, Ikhsan bercerita, bersama beberapa temannya tiga tahun lalu menginisiasi pembentukan Koperasi Plang Ijo Dewi Rasa.
Saat koperasi tersebut dibentuk awal 2022, muda mudi desa setempat terpikir ingin membentuk personal branding. Namun, personal branding yang diinginkan, tidak hanya fokus satwa gajah dan badak notabene menjadi ciri khas TNWK. Dari berbagai ide pemuda, mereka bersepakat ingin juga mengusung personal branding desa ramah burung.
Ikhsan mengklaim, personal branding desa ramah burung menjadi pertama diusung di Pulau Sumatra. Setelah ide personal branding berhasil diusung, sejumlah kegiatan utama pun digulirkan para anggota tergabung Koperasi Plang Ijo Dewi Rasa terkait desa ramah burung.
“Kami saat itu ada program bagaimana ubah konsep masyarakat dari tidak peduli jadi peduli satwa burung. Memang butuh waktu, kami gelar kegiatan sosialisasi di sekolah SD dan SMP jadi wadah transfer knowledge ke pelajar,” paparnya.
Pemuda hobi bermain sepak bola ini mengatakan, program unggulan desa ramah burung adalah bird watching. Bird watching, konsepnya pengunjung atau wisatawan mengamati burung di habitat aslinya yaitu hutan. Hutan di Desa Labuhanratu IX merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Way Kambas. “Pengamatan ini tidak ada aktivitas menangkap atau mengganggu burung. Tujuannya menikmati keindahan alam, belajar mengenal jenis burung hingga mendukung kegiatan konservasi alam,” ujarnya.
Saat pengamatan burung, jagawana biasanya membawa perlengkapan teropong untuk melihat burung dari jarak jauh. Selain itu, membawa buku panduan untuk mencatat jenis burung yang dilihat, titik lokasi hingga waktu pengamatan dan tak kalah penting kamera tele untuk memotret burung dari kejauhan. “Yang diamati itu bentuk dan warna bulu, ukuran tubuh, suara kicauan, gerakan atau perilaku dan habitat tempat burung ditemukan. Semua itu membantu mengidentifikasi jenis burung dengan lebih akurat,” jelas Ikhsan.
Bird watching menjadi program harian dilakukan Ikhsan bersama beberapa rekannya. Mereka berkeliling merekam aktivitas satwa burung. Semua itu ia abadikan lewat kamera ponsel. Hasilnya kemudian diunggah ke Instagram @pesonaplangijo. Akun Instagram tersebut hingga saat ini sudah mengunggah lebih dari 394 konten dan memiliki lebih dari 2.530 followers
Menurutnya, media sosial adalah jembatan antara desa dan dunia luar. Dengan koneksi internet yang kini mulai stabil, anak-anak muda di Labuhan Ratu XI bisa menampilkan keindahan alam mereka ke audiens nasional bahkan internasional. “Kalau kami tidak menceritakan, siapa lagi?” katanya sambil tersenyum.
Setiap unggahan mendapat tanggapan positif dari netizen. Beberapa wisatawan lokal bahkan datang setelah melihat postingan mereka. “Pernah ada mahasiswa dari Jakarta datang karena lihat video kami tentang trekking di pinggir hutan Way Kambas,” tutur Ikhsan bangga.
