TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Benarkah Daya Beli Masyarakat Melemah, Ekonomi Indonesia Rentan?

Persaingan usaha tidak sehat

ilustrasi supermarket (Pexels.com/Pixabay)

Intinya Sih...

  • Deflasi empat bulan berturut-turut di Indonesia pada 2024, mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah.
  • Komoditas penyumbang utama deflasi Agustus 2024 antara lain bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.
  • Penurunan angka S&P Global Indonesia Manufacturing PMI dapat meningkatkan angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja di sektor manufaktur.

Bandar Lampung, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi Agustus 2024 sebesar 0,03 persen secara bulanan (month-to-month). Ini menjadi deflasi empat bulan secara berturut-turut dialami Indonesia pada 2024 ini.

BPS mencatat, deflasi telah terjadi pada Mei hingga Agustus lalu. Deflasi empat bulan berturut-turut ini bisa jadi mengindikasikan daya beli masyarakat yang melemah, khususnya kelas menengah.

"Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah karena artinya ekonomi masyarakat sedang mendapat tantangan berat," kata Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka, Afaqa Hudaya dalam keterangan resmi, Senin (16/9/2024).

1. Rincian deflasi empat bulan beruntun

Data BPS mendapati di Indonesia 2024 deflasi terjadi dari Mei sebesar 0,03 persen, lalu Juni sebesar 0,08 persen, selanjutnya Juli sebesar 0,18 persen dan Agustus sebesar 0,03 persen. Data BPS menunjukkan bahwa komoditas penyumbang utama deflasi pada Agustus 2024 yakni bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.

Afaqa menjelaskan, deflasi empat bulan beruntun dari sektor konsumsi itu mengindikasikan masyarakat sedang menahan pengeluaran untuk menjaga kemampuan daya beli. Kondisi ini dapat berdampak pada perlambatan ekonomi nasional.

Perlambatan ini juga diamini dengan menurunnya angka S&P Global Indonesia Manufacturing PMI (Purchasing Manager Index) lima bulan terakhir. Angka PMI hanya mencapai 48,9 pada Agustus 2024. Hal ini menggambarkan perekonomian Indonesia sedang berada pada tahap kontraksi.

Sebagai industri yang padat karya, turunnya angka PMI memberikan sinyal ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) khususnya di sektor manufaktur sehingga dapat meningkatkan angka pengangguran.

Baca Juga: 6 Tips Memanfaatkan Bukti Sosial untuk Bisnis agar Tidak Mudah Anjlok!

2. Persaingan usaha tidak sehat

Persaingan usaha yang tidak sehat juga perlu diperhatikan di tengah keterbatasan daya beli saat ini. Masyarakat akan cenderung menjadi lebih “picky” dalam mengonsumsi suatu produk, sedangkan perusahaan akan berusaha melakukan berbagai cara agar produknya terjual.

Persaingan usaha yang tidak sehat cenderung akan memperkeruh industri nasional sedang berjuang di tengah kondisi perekonomian saat ini. Korban akan dirugikan dengan merosotnya penjualan dan berakhir pada efisiensi biaya perusahaan melalui pemutusan hubungan kerja.

"Kondisi ini bisa berdampak pada ekonomi rumah tangga dan meningkatnya krisis sosial di tengah masyarakat. Pada akhirnya akan berdampak juga ke pertumbuhan ekonomi nasional," kata Afaqa.

Data dari BPS menyebutkan terjadi penurunan signifikan pada kelas menengah dari total 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang sampai dengan saat ini. Banyak masyarakat yang berada di kelas menengah berada dalam posisi rentan turun kelas jika terjadi guncangan ekonomi.

 

3. Suku bunga BI belum pernah turun di bawah 6 persen

Pada sisi kebijakan moneter, suku bunga Bank Indonesia sepanjang tahun ini belum pernah berada di bawah 6 persen. Pada Agustus 2024 tercatat suku bunga Bank Indonesia masih berada di angka 6,25 persen. Bank Indonesia sudah berhasil memperkuat nilai tukar IDR terhadap USD pada awal September 2024 berada pada posisi seperti pembukaan Januari 2024.

Oleh sebab itu, mengingat sinyal perekonomian yang lesu, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah kebijakan penurunan suku bunga sebesar 25-50 basis poin. Kebijakan penurunan suku bunga akan menstimulasi sektor riil melalui investasi dan belanja rumah tangga.

Dengan penurunan suku bunga diharapkan perekonomian nasional akan kembali menggeliat. "⁠Diperlukan dukungan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan agar ekonomi ini tidak terpuruk," kata Afaqa.

Berita Terkini Lainnya