Kekerasan Jurnalis di Lampung Tak Pernah Sampai Meja Hijau, Ada Apa?

Solidaritas atar jurnalis dipertanyakan

Bandar Lampung, IDN Times - Kasus kekerasan menimpa jurnalis saat melakukan kerja-kerja jurnalistik di Lampung belum pernah sampai ke meja hijau pengadilan. Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur LBH Pers Bandar Lampung, Chandra Bangkit Saputra saat diskusi kekerasan terhadap jurnalis digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Selasa (9/11/2021).

Padahal menurut Bangkit, selama 2021 ini sudah lima jurnalis di Lampung mengalami kekerasan saat liputan. Bahkan, sudah tiga kali AJI Bandar Lampung menggelar diskusi terkait kasus kekerasan pada jurnalis.

"Kalau diurut lima tahun ke belakang, untuk seluruh Lampung ada ratusan jurnalis mengalami kekerasan. Tapi belum pernah ada yang sampai di meja hijau pengadilan," kata Bangkit.

1. Harus lebih keras sosialisasikan mekanisme kerja jurnalis

Kekerasan Jurnalis di Lampung Tak Pernah Sampai Meja Hijau, Ada Apa?Ilustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Bangkit mengatakan, acara diskusi seharusnya bisa menghadirkan pihak terkait sebagai lembaga atau oknum yang tidak memahami kerja-kerja jurnalistik sehingga melakukan kekerasan pada jurnalis.

"Kita harus tegas dan sebagai yang masih waras kita harus segera meracuni stakeholder lain supaya paham mekanisme kerja jurnalistik," ujarnya.

Menurut Bangkit persoalan kekerasan dan ancaman UU Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) mengancam jurnalis harus bisa di atasi dan bekerja lebih keras untuk terus mensosialisasikan mekanisme kerja jurnalis.

Baca Juga: Gelar Diskusi Publik, AJI Bandar Lampung Lakukan Riset PPKM Darurat

2. Pilih tak lapor karena kurang bukti

Kekerasan Jurnalis di Lampung Tak Pernah Sampai Meja Hijau, Ada Apa?Unsplash.com/Maria Krisanova

Berdasarkan data AJI Bandar Lampung dari lima kasus kekerasan pada jurnalis terjadi selama 2021, terbaru adalah kasus intimidasi terhadap jurnalis Suara.com, Ahmad Amri.

Pewarta itu menerima kekerasan verbal saat mengonfirmasi dugaan suap pada jaksa Anton Nur Ali di Kejati Lampung. Bahkan, Anton mengancam Amri dengan UU ITE.

Amri menceritakan, pada Jumat 22 Oktober 2021, melakukan konfirmasi pada narasumber terkait suap diterima jaksa A di Kejati Lampung. Pihaknya sudah mengirim pesan singkat tapi tidak dibalas. Akhirnya ia memutuskan datang langsung ke Kejati Lampung dan bertemu jaksa tersebut.

"Kebetulan beliau melintas jadi saya langsung doorstop. Tapi saya disuruh meninggalkan alat kerja saya ke satpam. Awalnya saya nolak, tapi ada preman narik saya nyuruh meletakkan semua alat kerja, kaya Hp dan lain-lain," cerita Amri.

Saat di ruangan selain tidak membawa alat kerja, Amri juga tidak diberi kesempatan berbicara. Ia justru diancam akan dilaporkan ke Polda Lampung perihal pesan yang dikirim melalui watshapp.

"Katanya WA saya ke beliau itu kena UU ITE. Beliau juga sempat ancam akan ada orang nelpon saya itu orang dia," jelasnya.

Lebih lanjut Amri menyampaikan bahwa intimidasi tersebut benar terjadi. Namun pihaknya memilih tidak melaporkan setelah berkoordinasi dengan pihak kantor berita tempatnya bekerja. Sebab bukti yang dimiliki tidak cukup.

"Secara pribadi saya sudah maafkan. Tapi secara kerja jurnalistik atas intimidasi yang terjadi tidak ada perdamaian dengan kasus tersebut," tegasnya.

3. Butuh solidaritas dari semua komunitas pers

Kekerasan Jurnalis di Lampung Tak Pernah Sampai Meja Hijau, Ada Apa?Massa Forum Jurnalis Medan menggelar aksi tutup mulut di depan Gedung Pemko Medan, Senin (19/4/2021). Mereka menuntut Wali Kota Bobby Afif Nasution untuk meminta maaf atas insiden dugaan perintangan dan intimidasi oleh tim pengamanan terhadap jurnalis beberapa waktu lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ketua AJI Bandar Lampung, Hendry Sihaloho menyayangkan kasus dialami Amri dilakukan oleh pihak yang berprofesi sebagai penegak hukum.

"Negeri ini butuh pers yang bebas. Ketika itu terjamin akan beririsan dengan demokrasi, ketika demokrasi terjamin maka hak publik terpenuhi," terangnya.

Menurutnya, kasus kekerasan pada jurnalis perlu keseriusan dari semua komunitas pers. Sehingga jangan tutup mata ketika ada rekan pers mengalami kekerasan.

"Selemah-lemahnya iman yang bisa dilakukan adalah solidaritas. Maka bersolidaritaslah ketika kawan kita mengalami kekerasan," ujarnya.

Pihaknya juga meminta masyarakat mau pun pemerintah menghargai kerja-kerja jurnalistik. Apabila menemukan jurnalis melakukan pelanggaran atau tidak profesional bisa langsung dilaporkan.

"Tapi jangan dilakukan kekerasan dan menghalangi kerja jurnalistik," ujarnya.

4. Hal paling penting harus tetap dikawal saat ini

Kekerasan Jurnalis di Lampung Tak Pernah Sampai Meja Hijau, Ada Apa?Ilustrasi Jurnalis. IDN TImes/Arief Rahmat

Diskusi berlangsung secara dalam jaringan itu juga menghadirkan Oyos Saroso selaku Ahli Dewan Pers. Pihaknya juga menyayangkan tidak adanya solidaritas antara wartawan pers yang ada di lokasi peliputan. Bahkan, lanjutnya, ketika pihak Kejati membuat rilis bahwa kasus sudah selesai dan berakhir damai, sebagian besar wartawan mengambil rilis versi Kejati.

"Kalau ini terus terjadi, saya khawatir ke depan di antara kawan wartawan tidak ada solidaritas. Sehingga kalau ada kawan jadi korban kekerasan itu akan ditanggung sendiri," tuturnya.

Menurutnya, ada hal mendasar tidak dipahami pejabat soal kerja jurnalistik. Bahwa ketika jurnalis melakukan konfirmasi artinya ada hal harus diverifikasi kebenarannya. Sehingga narasumber jangan merasa tertuduh.

Oyos juga menekankan, paling penting untuk dikawal adalah benar atau tidaknya oknum jaksa melakukan kekerasan pada jurnalis tersebut menerima suap dari keluarga yang sedang dalam perkara.

"Paling penting harus selalu mengawal dan mencari tahu perkembangan penyelidikan terkait fakta tersebut," tukasnya.

Baca Juga: Jurnalis Lampung Alami Kekerasan, Perusahaan Media Tak Lapor Aparat

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya