Minimnya Edukasi Seksual dan Dampaknya terhadap Pergaulan Bebas Remaja

Intinya sih...
- Perayaan Hari Valentine semakin populer di kalangan anak muda, namun kekhawatiran akan perilaku pergaulan bebas dikalangan remaja meningkat karena minimnya edukasi seksual dan kesehatan reproduksi.
- Minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi membuat banyak remaja rentan terhadap risiko seperti kehamilan dini, penyakit menular seksual, serta tekanan sosial dalam hubungan di Lampung.
- Kurangnya pendidikan seksual di sekolah menyebabkan banyak orangtua tidak tahu bagaimana memberikan informasi yang benar kepada anak-anak mereka, sehingga edukasi seksual masih dianggap sebagai topik yang tabu untuk dibahas secara terbuka.
Bandar Lampung, IND Times - Setiap tanggal 14 Februari, banyak remaja merayakan Hari Valentine sebagai momen untuk mengungkapkan kasih sayang. Di Indonesia, termasuk di Lampung, perayaan ini semakin populer di kalangan anak muda, sering kali diwarnai dengan pertukaran hadiah, cokelat, hingga kencan bersama pasangan.
Namun, di balik euforia tersebut, muncul kekhawatiran akan potensi meningkatnya perilaku pergaulan bebas dikalangan remaja. Terutama karena kurangnya edukasi seksual dan kesehatan reproduksi yang memadai.
Minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi membuat banyak remaja rentan terhadap risiko seperti kehamilan dini, penyakit menular seksual, serta tekanan sosial dalam hubungan. Di Lampung, edukasi seksual masih dianggap sebagai topik yang tabu untuk dibahas secara terbuka, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Akibatnya, banyak anak dan remaja mencari informasi dari sumber belum tentu valid, justru bisa menyesatkan dan memperburuk keadaan. Kali ini IDN Times akan membahas dampak minimnya edukasi seksual di tengah pergaulan remaja, faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman ini, serta solusi dapat diterapkan untuk memberikan pemahaman lebih baik demi masa depan generasi muda lebih sehat dan bertanggung jawab.
1. Pentingnya pendidikan seksual untuk mencegah kekerasan seksual pada remaja
Psikolog Klinis Lampung, Cindani Trika Kusuma, merasa miris tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi pada momen perayaan Hari Kasih Sayang. Di saat yang seharusnya menjadi waktu penuh kebahagiaan, justru banyak remaja mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk mulai dari verbal, fisik, finansial, hingga yang paling sering terjadi, kekerasan seksual.
"Setelah kami mendalami lebih jauh, ternyata banyak remaja usia SMP, SMA, bahkan yang sudah kuliah, belum pernah mendapat edukasi seksual, baik dari orang tua maupun sekolah. Padahal, peran sekolah sangat penting dalam membangun pemahaman tentang seksualitas.Minimnya edukasi ini menyebabkan banyak orangtua tidak tahu bagaimana cara memberikan informasi yang benar kepada anak-anak mereka," kata Cindani kepada IDN Times, Sabtu (8/2/2025).
Menurut Cindani, sekolah selama ini belum mengintegrasikan pendidikan seksualitas dalam kurikulum mereka. Konsep tentang batasan, dampak, dan konsekuensi dari perilaku seksual tidak pernah diajarkan, sehingga banyak yang menganggapnya tidak penting.
"Tapi alhamduillahnya sejak tahun lalu mulai banyak sekolah yang melibatkan peran psikolog dan tenaga kerja ataupun dinas-dinas terkait seperti perlindungan perempuan dan anak untuk memberikan edukasi. Tapi, menurutku jumlahnya masih belum seimbang dengan jumlah sekolah dan jumlah murid yang ada di Provinsi Lampung. Jadi kemungkinannya pun angka kekerasan seksualnya pun meningkat" jelasnya lebih lanjut.
2. Pentingnya kesadaran sekolah dalam mencegah kekerasan seksual pada remaja
Cindani tak menampik, sekolah memang memiliki keterbatasan memberikan pendidikan seksual karena kurikulumnya belum mencakup hal tersebut. Namun, dia berpendapat jika ada kesadaran dari pihak sekolah, termasuk pimpinan dan guru-guru, ini bisa menjadi langkah sangat efektif untuk menurunkan angka kekerasan seksual pada remaja.
Hal ini penting karena banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di lingkungan sekolah. "Fasilitas dan akses di sekolah sangat dekat dengan terjadinya kekerasan seksual. Bahkan, sekarang ini banyak guru yang menjadi pelaku," ujarnya.
Lebih lanjut, Cindani menjelaskan dampak kekerasan seksual tak hanya memengaruhi mental, tetapi juga berbahaya secara fisik. Korban bisa terinfeksi penyakit menular seksual, yang dapat membahayakan kesehatan jangka panjang. Bagi perempuan, dampak lainnya adalah risiko kehamilan di luar pernikahan yang seringkali membawa masalah sosial dan psikologis mendalam.
Selain itu, bagi anak di bawah umur dengan kondisi fisik belum sepenuhnya berkembang, kekerasan seksual bisa menyebabkan trauma berat dan membahayakan kesehatan fisiknya. Kondisi ini menurutnya menjadi semakin memprihatinkan karena mereka belum memiliki kekuatan fisik dan mental untuk menghadapi konsekuensi tersebut.
"Nah, secara mental itu jika terjadi pengulangan akan ada proses di mana konsentrasi menurun, kemampuan soft skill dan hard skill yang tidak bisa berkembang. Secara psikologis juga akhirnya mempunyai pikiran-pikiran negatif dan punya perasaan-perasaan buruk," terangnya.
3. Melindungi remaja dari kekerasan seksual dan dampaknya pada masa depan
Cindani menjelaskan, kekerasan seksual bisa terjadi dalam dua bentuk. Pertama, pemaksaan atau ancaman yang memaksa korban dalam keadaan terpaksa. Kedua, melalui iming-iming yang bisa memengaruhi mental korban.
Kondisi ini sering kali membuat korban merasa terjebak dan sulit untuk berubah, meski sudah diberi edukasi atau informasi tentang dampak buruknya, karena mereka mengalami apa yang disebut dengan mental blocking.
Dia juga menambahkan, penanganan masalah ini menjadi lebih rumit, terutama di kalangan remaja, karena di usia ini, fokus utama mereka adalah pendidikan. Ketika sekolah selesai, mereka harus memilih jurusan atau pekerjaan, namun seringkali tugas perkembangan mereka terkait dengan pemahaman diri dan hubungan yang sehat belum terselesaikan. Ini bisa menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Cindani menegaskan, sampai usia 18 tahun, meski ada alasan atau latar belakang apapun, jika terjadi pelecehan seksual, mereka tetaplah korban. Bahkan jika mereka menganggap hubungan tersebut sebagai pacaran atau "suka sama suka", serta dilandasi dengan perhatian dan kasih sayang yang mungkin mereka tidak dapatkan dari orangtua, itu tetap termasuk kekerasan.
"Hal-hal yang mereka terima bisa saja membuat mereka merasa bahwa aktivitas seksual itu tidak masalah," ujarnya.
Padahal, menurut Cindani, berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak di bawah 18 tahun tetap berhak mendapat perlindungan. Sebab itu, pendampingan sangat penting untuk mengubah pola pikir mereka, agar mereka bisa kembali fokus pada tugas perkembangannya—terutama pendidikan.
"Apapun yang terjadi, meski ada konsekuensi seperti kehamilan atau pengalaman kekerasan berulang, yang terpenting adalah penyesuaian di sekolah dan pola asuh yang lebih baik di rumah. Mereka tetap memiliki kesempatan untuk memperbaiki masa depan dan hidup yang lebih baik," harapnya.
4. Mengatasi stigma tabu dalam edukasi seksual
Cindani menambahkan, tantangan utama memberikan edukasi seksual adalah stigma tabu yang masih melekat ketika membicarakan topik seperti vagina, penis, atau area tubuh yang tidak boleh disentuh.
Ia menyarankan agar orangtua bisa melibatkan pihak lain, seperti konselor atau guru BK, yang memiliki keterampilan komunikasi sesuai dengan usia anak-anak. Ia menekankan edukasi seksual bisa diberikan dari usia dini, bahkan sebelum TK, dengan mengajarkan anak tentang area tubuh mana yang tidak boleh disentuh.
Ini bisa dilakukan melalui lagu atau buku cerita. Ketika anak-anak sudah memasuki SD, SMP, atau SMA, pemberian edukasi seksual harus semakin intensif dan lebih mendalam.
5. Pentingnya pendidikan seksual di sekolah
Salah satu guru di Sekolah Negeri Bandar Lampung, Rizky Syah Putra, mengatakan, selama ini pendidikan seksual masih terabaikan di sekolah karena belum ada dalam kurikulum. Namun, ia berpendapat hal itu seharusnya tidak menjadi alasan.
Sosialisasi tentang bullying dan pendidikan antikorupsi juga tidak masuk dalam mata pelajaran, namun keduanya mendapat perhatian khusus dan disosialisasikan secara terus-menerus. Bahkan, pendidikan antikorupsi kini sudah menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
"Padahal ketiga hal ini sangat penting untuk terus diajarkan kepada anak-anak, tetapi kenapa pendidikan seksual masih dianggap sepele? Kasus kekerasan seksual sudah sering terjadi, tapi sosialisasi hanya diberikan saat ada kejadian dan tidak ada tindak lanjut," kata Rizky.
Sebagai guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan, Rizky sering merasa bingung saat harus menjelaskan tentang edukasi seksual, terutama saat praktik olahraga. Beberapa siswa perempuan sering bertanya kenapa cara mengajar antara siswa laki-laki dan perempuan berbeda.
"Misalnya, saat mengajarkan roll ke depan, ada yang bertanya kenapa siswa laki-laki dibantu, tapi siswa perempuan tidak. Awalnya saya agak bingung menjelaskannya. Ketika saya menyampaikan batasan-batasan tersebut, mereka justru tertawa, dan akhirnya menjadi canggung," jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini akan sangat berbeda jika anak-anak sudah mendapatkan edukasi seksual yang memadai. Dengan pemahaman tentang batasan yang jelas, anak-anak akan lebih mengerti mengapa guru laki-laki memiliki batasan dalam membantu siswa perempuan, terutama untuk menjaga agar tidak melibatkan area tubuh sensitif yang bisa menimbulkan masalah.
6. Mendorong pendidikan seksual sebagai topik terbuka di sekolah
Rizky berharap agar pendidikan seksual tidak hanya menjadi materi selipan, tetapi bisa menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Namun, jika itu masih sulit tercapai, ia mengusulkan agar sekolah bisa memanfaatkan media seperti mading (majalah dinding) sebagai sarana sosialisasi tentang pendidikan seksual. Dengan cara ini, siswa akan semakin terbuka dan tidak lagi merasa tabu ketika membicarakan topik penting ini.
"Kalau sekarang membicarakan tentang pendidikan seksual itu takut dianggap cabul karena anak-anak sekarang kalau dikasih tahu yang benar menganggap yang ngasih tahu salah jadi ada kencenderungan kayak gitu. Jadi harus hati-hati cara ngasih taunya," ujarnya.
7. Pentingnya keterbukaan orang tua dan pendidikan seksual bagi remaja
Sebagai orang tua yang memiliki anak remaja, Rinda Mulyani (45) sejak awal sudah membuka diri dan terbuka dengan anaknya tentang pendidikan seksual. Ia dengan jelas membicarakan tentang perasaan suka pada lawan jenis, menstruasi, dan hal-hal berisiko lainnya.
Menurutnya, rasa suka pada lawan jenis itu adalah hal normal. Rinda menjelaskan, perasaan tersebut akan menimbulkan rangsangan fisik, seperti ingin disentuh, dipeluk, atau dibelai, dan itu semua adalah hal yang sangat normal. "Rasa itu harus disyukuri sebagai anugerah," ujarnya.
Namun, ia juga menegaskan, agama mengatur tentang pernikahan dan nafsu yang halal hanya boleh terjadi setelah menikah. Sebab itu, ia mengingatkan anaknya untuk bisa mengendalikan perasaan dan nafsu jika jatuh cinta di usia remaja. Ia juga menjelaskan pentingnya menetapkan batasan-batasan dalam hubungan, terutama jika keduanya saling mencintai.
"Saya bilang ke anak saya, cinta yang dia rasakan itu baik dan benar, tidak salah karena itu perasaan terhadap lawan jenis, tapi waktunya belum tepat," tambahnya.
Untuk menjaga anaknya tetap sibuk dengan kegiatan positif, Rinda mendorong anaknya mengikuti les bahasa Inggris, les pelajaran, serta kegiatan sosial seperti lomba dan aktivitas di taman baca. Namun, ia juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendampingi anak-anak, apalagi di usia remaja.
"Sebagai orang tua, peranku sekarang lebih minim. Saya lebih banyak berperan sebagai teman cerita untuk anak saya," katanya.
Meskipun belum bisa sepenuhnya disimpulkan, Rinda merasa anaknya masih terbuka untuk bercerita hampir semuanya kepadanya, meskipun ia tahu pasti ada beberapa hal pribadi yang anaknya simpan, dan ia menghargai itu.