Rindu Bukber dengan Teman SMA, Ajang Reuni tapi Sulit Terwujud

Lama tak bertemu, sekali bertemu tak lama

Intinya Sih...

  • Media sosial memudahkan komunikasi dengan teman SMA yang berdomisili jauh
  • Kurangnya inisiatif untuk berkumpul dan merindukannya saat bertemu sebentar saja
  • Kesedihan atas kurangnya kebersamaan dalam momen bukber dan reuni setelah lulus SMA

Bandar Lampung, IDN Times - Ada dua kalimat mungkin menjadi jargon terkait dunia pertemanan. Pertama: mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Kedua: lama tak bertemu, sekali bertemu tak lama. 

Dua jargon ini jika dikaitkan dengan kisah hubungan pertemanan saya dengan rekan Sekolah Menengah Atas (SMA) serasa tepat sekali. Jargon pertama misalnya, jika dikaitkan dengan media sosial seperti Facebook, Instagram, saya memiliki banyak akun teman SMA. 

Melalui medsos, teman SMA berdomisili di luar Provinsi Lampung saya tetap dapat berkomunikasi. Sekadar bertanya kabar melalui kolom chat Facebook, mengomentari status hingga melihat kondisi terkini teman melalui unggahan foto atau video Instagram. 

Aktivitas tersebut serasa mengobati rasa rindu kepada teman yang domisilinya jauh tapi serasa dekat. Nah bagaimana dengan kata menjauhkan yang dekat? Kata tersebut menurut pendapat saya pribadi adalah, WhatsApp Group teman SMA idealnya menjadi sarana komunikasi terkhusus teman putih abu-abu domisili di Bandar Lampung malah beberapa tahun terakhir serasa hambar. Misalnya saja, ajakan untuk sekadar kopdar pun sudah jarang sekali dilakukan. 

Kalaupun pada akhirnya janjian kopdar diwujudkan karena alasan klise sudah lama tak bertemu teman SMA, itupun saat bertemu tak lama. Bahkan, apabila dikaitkan momen bulan suci Ramadan, kondisi komunikasi dengan rekan SMA pun seputar menggelar buka bersama (bukber), 6 tahun terakhir tak pernah dilaksanakan. Padahal sebelumnya bukber teman SMA satu angkatan "wajib hukumnya" dilaksanakan. 

Kenapa wajib, karena itu digelar setahun sekali dan bisa dibalut ajang reuni. Biasanya, jadwal bukber ini kami gelar, dua atau tiga hari jelang Idul Fitri. Itu menjembatani teman-temannya SMA domisili di luar Lampung kebetulan saat lebaran pulang kampung ke Lampung. 

Saya sempat bertanya kepada beberapa "pentolan" teman SMA yang dulu selalu berinisiatif mengajak bertemu, kenapa tidak ada lagi gelaran bukber saat Ramadan. Mereka beralasan koordinasi dan mengatur jadwal yang tepat menjadi kendala. Bahkan mereka dulunya "semangat 45" menjadi panitia dadakan bukber pun kini menjadi pasif. 

Ada teman berseloroh agar saya menjadi koordinator bukber 2024 dan sebagai langkah awal membuka komunikasi melalui WAG dan Facebook Alumni tahun kelulusan SMA 2001 terkait rencana bukber. Tapi saya pribadi menilai itu kurang tepat, meski setiap gelaran bukber sebelumnya saya kerap diikutsertakan dalam kepanitiaan. 

Dari berbagai kondisi di atas, memang sedikit mellow bagi saya. Terlebih saya termasuk pribadi yang percaya, masa SMA itu adalah era terbaik selama periode menempuh pendidikan dari berbagai jenjang. Terlalu banyak kenangan indah dan tak dilupakan bersama rekan SMA meski saya sudah lulus sejak tahun 2001 silam. 

Saya kerap berpikir, sesibuk apakah teman-teman SMA sampai tak bisa menyisihkan waktu 1 hari minimal 2-3 jam untuk bertemu skala besar melalui momen bukber dibalut reuni. Enam tahun tidak menggelar acara bukber teman SMA menurut saya terlalu lama. 

Kondisi itu kian "lucu" jika dikaitkan bukber sesama rekan satu profesi jurnalis. Rentang satu minggu, saya dan teman jurnalis kerap bertemu beberapa kali di acara bukber digelar narasumber. Kalaupun dalam seminggu ada periode narasumber tidak menggelar bukber, kami malah berinisiatif sendiri menggelar bukber. Mulai dari memilih lokasi bukber, pengin icip-icip kuliner apa hingga harga paket berapa.

Ide spontan menggelar bukber bersama rekan jurnalis itu gak pake ribet dan banyak mikir. Melalui WhatsApp Group, proses koordinasi hingga deal kapan digelar, lokasi dimana dan transfer biaya bukber tak sampai 2 jam. 

Padahal kalau dipikir-pikir "bosan" juga bertemu terus dengan mereka saban waktu. Tapi karena menjalin silaturahmi dan ada saja cerita seru, gelak tawa dari sesama jurnalis membuat pertemanan kami begitu dinamis dan tanpa sekat. Ahh.. Andai kondisi serupa dapat saya rasakan bersama teman SMA. 

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya