[OPINI] Metro Menuju Kota Literasi, Butuh Kebijakan, Anggaran dan Road Map

Pencanangan kota literasi Selasa (14/12/2021)

Akankah Metro menjadi Kota Literasi?
Hari ini, Selasa (14/12/2021) rencananya Pemerintah Kota Metro akan melakukan pencanangan kota literasi di halaman Masjid Taqwa tepatnya di depan Pojok Baca Digital.

Sejumlah persiapan sudah mulai tampak, mulai dari tarub, seragam untuk para personel Gerakan Literasi Daerah dan mungkin banyak hal lainnya. Layaknya sebuah seremonial energi kita terkadang habis untuk urusan teknis ketimbang substansi.

Rasa senang sekaligus sedih bercampur baur. Senang karena apa yang sudah dibahas para pegiat literasi di Metro sejak beberapa tahun lalu akhirnya mulai menjadi perhatian. Selama ini isu literasi adalah isu pinggiran yang kalah penting dibanding isu-isu pembangunan lainnya.

Hal ini dapat dimaklumi karena meski berjuluk Kota Pendidikan, isu literasi bukanlah isu seksi karena memang tak menguntungkan secara finansial. Sementara isu pembangunan fisik tampak lebih nyata baik dari aspek bentuk maupun hasil.

Meski gembira akhirnya isu literasi mulai menjadi perhatian tapi rasa sedih juga muncul karena kali ini dari segi perencanaan aspek seremonial tampak jauh lebih kuat dibanding aspek substansial. Kita tak lagi bicara soal road map menuju kota literasi, tetapi dukungan kebijakan apa yang diperlukan hingga kepada politik anggaran.

Hal ini tentunya dapat dimaklumi karena tentu membutuhkan waktu yang lama untuk mencari motif bahan seragam, siapa yang akan memasang tarub dan tetek bengek lainnya yang sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan literasi itu sendiri. Situasi ini tentu harus segera dipecahkan tidak sekadar pada aspek komposisi tim literasi daerah sebagai syarat untuk mendapatkan penghargaan atau predikat.

Jauh lebih penting adalah apa dan bagaimana tugas tim ini ke depan dengan keberagaman latar belakang tim yang ditunjuk secara sepihak tersebut. Beberapa orang memang dikenal memiliki reputasi dibidang pengembangan literasi tapi sejauh mana mereka diajak untuk mendiskusikan isu ini tentu hanya Tuhan yang tahu.

Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya dimana praktik kolaborasi dalam konteks pengembangan budaya literasi telah mulai dilakukan meski belum merata. Sinergi yang pernah dilakukan Dispusarda dengan segala keterbatasannya terus berupaya menggandeng berbagai kelompok untuk bersama-sama mengembangkan literasi dan inklusi sosial.

Meski demikian kita tetap perlu menilai kembali sejauh mana program-program pendidikan literasi yang belum sepenuhnya menyasar seluruh elemen masyarakat. Indikator sederhana yang kasat mata misalnya adalah berapa banyak rumah pintar yang tersebar di kelurahan-kelurahan telah berfungsi. Kita tentu berharap langkah cepat ini akan diimbangi dengan satu rencana yang matang tentang bagaimana mewujudkannya, bagaimana membuat gerakan ini menjadi spirit warga kota, hingga bagaimana pembagian kerja.

Kesan yang ditangkap sejauh ini adalah sebatas penyesuaian komposisi beragam profesi sebagai syarat dan legitimasi bahwa tim yang dibentuk mengusung spirit kolaborasi. Soal apakah tim yang dibentuk ini akan bekerja keras menjadikan kota ini sebagai kota literasi atau sekadar meraih penghargaan tentu waktu juga yang akan menilainya. Ibarat perang sebuah pasukan disiapkan maju ke medan tempur melalui persiapan dan strategi yang matang bukan hanya bermodal seragam.

Sejauh ini keterbukaan media memudahkan kita melihat sejauh mana persiapan yang telah dilakukan selain pada urusan mencari bahan seragam, menyiapkan SK tim atau bahkan draft Perwali. Apakah para pegiat literasi yang disebut akan dilibatkan diajak bicara karena isu literasi bukanlah sekedar urusan soal batik dan dilantik. Hal yang tidak boleh dilupakan juga adalah para pegiat literasi yang bukan berasal dari unsur pemerintahan itu bukanlah bawahan dinas yang bisa ditunjuk tanpa diajak bicara.

Meski terkesan terburu-buru langkah cepat ini tetap harus diapresiasi. Ada niatan baik yang idealnya diwujudkan dalam kebijakan, regulasi serta anggaran yang mendukung mimpi Kota Metro menjadi kota literasi. Kita tak perlu malu belajar pada Lampung Barat yang telah lebih dulu mencanangkan Kabupaten Literasi dan berhasil meraih Nugra Jasadarma Pustaloka beberapa waktu lalu. Akhirnya, penghargaan itu penting tapi hal yang jauh lebih penting tentunya adalah budaya literasi yang tumbuh di masyarakat itu sendiri.

Oki Hajiansyah Wahab

Penulis adalah traveler dan pegiat literasi domisili di Kota Metro

Baca Juga: [OPINI] Enam Bulan yang Mengubah Wajah Cagar Budaya di Metro

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya