Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat Anggaran

Masih ada kendala untuk digitalisasi buku

Intinya Sih...

  • Minat literasi membaca di Lampung sangat rendah, berada di posisi 5 terbawah dari seluruh provinsi di Indonesia.
  • Akses membaca di Lampung minim, terutama di sekolah dengan koleksi buku yang kurang mendukung minat baca siswa.
  • Pustakawan dan perpustakaan aktif mencari solusi dengan program-program menarik dan digitalisasi untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Bandar Lampung, IDN Times - Minat literasi membaca di Lampung sangat menghawatirkan karena berada di posisi 5 terbawah dari seluruh provinsi di Indonesia. Hal itu disampaikan Pustakawan Lampung, Dwi Ariansyah saat diwawancara IDN Times, Sabtu (20/7/2024).

Bahkan tingkat baca di Indonesia juga sangat  rendah, berada di peringkat 10 terbawah dari negara lain. “Artinya, minat baca di Indonesia sangat menghawatirkan terutama di Lampung. Terlebih efek Covid-19 masih sangat berpengaruh, karena setelah COVID teknologi makin gila-gilaan,” kata founder taman baca masyarakat Gubuk Literasi itu.

1. Alasan minat baca di Lampung rendah

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perpustakaan daerah Lampung (IDN Times/silviana)

Pria akrab disapa Anca itu juga sempat mempertanyakan, kenapa minat baca di Lampung sangat rendah, padahal aksesnya cukup dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Namun, tingkat bacanya setara dengan kondisi di Papua yang aksesnya sangat sangat jauh dari Ibu Kota.

“Aku coba studi permasalahannya, keliling ke daerah-daerah di Lampung ternyata memang akses membacanya yang tidak ada. Kita lihat aja di Lampung, Gramedia cuma ada di Bandar Lampung. Kemudian, Lampung Selatan misalnya kan sangat luas, tapi pusat perpustakaannya cuma di Kalianda,” jelasnya.

Anca menceritakan, kondisi anak-anak taman baca ia bangun, awalnya juga tak tertarik dengan buku bacaan. Mereka hanya fokus memainkan gawai. Namun, kondisi tersebut berubah setelah TBM Gubuk Literasi memberikan faslitas buku bacaan relevan untuk dibaca anak-anak.

“Ketika sudah kita hadirkan buku bacaan yang sesuai dengan usia mereka, ternayata mereka mau baca kok. Jadi anak-anak sebenarnya mau baca tapi akses kita minim, jadi susah anak-anak mau baca,” ujarnya.

Baca Juga: Indeks Kerawanan Pemilu di Pilkada 2024 Lampung: Rawan Sedang

2. Pustakawan berperan penting menggaet minat baca masyarakat

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perpustakaan daerah Lampung (IDN Times/silviana)

Selain akses, menurut Anca peran pustakawan juga sangat penting menarik minat pembaca untuk datang ke perpustakaan. Selama mengelola perpustakaan, Anca mengatakan selalu membangun komunikasi yang ramah dengan pengunjung serta membuat program-program menarik untuk menggaet minat baca masyarakat.

Seperti pernah dilakoninya di salah satu perpustakaan sekolah di Bandar Lampung. Menurutnya, anak-anak sekolah sangat ingin datang ke perpustakaan.

Namun, fasilitas di perpustakaan sekolah masih kurang mendukung. Seperti koleksi buku hanya sedikit dan tidak diperbarui, serta mayoritas koleksinya adalah buku pelajaran.

“Jarang ada perpustakaan sekolah menghadirkan bacaan novel atau komik. Tapi ya gak bisa disalahkan juga karena perpus sekolah mengandalkan anggaran dari pihak sekolah. Sebenarnya ada alokasi dananya, tapi belum ada hilalnya itu dananya kemana,” terangnya.

3. Dana buku tak cair, bikin progam mandiri untuk tambah koleksi

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perpustakaan daerah Lampung (IDN Times/silviana)

Mengatasi minimnya pendanaan buku-buku fiksi di sekolah membuat Anca membuat sebuah program menghasilkan uang digunakan untuk membeli koleksi buku baru di perpustakaan ia kelola. Program tersebut bernama bengkel buku, di mana para siswa merusakkan buku perpustkaan bisa diperbaiki di bengkel buku tersebut.

“Kita kalau mau beli buku yang fiksi harus nunggu dari acc bendahara ke dana BOS. Nunggunya bisa sampai satu tahun bahkan kadang gak dibelikan. Jadi bengkel buku ini hasilnya kita alokasikan untuk beli buku. Selama di sana sekitar 20 novel dan 10 komik kita beli hasil retorasi buku, dan anak-anak juga sangat antusias,” kata Anca.

Selain itu ia juga aktif mengelola akun Instagram perpustakaan untuk membangun komunikasi lebih intens dengan pembaca. Bahkan ruang perpustakaan tak hanya dijadikan ruang membaca, tapi juga di isi dengan bermain game atau sesi curhat.

“Jadi aku berbaur dengan mereka, ajak mereka cerita atau curhat. Kalau habis baca buku ada yang curhat ataau main game,” ceritanya.

4. Masih ada kendala untuk digitalisasi buku

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perpustakaan daerah Lampung (IDN Times/silviana)

Mirisnya melihat akses membaca di Indonesia menurut Anca juga tergambar dari jumlah buku di Indonesia, satu buku ditunggu oleh 90 orang. Sangat berbeda jauh dengan di Jepang, di mana satu orang memiliki dua buku bacaan.

Meski saat ini perpustakaan di Lampung sudah merambah ke dunia digital menurutnya akses tersebut masih belum menjangkau buku-buku secara keseluruhan. “Apalagi kalau perputakaan di sekolah saat ini baru mengutamakan buku fisik, belum ada persiapan ke buku digital seperti ebook karena masih kesulitan, banyak buku mata pelajaran yang gak dapet PDF-nya," bebernya.

Tapi ya tergantung pustakawannya juga, karena kalau saya coba membuatkan ebook seperti novel, majalah, buku-buku sejarah. Sekarang sudah ada 100an lebih ebook di perpustakaan yang saya kelola. Jadi kaya ada web gratis bisa kita gunain dan di isi dengan PDF,” paparnya.

5. Perpustakaan Unila sediakan titik baca digital untuk masyarakat

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perustakaan Universitas Lampung (instagram/library_unila)

Khairudin, Kepala Perpustakaan Universitas Lampung menjelaskan, sebagai pustakawan akan terus memajukan literasi baik itu di masyarakat ataupun di kampus. Menurutnya, perpustakaan di Unila tak hanya fokus memenuhi kebutuhan buku-buku akademik mahasiswa, tapi juga menjalin kerja sama dengan Perpusnas dan Perpusda untuk meningkatkan literasi masyarakat.

“Di era digital sekarang ini tentunya kita juga harus mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan konten-konten digital. Selain adanya buku konvensional atau cetak, kita juga harus sediakan digital. Kita, perpustakaan Unila sediakan titik baca yang dapat diakses masyarakat. Biasayanya kita taruh di terminal depan masjid Al-Wasii. Jadi itulah salah satu upaya kita memasyarakatkan literasi dengan teknologi digital,” ujarnya.

Khairudin mengatakan, perpustakaan Unila juga sudah memiliki barcode yang dapat discan menggunakan gawai untuk memudahkan masyarakat bisa langsung membaca buku-buku telah disediakan. Ke depan pihaknya juga merencanakan bersama Perpusda untuk menggerakkan minat baca masyarakat di kampung-kampung.

“Kita akan memanfaatkan digitalisasi perpustakaan ini untuk menambah pengetahuan masyarakat di dalam perencanaannya bersama Perpusda. Jadi ini upaya kita untuk menyentuh masyarakat dan ke sekolah-sekolah juga, bertahap tentunya. Yang terpenting saat ini semangat dan dukungannya dulu, kalau yang lainnya bisa kita usahakan bersama,” kata Khairudin

6. Akses membaca digital masih terbatas, pendanaan buku tiap tahunnya termasuk kecil

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat AnggaranPotret perustakaan Universitas Lampung (instagram/library_unila)

Menurutnya, akses barcode untuk membaca secara digital tersebut akan dipasang di tempat umum dan sekolah-sekolah terlebih dahulu secara bertahap. Sebab, meski bentuknya digital tetap harus membeli bukunya terlebih dahulu.

“Jadi, kalau kita pasang titik di terminal, kalau mau pasang dititik yang lain kita harus beli buku lagi karena dia semacam rak buku tapi digital. Jadi satu buku hanya bisa untuk satu titik, tidak bisa dipindahkan untuk titik yang lain. Yang di terminal depan Masjid Al-Wasi’i itu kita sediakan 200 judul buku,” terangnya.

Disampaikan Khairudin, pendanaan perpustakaan di Unila untuk pengadaan buku tiap tahunnya di atas 5 miliar termasuk kecil dibanding kampus lain bisa sampai 15 atau 20 milliar.

“Tapi ya nilai segitu termasuk sedanglah untuk Unila yang pengadaan bukunya sekitar 40 ribuan kalau universitas besarkan sekitar 80 ribuan,” ujarnya.

7. Adakan berbagai program dan digitalisasi buku untuk jangkau masyarakat lebih luas

Lampung Minim Akses Baca, Pengadaan Buku Terhambat Anggaran(instagram/ajhiindratama)

Menurut Khairudin, setiap tahun Peprustakaan Unila selalu menambah koleksi baru. Selain buku akademis, juga menyediakan buku-buku fiksi seperti novel, cerita humor dalam bentuk cetak maupun digital. Namun, tahun lalu pengadaan buku difokuskan untuk buku-buku Kedokteraan serta buku-buku digital.  

“Tahun ini kita menyebar kuisioner-kuisioner dan datang ke fakultas-fakultas, buku apa yang dibutuhkan. Jadi kita gak mau sembarang mengadakan. Kita maunya itu datang dari pengguna, apa yang dibutuhkan agar tidak mubazir bukunya. Dan itu semua diatur dengan SOP Perpustakaan yang memang kita miliki,” jelasnya

Ia menambahkan, saat ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan buku-buku cetak, karena perkembangan teknologi sangat cepat. Apalagi merawat buku cetak lebih rumit, harus ada pemeliharaan, penomeran secara manual, belum lagi buku-bukunya dapat rusak dan penempatannya memakan tempat.

“Kita juga kan punya program bulan Agustus ini sebagai salah satu bentuk promosi kita untuk beralih secara bertahap ke digitalisasi perpustakaan,” tandasnya.

Baca Juga: Power On Hand Kapolda Lampung, 1.008 Personel Siaga Amankan Pilkada

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya