5 Rekomendasi Novel Tema Kepahlawanan, Penuh Makna Perjuangan

Intinya sih...
- Hari Pahlawan momen penting mengenang jasa para pahlawan untuk kemerdekaan dan kesatuan bangsa Indonesia.
- Novel bertema kepahlawanan menggali nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan cinta tanah air.
- Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer mengisahkan tragis Den Hardo dalam pelarian dari tentara Jepang.
Bandar Lampung, IDN Times - Hari Pahlawan diperingati setiap 10 November di Indonesia merupakan momen penting untuk mengenang jasa para pahlawan telah berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Tanggal ini tidak hanya menjadi simbol keberanian dan pengorbanan, tetapi juga menjadi pengingat akan semangat persatuan dan kesatuan mempersatukan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Peringatan ini mengajak kita, terutama generasi muda, untuk terus menghidupkan semangat para pahlawan, baik dalam bentuk kontribusi nyata bagi bangsa maupun dalam menghargai perjuangan mereka dengan mengenang sejarah dan perjuangan.
Salah satu cara menarik untuk menggali lebih dalam nilai-nilai kepahlawanan dan perjuangan adalah melalui karya sastra, terutama novel-novel mengangkat tema perjuangan nasional. Banyak novel Indonesia mengisahkan perjuangan para pahlawan, baik dalam perlawanan fisik melawan penjajah maupun dalam perjuangan moral untuk mencapai kemerdekaan. Novel-novel ini bukan sekadar cerita, melainkan sarana untuk memahami kompleksitas sejarah, mengenal karakter para pahlawan, dan menginspirasi pembaca dengan semangat dibawa oleh tokoh-tokoh tersebut.
Berikut IDN Times rekomendasikan novel bertema kepahlawanan tidak hanya menawarkan kisah heroik, tetapi juga mengajarkan kita tentang nilai perjuangan, keberanian, dan cinta tanah air.
1. Perburuan karya Pramoedya saat Pemerintahan Jepang
Novel Perburuan merupakan novel karya penulis terkenal yakni Pramoedya Ananta Toer. Novel ini ditulis pada saat Pramoedya di penjara selama seminggu selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan kemudian diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1950.
Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kisah tragis Den Hardo, mantan Shodanco PETA di bawah pendudukan Jepang, hidup sebagai buron setelah rencana pemberontakannya gagal akibat pengkhianatan kawannya sendiri, Karmin. Dalam upayanya melarikan diri, Den Hardo menjalani hidup penuh ketakutan, bersembunyi di tempat-tempat terpencil, bahkan di antara para gelandangan, untuk menghindari pengejaran tentara Jepang serta warga desa turut memburunya.
Setelah setengah tahun dalam pelarian, Den Hardo kembali muncul dalam suatu acara khitan, namun menolak ajakan lurah desa untuk kembali kepada keluarganya, menjawab dengan keyakinan bahwa ia akan muncul "sampai Nippon kalah." Kisah Den Hardo ini memperlihatkan dilema kesetiaan dan pengkhianatan, serta keteguhan seorang pahlawan bertahan pada idealismenya di tengah ancaman, sebuah cerminan getir dari perjuangan di masa penjajahan.
2. Krandji dan Bekasi Djatoeh - Ditulis saat masih muda dan menjadi novel awal Pramoedya
Krandji Bekasi Djatoeh adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1947 oleh penerbit Nusantara di Jakarta. Novel ini ditulis ketika Pramoedya masih muda dan dalam suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sekitar tahun 1946. Karya ini termasuk novel awal dalam karier Pramoedya dan mengangkat tema nasionalisme nan kental, serta merupakan respons atas situasi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat itu.
Secara singkat, Krandji Bekasi Djatoeh berkisah tentang peristiwa jatuhnya daerah Krandji (sekarang dikenal sebagai Kranji) di Bekasi saat perlawanan rakyat Indonesia melawan pasukan Sekutu setelah kemerdekaan. Novel ini menceritakan perjuangan heroik rakyat di sekitar Bekasi, dengan berani menghadapi serangan tentara Belanda dan Sekutu. Melalui berbagai tokoh, Pramoedya menggambarkan bagaimana warga sipil, pemuda, dan tentara berjuang bersama mempertahankan daerah mereka meski dengan senjata terbatas dan kekuatan tidak seimbang. Novel ini menunjukkan semangat pantang menyerah serta solidaritas tinggi di kalangan masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
3. Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya sebuah karya sastra mendalam dan bermakna
Novel Burung-burung Manyar merupakan karya Y.B. Mangunwijaya. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 oleh Penerbit Djambatan. Ditulis oleh Romo Mangun, panggilan akrab Y.B. Mangunwijaya, novel ini mengangkat kisah cinta nan kompleks di tengah gejolak revolusi dan konflik di Indonesia.
Burung-burung Manyar berpusat pada hubungan antara dua tokoh, Setadewa atau Teto, seorang pemuda berpihak pada Belanda, dan Atik, seorang perempuan mencintai Indonesia dan berjuang di pihak republik. Novel ini menyajikan perspektif unik tentang masa perjuangan Indonesia, menggambarkan konflik batin dialami Teto terjebak antara kesetiaan pada keluarganya pro-Belanda dan perasaan cintanya pada Atik berbeda pandangan ideologi.
Melalui tokoh-tokoh ini, Mangunwijaya mengajak pembaca merenungi kompleksitas nasionalisme dan dampaknya pada kehidupan pribadi dan hubungan antarmanusia, sehingga Burung-burung Manyar tidak hanya bercerita tentang cinta, tetapi juga tentang identitas, pengkhianatan, dan pilihan hidup dalam situasi perang. Novel ini diakui sebagai salah satu karya sastra Indonesia mendalam dan bermakna, serta memperoleh banyak apresiasi atas kedalaman karakter dan pandangannya terhadap sejarah.
4. Segala yang Diisap Langit - kisah antara cinta, nasionalisme dan pengkhianatan
Novel Segala yang Diisap Langit karya Pinto Anugrah, diterbitkan pertama kali oleh Bentang Pustaka pada 30 Agustus 2021, menyajikan kisah berlatar sejarah konflik di Minangkabau pada awal abad ke-19, tepatnya saat Perang Padri. Novel ini membawa pembaca pada masa-masa sulit ketika kaum adat Minangkabau terbelah oleh ideologi baru dibawa kaum Padri dari utara Sumatra. Dalam setting ini, tokoh utama, Rabiah, seorang bangsawan Minangkabau, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan garis keturunannya dari mitos dipercaya bahwa keluarga bangsawan Minangkabau akan putus pada generasi ketujuh. Ambisinya untuk menjaga kelangsungan warisan keluarga terhalang oleh perubahan zaman memaksanya memilih antara adat lama dan tekanan dari ideologi Padri, membawa nilai-nilai keagamaan baru serta kecaman terhadap tradisi lama.
Selain kisah perjuangan Rabiah, novel ini juga mengangkat hubungan kompleks antara dirinya dan sang kakak, Magek, justru bergabung dengan kaum Padri dan membawa ancaman bagi keluarga serta warisan budaya mereka. Konflik ini mencapai puncaknya ketika Magek, sebagai anggota Padri, mulai menghancurkan aset-aset keluarga dan menantang nilai-nilai selama ini dijunjung tinggi oleh Rabiah. Tokoh-tokoh dalam novel ini tidak hanya menggambarkan kehidupan para bangsawan mulai terpinggirkan, tetapi juga dilema ideologis dan moral di tengah pertentangan antara adat Minangkabau dan pengaruh kaum Padri semakin kuat. Pinto Anugrah menyelipkan elemen politik dan alegori budaya dalam novel ini, mengajak pembaca memahami dampak sosial dan psikologis dari perubahan besar terjadi dalam masyarakat Minangkabau di masa itu.
5. Jejak Langkah - ditulis Pramoedya dengan cara diceritakan langsung kepada sesama tahanan di Pulau Buru
Novel Jejak Langkah adalah novel ketiga dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, terdiri dari empat novel: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pramoedya menulis Jejak Langkah selama masa tahanannya di Pulau Buru, Indonesia, sekitar tahun 1975 hingga 1979. Novel ini ditulis berdasarkan penelitian sejarah dengan sangat luas, tetapi awalnya hanya diceritakan secara lisan kepada sesama tahanan di pulau tersebut. Jejak Langkah pertama kali diterbitkan pada tahun 1985 oleh penerbit Hasta Mitra di Indonesia, didirikan khusus untuk menerbitkan karya-karya Pramoedya.
Jejak Langkah menceritakan tentang perjalanan pemuda bernama Minke, seorang pemuda pribumi cerdas dan mulai sadar akan ketidakadilan kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Berbeda dengan kehidupan pribadinya penuh gejolak dan rasa kehilangan, Minke memutuskan untuk berjuang bagi rakyatnya dengan mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama di Hindia Belanda menjadi cikal bakal gerakan nasionalis. Minke berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka, memperjuangkan pendidikan dan kebebasan berpendapat bagi rakyat jelata, selama ini dibelenggu oleh diskriminasi rasial dan kekuasaan kolonial represif.
Melalui tulisan-tulisannya di media, Minke menyerukan keadilan, mencatat ketidakadilan sosial, dan mengkritik penjajahan dengan bahasa berani. Namun, aktivitas politiknya membawa banyak risiko, baik dari sisi pemerintah kolonial semakin mencurigai dan mengawasi gerak-geriknya, maupun dari kalangan pribumi sendiri tidak selalu mendukung pandangan modern dan bebas diperjuangkannya. Novel ini menjadi saksi perkembangan nasionalisme Indonesia dan menggambarkan Minke sebagai figur muda nan berani berkorban demi cita-cita kemerdekaan, meskipun harus menghadapi konflik batin serta ancaman dari kekuasaan kolonial berupaya membungkam suara-suara perlawanan.