Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Komunitas game seharusnya menjadi tempat para pemain bisa berkumpul, berbagi pengalaman, dan menikmati hobi mereka bersama-sama. Namun, kenyataannya, banyak komunitas game dikenal dengan perilaku toksik.
Perilaku toksik dalam komunitas game dapat merusak pengalaman bermain, membuat pemain merasa tidak nyaman dan bahkan memengaruhi kesehatan mental. Lalu, mengapa komunitas game bisa menjadi begitu toksik? Berikut beberapa penyebab utamanya.
1. Anonimitas di dunia maya
Salah satu alasan utama mengapa komunitas game bisa menjadi toksik adalah anonimitas ditawarkan dunia maya. Ketika seseorang bermain game online, identitas asli mereka seringkali tersembunyi di balik nama pengguna atau avatar.
Anonimitas ini dapat membuat beberapa orang merasa bebas untuk berperilaku negatif tanpa takut akan konsekuensi nyata. Ketika seseorang tidak merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka, mereka cenderung lebih mudah melakukan trolling, menghina atau bahkan melakukan pelecehan terhadap pemain lain.
Anonimitas ini menciptakan lingkungan di mana perilaku buruk bisa tumbuh subur tanpa kontrol memadai.
2. Kompetisi intens
Game online seringkali sangat kompetitif, terutama dalam genre seperti game MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First-Person Shooter), dan battle royale. Kompetisi yang intens ini dapat memicu emosi negatif seperti frustrasi, marah dan stres, terutama ketika pemain merasa kalah atau tidak perform dengan baik.
Ketika emosi negatif ini tidak dikelola dengan baik, mereka bisa beralih menjadi perilaku toksik, seperti menyalahkan rekan tim, menghina lawan, atau bahkan melakukan tindakan sabotase terhadap tim sendiri. Tekanan untuk menang dan menjaga reputasi dalam komunitas game juga bisa memperparah perilaku ini.
Baca Juga: 4 Hal Menarik Event Euro 2024 EAFC Mobile, Banyak Fitur Seru
3. Kurangnya regulasi dan pengawasan
Banyak platform game tidak memiliki regulasi atau pengawasan memadai untuk mengendalikan perilaku toksik. Meskipun beberapa game memiliki sistem pelaporan dan moderasi, seringkali sistem ini tidak cukup efektif untuk menangani semua kasus perilaku buruk.
Ketika pemain merasa tidak ada konsekuensi nyata untuk perilaku buruknya, mereka lebih cenderung untuk terus berperilaku toksik. Kurangnya tindakan tegas terhadap pemain yang toksik juga bisa membuat pemain lain merasa tidak berdaya dan akhirnya meninggalkan komunitas tersebut.
4. Pengaruh negatif dari pemain lain
Perilaku toksik seringkali bersifat menular. Ketika seorang pemain mengalami perlakuan buruk dari pemain lain, mereka mungkin merasa marah dan frustrasi kemudian membuat mereka berperilaku buruk terhadap pemain lain.
Siklus ini bisa berlanjut dan menyebar ke seluruh komunitas, menciptakan lingkungan yang semakin toksik. Selain itu, beberapa pemain mungkin merasa perilaku toksik adalah norma dalam komunitas tertentu, sehingga mereka meniru perilaku tersebut untuk merasa diterima atau untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.