Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah Punah

Segubal menjadi makanan wajib orang Lampung saat lebaran

Bandar Lampung, IDN Times - Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman suku dan budayanya. Meski berbeda-berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing, Indonesia tetap satu dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Perbedaan ini pun menjadikan bahasa, kearifan lokal, hingga kuliner di setiap daerah memiliki ciri khas serta karakteristik berbeda antara satu dengan lainnya. Ada daerah dengan makanan pedas sebagai khasnya, ada juga terkenal karena rasa manisnya.

Sayang, perkembangan teknologi dan masifnya industri makanan membuat kuliner dan masakan khas daerah tak memiliki tempat. Seringkali mereka kalah bersaing dengan makanan instan, masakan kemasan, dan kuliner cepat saji.

Bahkan tak jarang punah dan tidak dikenali lagi akibat gempuran industri makanan tak lagi pro terhadap warisan budaya. Tentu ini mengancam resistansi generasi muda dan gen-z akan khazanah kuliner Nusantara.

Di Lampung, salah satu makanan khas daerah dan jarang ditemukan di pasaran adalah Segubal. Makanan ini bisa dibilang sebagai lontong atau ketupatnya Lampung. Makanan ini terbuat dari beras ketan, memiliki rasa gurih dan biasanya di makan bersama rendang, gulai, atau sayur lainnya.

1. Cara membuat segubal relatif sulit

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahAgustami sedang mengaduk santan di depan rumahnya. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Salah satu pembuat Segubal di Bandar Lampung Agustami mengatakan, Segubal memang agak sulit diproduksi setiap hari. Khususnya bagi produksi skala rumahan seperti dirinya.

Namun alasannya bukan karena sepi orderan melainkan pembuatan Segubal relatif rumit dan berat. Ia menjelaskan, proses masak Segubal harus melalui banyak langkah seperti mengaron ketan, mengukus agar matang, dicetak, digulung dan direbus lagi.

“Kalau mau dibilang rumit, iya rumit. Beda banget sama buat lontong. Segubal itu banyak stepnya, pertama parut kelapa karena pakai santan, ketannya perlu diaron, dikukus, dicetakin, digulung terus direbus lagi 5 jam,” kata Agustami kepada IDN Times, Jumat (29/9/2023).

Menurutnya, kemungkinan itulah salah satu alasan orang enggan memproduksi Segubal sendiri. Seperti halnya kakak Agustami, hanya mau menjual dan tak ingin memproduksi Segubal.

“Awalnya saya jualan Segubal kan dari kakak. Dia jualan ngambil dari orang. Pas dia buat, saya bantuin dan akhirnya bisa buatnya juga. Saya akhirnya produksi sendiri, tapi kakak saya masih jualan saja tidak produksi juga seperti saya,” paparnya.

2. Agustami juga menjajakan Segubal setiap harinya di beberapa lokasi

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahAdonan setengah matang Segubal hendak dikukus. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Agustami menceritakan, dirinya sudah membuat Segubal sejak 2015. Bersama istrinya dan terkadang Ibunya, Agustami memproduksi 10 kilogram ketan menjadi Segubal tiga sampai empat kali seminggu.

“Jadi kita produksi tergantung pesenan. Kalau pas banyak orderan kita bisa sampai lima kali seminggu produksi Segubal. Jadi saya selain buat pesanan juga saya memang rutin dagang harian keliling gitu,” ujar Agustami.

Agustami menjelaskan, ia keliling menjajakan Segubalnya juga tidak di satu tempat tiap hari. Selasa dan Jumat ia akan berkeliling di wilayah Antasari, Rabu dan Sabtu di Way Kandis, Kamis dan Minggu di Hajimena dan Nunyai. Sedangkan Senin libur.

“Kita pakai jadwal harian gini ya maklum lah makanan. Kalau tiap hari kita masukin bosen juga orang kan. Jadi diselang-selang dan rata-rata orang-orang juga sudah paham jadwalnya,” imbuhnya.

Baca Juga: 9 Panganan Khas Lampung saat Perayaan Maulid Nabi Muhammad

3. Segubal tak akan punah karena sudah menjadi makanan ciri khas Ramadan bagi orang Lampung

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahProdusen Segubal di Lampung, Agustami. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Setiap dagang biasanya Agustami bisa menjual sampai 35 lonjor Segubal. Satu lonjornya dijual Rp12.500. Meski begitu ia mengaku jika Ramadan tiba pesanan Segubalnya akan melonjak drastis.

“Sampai istilahnya kita tolak-tolak karena takut gak kepegang kalau Ramadan. Soalnya kita kan cuma bertiga buatnya jadi kita batasin 4 kuintal aja selama Ramadan itu,” jelasnya.

Merujuk hal itu, Agustami ragu jika Segubal akan hilang ditelan zaman. Itu karena, jikapun makanan ini tak dijadikan makanan harian, Segubal akan tetap ada mengisi meja saat Ramadan.

4. Regenerasi tak tahu akan diteruskan pada anak atau tidak

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahPembuatan Segubal di Rumah Agustami. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Meski Segubal dibuat Agustami banyak dikenal dan populer di pasaran, ia tak tahu apakah nanti anaknya akan meneruskan usaha keluarganya atau tidak. Pasalnya, ia tak ingin mengekang cita-cita anaknya dan hanya ingin kedua putranya bisa fokus pada pendidikan terlebih dahulu.

“Kalau misalnya mereka memang mau nerusin gak apa-apa, tapi saya gak mau maksa mereka. Saya ingin mereka bebas mau jadi apa yang mereka mau. Apalagi sekarang mereka masih kecil banget jadi saya gak mau buang masa kecil mereka,” ujarnya.

Agustami juga mengatakan, kedua putranya saat ini berada di bangku kelas 8 SMP dan 3 SD. Mereka biasanya sering membantu membuat Segubal pada saat produksi membludak saja.

“Bantuin pas bulan puasa aja biasanya. Itu pun cuma nyetakin aja. Saya juga belum pernah ngajari (cara membuat Segubal). Saya belum mau kasih karena mereka masih kecil,” timpalnya.

Namun dalam lubuk Agustami, apapun cita-cita kedua anaknya, ia ingin anaknya bisa lebih dari kedua orang tuanya dan akan mendukung apapun yang diimpikan oleh mereka.

5. Ikut mempromosikan UMKM khususnya makanan khas Lampung merupakan bentuk partisipasi melestarikan budaya

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahSeruit Lampung

Sekretaris Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Provinsi Lampung, Humaidi Elhudri mengatakan, meski ada beberapa makanan khas Lampung sudah jarang ditemukan secara komersil, makanan-makanan ini masih bisa ditemukan di acara adat atau hari besar di Lampung.

“Seperti Segubal, katimus, lapis legit itu masih sering kita temukan dalam acara adat atau hari besar seperti lebaran Idul Fitri. Dalam pesta-pesta, seperti pesta pernikahan itu juga biasanya disajikan,” kata Humaidi.

Humaidi pun menyampaikan kini makanan-makanan khas Lampung juga sudah tak terpaku pada makanan tradisional saja. Tetapi makanan kekinian seperti keripik pisang kini sudah menjadi makanan khas Lampung juga.

“Memang informasi ini dibutuhkan, sebisa mungkin memang kalau ada UMKM lokal khususnya makanan tradisional Lampung itu sebaiknya memang kita ikut promosikan supaya wisatawan tahu bahwa itu makanan khas Lampung dan bisa dijadikan buah tangan oleh mereka,” jelasnya.

6. Media sosial menjadikan wawasan kuliner anak muda menjadi luas dan tak tertarik dengan makanan khas daerahnya

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah Punahgoggle

Humaidi menjelaskan, beberapa faktor budaya atau makanan khas dari sebuah daerah bisa hilang karena wawasan tentang kuliner generasi muda terlalu luas. Mereka banyak mengenal jenis makanan baru dari luar negeri.

“Pertama karena gak mau kenal sama sejarah daerahnya. Medsos itu apalagi membuat wawasan (generasi muda) lebih luas dan lebih banyak mengenal jenis makanan unik-unik dari luar negeri, jadi mereka akan cenderung tertarik ke sana,” katanya.

Selain itu upaya melestarikan budaya termasuk kuliner khas Lampung juga bisa dimulai dari lingkungan rumah. Humaidi menilai orang tua memiliki peranan penting dalam mengajarkan nilai budaya Lampung pada anak-anaknya.

“Jadi ini sebenarnya tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab tokoh masyarakat atau pemerintah saja. Saya harap generasi muda mau belajar dan mengenal tradisi adat dan budaya kita sendiri,” ujarnya.

7. Anak muda harus mau dan berani kenalkan budayanya secara luas lewat teknologi

Segubal Makanan Khas Lampung, Jarang di Pasaran tapi Tak Mudah PunahInfluencer kuliner di Lampung, Rency Violita. (Instagram/rencyvandenb_)

Seorang pegiat sekaligus influencer makanan di Lampung, Rency Violita Vanden Bokshow pun ikut menanggapi terkait rentannya makanan khas daerah ditengah gempuran makanan instan dan kuliner cepat saji dari luar negeri.

“Menurut aku rebranding makanan trandisional ini perlu sih, misalnya kayak Segubal itu kita rebranding jadi premium dan kasih makanan pendampingnya. Intinya marketing memang penting banget,” jelasnya.

Meski begitu, ia mengatakan tidak perlu sampai menghilangkan kekhasan dari makanan tradisional itu sendiri misalnya Segubal dengan khas bentuk lonjong dan dibungkus dengan daun pisang.

“Tapi kekhasnya dari makanan tradisional itu kayak bungkusnya itu jangan sampai diilangin. Dan menurut aku peran anak muda juga penting sih untuk ikut melestarikan makanan tradisional di Lampung,” kata Rency.

Mahasiswa Institut Teknologi Sumatera ini menjelaskan cara anak muda ikut berpartisipasi melestarikan budaya daerahnya dengan mengenalkan makanan khas Lampung secara luas baik secara langsung atau lewat media sosial dan justru menjadi cara jitu untuk menarik wisatawan ke Lampung.

“Aku juga ada sih rencana buat konten makanan khas Lampung gitu. Aku berharapnya bakal lebih banyak orang tau tentang kuliner dan UMKM di Lampung khususnya UMKM makanan khas Lampung bisa makin maju,” ujarnya.

Baca Juga: Fachrikal Caleg DPRD Bandar Lampung, Uang Lemah tapi Modal Sosial Kuat

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya