Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Unila gelar sharing Pengalaman Hilirisasi Invensi dan Komersialisasi Inovasi yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)
Unila gelar sharing Pengalaman Hilirisasi Invensi dan Komersialisasi Inovasi yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) (Dok.Unila)

Intinya sih...

  • Peneliti menghadapi hambatan dalam hilirisasi riset, seperti minimnya akses ke industri dan lemahnya perlindungan kekayaan intelektual.

  • Keberhasilan hilirisasi tidak instan, tetapi lahir dari konsistensi dukungan kelembagaan dan kebijakan kampus.

  • Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri penting agar riset tidak berhenti pada publikasi ilmiah saja.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Universitas Lampung (Unila) berkomitmen mempercepat hilirisasi riset dan mendorong komersialisasi inovasi. Caranya melalui gelaran Sharing Pengalaman Hilirisasi Invensi dan Komersialisasi Inovasi yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).

Acara berkonsep ruang diskusi terbuka ini membongkar tantangan nyata dunia riset, mulai dari bagaimana invensi bisa lolos dari meja laboratorium, menemukan partner industri, hingga benar-benar menjadi produk bernilai ekonomi.

1. Hambatan sering ditemui peneliti

ilustrasi peneliti (pexels.com/Pixabay)

Antusiasme terlihat dari banyaknya pimpinan universitas dan peneliti yang hadir, mulai dari para wakil rektor, dekan, ketua lembaga, guru besar, hingga mahasiswa. Mereka datang dengan satu pertanyaan besar: bagaimana riset bisa naik kelas menjadi produk?

LPPM menghadirkan dua pakar yang sudah membuktikan perjalanan riset hingga fase komersial. Setyo Dwi Utomo, dari Fakultas Pertanian Unila, membagikan pengalaman langsung mengenai lika-liku hilirisasi.

Ia mengungkap hambatan yang sering ditemui peneliti, seperti minimnya akses ke industri, kurangnya pendanaan, hingga lemahnya perlindungan kekayaan intelektual. Menurutnya, tanpa jejaring industri yang kuat dan pemahaman mengenai regulasi paten, riset berpotensi mandek sebelum benar-benar bermanfaat.

Karena itu, ia mengajak peneliti membangun kolaborasi lintas disiplin dan aktif memanfaatkan fasilitas pendampingan dari LPPM.

2. Keberhasilan hilirisasi tidak instan

ilustrasi peneliti di laboratorium (pexels.com/Edward Jenner)

Narasumber kedua, Erika Budiarti Laconi, Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi IPB University, menghadirkan perspektif berbeda yaitu, bagaimana membangun ekosistem inovasi yang terstruktur dari hulu hingga hilir. Ia membeberkan strategi IPB membentuk unit bisnis berbasis riset, menggandeng industri, hingga mengembangkan inkubator teknologi yang siap menampung inovasi para akademisi.

"Bahwa keberhasilan hilirisasi tidak instan, tetapi lahir dari konsistensi dukungan kelembagaan dan kebijakan kampus," jelasnya.

3. Pentingnya kolaborasi riset agar tidak berhenti pada publikasi ilmiah

ilustrasi peneliti menganalisis data (unsplash.com/mjessier)

Wakil Rektor Bidang Akademik, Suripto Dwi Yuwono menegaskan, hilirisasi bukan sekadar jargon kampus. Menurutnya, kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri harus berjalan simultan agar riset tidak berhenti pada publikasi ilmiah saja.

“Riset harus hidup di masyarakat. Itu yang ingin kita dorong,” kata Suripto.

Ia berharap, muncul kesadaran baru di kalangan peneliti yakni inovasi tidak boleh berhenti pada penemuan. Selain itu, lanjutnya, riset harus berdampak, terukur, bisa diproduksi, dan pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat.

Editorial Team