Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Rekomendasi Novel Karya Sapardi Djoko Damono Paling Fenomenal

Sapardi Djoko Damono (Instagram/damonosapardi)
Intinya sih...
  • Hujan Bulan Juni, karya monumental Sapardi Djoko Damono, memuat 102 puisi dan diadaptasi menjadi novel
  • Novel Hujan Bulan Juni mengisahkan kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan, dengan konflik dan perpisahan yang menyentuh hati
  • Trilogi novel Hujan Bulan Juni meliputi Hujan Bulan Juni, Pingkan Melipat Jarak, dan Yang Fana Adalah Waktu

Bandar Lampung, IDN Times - Sapardi Djoko Damono adalah salah satu sastrawan besar Indonesia dikenal lewat karya-karya puisi dan prosa penuh dengan kedalaman dan keindahan bahasa. Lahir di Solo 20 Maret 1940, Sapardi tumbuh sebagai penulis dengan gaya khas sarat makna dan berhasil menciptakan sentuhan puitis pada setiap tulisannya.

Puisi-puisinya seperti Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin menjadi legendaris karena sederhana namun penuh emosi, menggambarkan kepekaan Sapardi terhadap kehidupan dan cinta. Karya-karyanya berhasil menyentuh hati para pembaca lintas generasi, menjadikannya salah satu sastrawan paling dihormati di tanah air.

Selain karya puisi, Sapardi juga menulis beberapa novel tidak kalah menarik dan mendalam. Dalam novel-novelnya, Sapardi menyajikan kisah-kisah menggali sisi lain dari kehidupan manusia dengan bahasa elegan dan penuh makna, membuat pembaca larut dalam setiap halaman dibacanya.

Berikut lima rekomendasi novel Sapardi Djoko Damono wajib dibaca oleh para pecinta sastra Indonesia. Novel-novel ini tidak hanya menyajikan cerita menarik, tetapi juga memperkaya jiwa dengan kedalaman filosofis dan gaya bahasa khas seorang Sapardi.

1. Novel Hujan Bulan Juni, menjadi novel trilogi paling manis

Novel Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono (Instagram/damonosapardi)

Hujan Bulan Juni adalah sebuah karya monumental dari Sapardi Djoko Damono, pertama kali diterbitkan dalam bentuk kumpulan puisi pada 1994 oleh Penerbit Grasindo. Kumpulan puisi ini memuat 102 puisi ditulis oleh Sapardi sepanjang kariernya, mulai dari tahun 1964 hingga 1994.

Beberapa puisi di dalamnya sebelumnya telah diterbitkan dalam buku-buku lain, seperti Duka-Mu Abadi tahun 1969, Mata Pisau tahun 1974, Akuarium tahun 1974, dan Perahu Kertas tahun 1984. Salah satu puisi terkenal, juga menjadi judul buku ini, pertama kali ditulis oleh Sapardi pada tahun 1989.

Hujan Bulan Juni telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Inggris, Arab, Jepang, dan Mandarin, menjadikannya salah satu karya sastra Indonesia dikenal luas di dunia sastra internasional.

Selain dalam bentuk kumpulan puisi, Hujan Bulan Juni juga diadaptasi menjadi sebuah novel dan diterbitkan pada Juni 2015 oleh Gramedia Pustaka Utama. Cerita dalam novel Hujan Bulan Juni mengisahkan kisah cinta antara Sarwono, seorang dosen antropologi asal Jawa di Universitas Indonesia, dan Pingkan, dosen Sastra Jepang keturunan Jawa-Manado.

Mereka bertemu karena Pingkan adalah adik dari teman lama Sarwono, Toar. Meskipun hubungan mereka diwarnai berbagai tantangan, termasuk perbedaan suku, agama, dan pandangan keluarga Pingkan tidak menyetujui hubungan, mereka tetap menjalin cinta.

Konflik utama muncul saat Pingkan harus ke Jepang untuk melanjutkan studi, membuat Sarwono merasa cemas dan jengkel, terutama karena Pingkan dekat dengan Katsuo, seorang mahasiswa Jepang populer dan juga seorang dosen. Ketegangan semakin meningkat ketika keluarga Pingkan mendesaknya untuk menikah dengan Tumbelaka, seorang pria dari Manado dianggap lebih sesuai.

Meski demikian, ibunya Pingkan akhirnya merestui hubungan mereka. Setelah beberapa waktu terpisah, Sarwono jatuh sakit, dan Pingkan baru pulang dari Jepang segera bergegas ke Solo untuk menemuinya. Sayangnya, saat tiba di sana, Sarwono sudah kritis dan hanya meninggalkan tiga puisi untuk Pingkan tercetak dalam sebuah koran, meninggalkan kenangan tak terlupakan bagi mereka berdua.

Sebenarnya novel ini merupakan novel trilogi, Novel Hujan Bulan Juni ini menjadi novel pertama dalam trilogi ini. Novel lanjutannya ada pada Novel Pingkan Melipat Jarak, dan terakhir Novel Yang Fana Adalah Waktu

2. Novel Pingkan Melipat Jarak, novel kedua dari trilogi Hujan Bulan Juni

Novel Pingkan Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono (Instagram/damonosapardi)

Novel Pingkan Melipat Jarak merupakan novel kedua dari trilogi Hujan Bulan Juni diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Maret 2017. Jika novel Hujan Bulan Juni diambil dari sudut pandang Sarwono, maka di novel Pingkan Melipat Jarak ini diambil dari sudut pandang Pingkan. 

Dalam buku kedua ini, Sapardi Djoko Damono menggambarkan kisah cinta yang rumit, keinginan untuk memiliki, usaha untuk menyembuhkan, dan pencarian jati diri. Sarwono sakit kehilangan "pancer" (kesadaran diri dalam tradisi Jawa) dan membutuhkan pengobatan baik medis maupun spiritual.

Pingkan, diminta untuk merawat berkas-berkas Sarwono, kini terjebak dalam hubungan segitiga antara Sarwono dan Katsuo, teman Jepangnya juga mencintainya. Namun Katsuo, meskipun mencintai Pingkan, memilih untuk membantu menyembuhkan Sarwono.

Ia percaya kesembuhan Sarwono adalah kunci bagi Pingkan. Seiring waktu, identitas mereka menjadi kabur, dengan Pingkan dan Sarwono saling bertukar peran sebagai Galuh dan Ino, pasangan dalam cerita legenda Panji. Di akhir cerita, setelah merenungkan makna cinta, Pingkan memutuskan untuk melanjutkan hidup di Kyoto bersama Katsuo, mengikuti nasihat Ibu Hadi untuk tidak berpamitan kepada Sarwono demi kesembuhannya, membawa pembaca merenung tentang cinta, keputusan, kehilangan dan perjalanan hidup.

3. Novel Yang Fana Adalah Waktu, novel ketiga dari trilogi Hujan Bulan Juni

Novel Yang Fana Adalah Waktu Karya Sapardi Djoko Damono (Instagram/damonosapardi)

Novel Yang Fana Adalah Waktu merupakan novel ketiga dari trilogi Hujan Bulan Juni. Novel ini merupakan novel lanjutan dari novel Pingkan Melipat Jarak. Novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2018.

Novel ini menjadi novel penutup dari Trilogi Novel Hujan Bulan Juni sekaligus mengakhiri cerita hubungan antara Pingkan dan Sarwono. Dalam novel Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi Djoko Damono melanjutkan kisah cinta Sarwono dan Pingkan belum selesai di dua novel sebelumnya.

Pingkan kini berada di Kyoto, sementara Sarwono sembuh melakukan perjalanan ke Jepang untuk mempresentasikan penelitiannya, dan mereka terus berkomunikasi melalui pesan elektronik penuh perenungan. Tema tentang perbedaan ras, budaya, dan agama sempat menjadi penghalang cinta mereka tetap menjadi refleksi penting dalam hubungan ini.

Meskipun ada gangguan kecil, seperti cinta Budiman kepada Pingkan dan tekanan dari keluarga Sarwono, cinta antara Sarwono dan Pingkan tetap tak tergoyahkan. Novel ini juga menampilkan kisah baru antara Noriko dan Katsuo, akhirnya berbelok arah ketika Noriko menyadari ia tidak mencintai Katsuo dan memilih untuk mengelana ke Solo, mencari takdirnya sendiri.

Di akhir, Sapardi menggambarkan cinta kekal meskipun waktu terus berjalan, dengan simbolisme merpati abadi dalam kenangan Sarwono, mewakili cinta tak terpisahkan meskipun terpisah oleh waktu dan jarak.

4. Novel Suti

Novel Suti Karya Sapardi Djoko Damono (Instagram/ fromourbooks)

Novel Suti pertama kali diterbitkan pada tahun 2015 oleh Gramedia Pustaka Utama. mengisahkan kehidupan seorang perempuan bernama Suti dengan latar waktu pada 1960-an di Solo. Berbeda dari karya-karya Sapardi pada umumnya yang bertemakan cinta, novel ini menyajikan tentang realitas sosial masyarakat. 

Cerita ini mengajak pembaca untuk melihat masyarakat, budaya, dan kondisi di pinggiran Kota Solo pada masa itu. Suti, seorang perempuan nan tegar namun dengan cara ringan, mengalami perubahan masyarakat dari pra-modern ke modern saat berpindah dari desa ke kota besar.

Dalam perjalanan hidupnya, ia terlibat dengan berbagai lapisan masyarakat, dari kelompok pemuda berandalan hingga keluarga priyayi, dan tumbuh dengan kedewasaan dan kecerdasan didapat dari pengalaman tersebut. Suti juga terlibat dalam persoalan rumit dalam keluarga Den Sastro, penuh dengan kerumitan dan sulit dipahami.

Suasana Solo pun sangat kental terasa melalui penggunaan bahasa Jawa dalam dialog antar tokoh, dengan daftar terjemahan memudahkan pembaca memahami istilah-istilah tersebut. Sapardi sebagai penulis novel Suti benar-benar berhasil membangun tokoh Suti sebagai sosok perempuan tegar dan penuh pendalaman makna dalam karyanya. 

5. Novel Trilogi Seokram, karya unik, membedah hubungan antara tokoh rekaan dan pengarangnya

Novel Trilogi Soekram Karya Sapardi Djoko Damono (Instagram/boekoe_yogya)

Novel Trilogi Soekram sebenarnya merupakan edisi lengkap dari Trilogi Soekram sebelumnya diterbitkan dalam tiga buku terpisah oleh Sapardi Djoko Damono, yaitu, Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati. Pada 2015 Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit, menerbitkan kembali dalam bentuk format satu buku berisi tiga novel tersebut. 

Trilogi Soekram mengisahkan tokoh Soekram dalam novel ini keluar dari cerita dan menggugat pengarang yang tidak sempat menyelesaikan tulisannya karena telah wafat. Kisah Soekram dari bagian pertama mengambil latar belakang kerusuhan 1998 dan sosok Soekram pada bagian ini merupakan dosen di sebuah universitas.

Bagian kedua mengisahkan pengarang Soekram, dikira telah mati, ternyata  masih hidup. Dan menuntut untuk menuliskan kembali naskahnya yang belum diubah oleh Soekram selaku tokoh rekaannya. Dan meminta untuk menerbitkan saja karyanya tanpa persetujuan Soekram.

Di bagian ketiga, tokoh Soekram kembali datang dan memarahi si penulis. Kemudian ia memilih untuk mengarang sendiri ceritanya.  Di sini ditulislah tentang pertemuan Soekram dengan semua tokoh yang telah dibuat sebelumnya oleh penulis-penulis lain yang pernah ada. 

Novel ini sebenernya novel rumit dan kompleks. Sapardi dalam novel ini ingin mengangkat hubungan rumit antara pengarang dengan tokoh ciptaannya. Sapardi Djoko Damono seperti mengajak pembaca mempertanyakan tentang hubungan penulis dan apa yang ditulis.  Menurut Sapardi ada hal menarik dalam menulis Trilogi Soekram, Sapardi berpendapat "Ciptaan manusia malah tidak mati, tetapi ciptaan Tuhan mati. Itu yang saya pikirkan (saat menulis Soekram),"

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Silviana
Martin Tobing
Silviana
EditorSilviana
Follow Us