Puluhan santri Lotim saat mengikuti seminar kebangsaan yang digelar seusai apel peringatan hari santri (IDN Times/Ruhaili)
Panggilan "Gus," semula menjadi simbol penghormatan dalam tradisi pesantren, sering kali disalahgunakan atau disalahartikan dalam masyarakat modern. Salah satu bentuk penyalahgunaan adalah kapitalisasi gelar ini untuk kepentingan pribadi atau komersial tanpa mencerminkan nilai-nilai spiritual semestinya.
Beberapa individu bukan dari kalangan kiai atau pesantren terkadang menggunakan gelar ini untuk meningkatkan status sosial atau pengaruh, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan bias mengenai makna asli dari gelar tersebut. Selain itu, penyematan gelar ini kepada seseorang dapat memicu kontroversi apabila tindakan atau perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai luhur seharusnya dijunjung oleh pemegang gelar "Gus".
Sebagai contoh, beberapa tokoh dikenal dengan gelar ini pernah menghadapi kritik akibat pernyataan atau tindakan kontroversial bertentangan dengan nilai agama atau sosial. Salah satunya adalah Miftah Maulana Habiburrahman. Baru-baru ini, namanya ramai diperbincangkan setelah dirinya dikritik karena pernyataannya dinilai merendahkan pedagang es teh keliling.
Miftah Maulana Habiburrahman, seorang kyai dan tokoh publik dikenal luas, dianggap melanggar nilai-nilai moral melekat pada gelar 'Gus'. Pasalnya, perilaku dan ucapan seseorang menyandang panggilan ini diharapkan mencerminkan akhlak mulia dan kesantunan.
Penting untuk memahami bahwa panggilan "Gus" bukan sekadar titel, melainkan simbol kepercayaan dan tanggung jawab moral. Gelar ini membawa harapan besar bagi pemiliknya untuk menjadi panutan dalam nilai-nilai agama dan kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya pesantren, "Gus" diberikan kepada putra kiai dengan harapan mereka meneruskan kepemimpinan spiritual keluarga.
Namun, dalam era digital, popularitas gelar ini terkadang menjadi tantangan. Media sosial, misalnya, memungkinkan orang memiliki gelar "Gus" untuk dikenal lebih luas, tetapi juga meningkatkan risiko penyalahgunaan platform. Jika tidak digunakan dengan bijak, tindakan pemilik gelar "Gus" di media sosial dapat merusak citra positif dan nilai moral seharusnya melekat pada gelar tersebut.
Untuk menjaga nilai luhur dari gelar "Gus," masyarakat perlu memahami konteks dan latar belakang gelar tersebut serta memastikan penggunaannya tetap selaras dengan nilai-nilai diwariskan oleh tradisi pesantren. Lebih jauh, individu menyandang gelar ini diharapkan dapat menjadi teladan dengan tindakan dan sikap mencerminkan integritas dan tanggung jawab mereka.