Ilustrasi hukum (Dok: ist)
Nunung menyatakan, putusan hakim di pengadilan idealnya harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Ketiganya harus dilaksanakan secara kompromi yaitu menerapkan secara berimbang dan proporsional.
Dengan kata lain, pemaknaan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan bunyi undang-undang jika undang-undang tidak memberikan rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural undang-undang yang memberikan kepastian hukum.
Melihat dari perspektif hukum Islam, hukuman bagi hakim lalai menjalankan tugasnya telah tertuang dalam HR. Ibnu Majah, nomor 2315, Tirmizi, nomor 1322, Abu Dawud, nomor 3573.
Kondisi ini menjadi kritik keras guna percepatan peningkatan moral, integritas, peradaban, sebagai ujung tombak terwujudnya keadilan suatu perkara.. Itu berdampak pada implementasi cita bangsa, pemulihan marwah aparat penegak hukum, serta tanggung jawab pribadi hakim pada nilai fundamental agama yang diemban.
Untuk melihat sebuah keadilan perlu juga menggunakan metode-metode ijtihad dalam pengembangan hukum Islam dan pentingnya atau relevansi ijtihad untuk menjawab tantangan zaman.
Hukum ijtihad yang dilakukan hakim dalam peradilan tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, tetapi harus berpegang pada Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam sehingga mampu menghasilkan putusan yang merepresentasikan hat nurani hukum Allah subhanahu wa taala, berperikemanusiaan, dan berkeadilan.