Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guru

Budaya patriarki berdampak terhadap pemberdayaan perempuan

Intinya Sih...

  • Dahniar, wanita paruh baya 55 tahun, mengubur mimpi menjadi guru sejak 35 tahunan silam.
  • Ketakutan dan minimnya pengetahuan tentang perguruan tinggi membuat Niar mengurungkan niat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
  • Budaya patriarki di Lampung memengaruhi ketimpangan kesetaraan gender dan hak-hak pemberdayaan perempuan.

Bandar Lampung, IDN Times - Mimpi berprofesi menjadi tenaga pengajar alias guru sejatinya sudah dikuburkan Dahniar sejak 35 tahunan silam. Wanita paruh baya 55 tahun memiliki 3 orang anak itu telah melewati hari-harinya mengabdi sebagai sosok ibu rumah tangga (IRT).

Niar, begitu dirinya akrab disapa di lingkungan sekitar, sadar betul menyandang status IRT tak kalah mulia dengan profesi guru. Itu karena ia masih tetap bisa menjadi tenaga pendidik untuk para buah hatinya, walupun tanpa seragam maupun mengajar dalam kelas.

Meski begitu, diakui sosok guru pernah menjadi bagian cita-cita terbesar dalam hidupnya. Bahkan itu dibuktikan Niar tatkala hendak melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas dengan masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG) terletak di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus pada 1985 silam.

"Sengaja masuk SPG, karena harapannya zaman itu bisa lanjutan kuliah, terus jadi guru," ujarnya seraya berusaha mengulas balik memori puluhan tahun silam.

1. Diminta orang tua mengalah demi kelanjutan kakak laki-lakinya kuliah

Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guruilustrasi wisuda (unsplash.com/mdesign85)

Hari-hari Niar dibangku pendidikan SPG dilalui layaknya anak sekolah menengah atas pada umumnya. Setiap materi pelajaran disuguhkan mampu dilahap dengan cukup baik, masa-masa usia remaja kala itu diakui penuh sukaria.

Tiga tahun berselang, Niar tinggal menghitung minggu bakal segera menamatkan pendidikan SPG. Tiba-tiba, ia diajak berbicara empat mata oleh sang ayah untuk membahas kelanjutan pendidikannya.

Belum lekang dalam ingat, sang ayah yang telah mengetahui anak ketiganya itu berkeinginan kuat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah terpaksa harus meminta Niar mengurungkan niatan tersebut dan mengalah dengan dua kakaknya sudah lebih dulu masuk perguruan tinggi di Kota Palembang dan Bandar Lampung.

"Masalahnya bukan karena keterbatasan ekonomi tapi lebih ke ketakutan aja, karena waktu itu kakak pertama laki-laki sama kedua juga sedang kuliah," ucapnya.

2. Orang tua tinggal di kampung minim infomasi tentang perguruan tinggi

Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guruilustrasi orang tua anak. (pexels.com/Kampus Production)

Ketakutan dimaksud kala itu dan kini telah disadari Niar karena minimnya pengetahuan dan informasi menyangkut perguruan tinggi didapat orang tua yang hanya tinggal di kampung. Sebab, bila diukur dari kemampuan ekonomi, keluarganya tergolong mampu dan berpenghasilan menengah ke atas.

"Iya, jadi semacam sudah ada ketakutan dulu, kira-kira ini mampu gak atau terbiayai gak andai semua anak-anaknya kuliah," sambungnya.

Pascamedengar permintaan sang ayah dan menyadari sebagai anak perempuan berasal dari keluarga suku Lampung, Niar tahu persis keberadaan anak perempuan sedikit dikesampingkan dibanding anak laki-laki.

Walhasil setamatnya dari bangku pendidikan SPG, gadis remaja ini hanya bisa pasrah sambil menyibukkan diri membantu dan meringankan pekerjaan orang tuanya di rumah. "Kalau kata orang sekarang gadis pengangguran, gak kerja gak apa. Jadi bantu-bantu mamah di rumah aja," katanya.

Baca Juga: Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah Lingkungan

3. Sibukkan diri dengan ikuti kursus menjahit

Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guruilustrasi mesin jahit (pixabay.com/ Mortiz320)

Waktu demi waktu berlalu, merasa jenuh dengan aktivitas harian di rumah. Niar akhirnya memutuskan meminta izin kepada orang tuanya untuk mengikuti kursus menjahit, bukan hanya sekedar mencari kesibukan melainkan juga demi memperoleh keterampilan baru. Beruntung, keinginan itu disetujui oleh sang ayah.

"Kurang lebih satu tahun lah nganggur, akhirnya ikut kursus jahit, karena zaman itu di kampung perempuan kesannya harus bisa menjahit," ujarnya.

Genap memasuki usia 21 tahun, Niar akhirnya memutuskan dipersunting kekasihnya tak lain merupakan pemuda tetangga kampung. Sajak saat itu, mimpinya menjadi guru telah dikubur dalam-dalam dan memutuskan menjadi IRT. "Sejak menikah itu udah gak kepikiran lagi buat jadi guru," tambahnya.

4. Budaya patriarki sangat kental bagi masyarakat Lampung

Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guruilustrasi budaya patriarki (pexels.com/Annushka Ahuja)

Berkaitan dengan ini, Direktur Eksekutif Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Lampung, M Fajar Santoso mengatakan, sistem atau budaya patriarki dianut masyarakat adat Lampung dengan menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam garis keturunan maupun kehidupan sosial, sangat memengaruhi ketimpangan kesetaraan gender di Provinsi Lampung.

Sehingga tak heran ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan di Lampung sangat terasa, kondisi ini, disebut tentu berbanding lurus dengan hak-hak pemberdayaan perempuan masih dikesampingkan.

"Berbicara tentang pemberdayaan perempuan, harusnya dari multi stakeholder dan berbagai macam latarbelakang saling bahu-membahu untuk kita mengedukasi ketimpangan gender, sebab, permasalahan ini sangat memungkinkan memicu dampak lain pada perempuan," ucap dia.

Disebut budaya patriarki ini juga sejalan dengan prinsip laki-laki di Lampung disebut dengan "Pi’il" mengandung pengertian pendirian atau prinsip dipertahankan. "Terkadang kontes Pi'il nya ini salah kaprah, bukan berarti laki-laki tidak bisa berperan dalam rumah tangga, atau hanya perempuan yang harus berurusan dengan dapur," tambahnya.

5. IKG di Lampung pada 2022 sebesar 0,456

Kisah Niar, Terkungkung Budaya Patriarki Lampung Kubur Mimpi jadi Guruhttps://baktinews.bakti.or.id/artikel/mengakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-bagaimana-laki-laki-berperan-mewujudkan-kesetaraan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Provinsi Lampung pada 2022 sebesar 0,456, atau turun 0,002 poin dibandingkan 2021 mencapai sebesar 0,458. Menurunnya IKG terutama dipengaruhi oleh perbaikan dimensi kesehatan reproduksi.

Masih dari data dirilis pada 1 Agustus 2023 ini, perbaikan dimensi kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh perbaikan indikator proporsi perempuan 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang 20 tahun turun dari 27,5 persen di 2021 menjadi 26,9 persen pada 2022.

Fajar Santoso menambahkan, permasalahan patriarki di Lampung sejatinya bisa diatasi dengan pelibatan emosional kepada laki-laki dilakukan oleh perempuan. Artinya, dengan konteks bahasa bukan memerintah atau menyuruh tetapi lebih kepada mengajak.

"Ini terbukti, kami sudah mencoba metode ini di Desa Cilimus, Pesawaran dan masih berjalan sampai sekarang. Di sana, pendekatan kami lakukan lebih kepada peran lelaki terhadap pola asuh anak. Jadi ternyata dan terbukti lelaki juga bisa mengurus anak," tandasnya.

Baca Juga: Tari Kreasi dan Modern Lemahkan Minat Generasi Muda Tekuni Tari Tradisi

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya