FJPL: Media Kerap Langgar Kode Etik Jurnalistik Berita Pelecehan Seksual

Banyak media belum berperspektif pada korban

Bandar Lampung, IDN Times - Kasus kekerasan seksual menjadi isu sensitif saat diangkat ke ruang publik. Media sebagai wadah penyebaran informasi idealnya menyajikan informasi yang melindungi hak-hak korban.

Namun, masih banyak media memberitakan kasus kekerasan seksual tanpa mengetahui etika penulisan berperspektif pada korban.

Merujuk hal itu Forum Jurnalis Perempuan Lampung (FPJL) menggelar diskusi perdana bertajuk peran jurnalis memberitakan kasus pelecehan atau kekerasan seksual secara virtual, Minggu (10/10/2021) malam.

Acara diskusi sekaligus memperkenalkan forum baru dibentuk oleh sembilan jurnalis perempuan Lampung pada 18 September 2021.

1. Ajak jurnalis perempuan gabung FJPL

FJPL: Media Kerap Langgar Kode Etik Jurnalistik Berita Pelecehan SeksualIlustrasi Jurnalis. IDN TImes/Arief Rahmat

Vina Oktavia selaku Ketua FJPL mengatakan, media sering melanggar prinsip-prinsip kode etik jurnalistik dalam peliputan ataupun publikasi berita kasus kekerasan/pelecehan seksual.

"Forum ini kita bentuk sebagai wadah untuk diskusi antar anggota. Selain itu, forum ini juga diharapkan bisa memberi advokasi lebih baik pada jurnalis perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual saat mengerjalan kerja-kerja jurnalistik," kata jurnalis Harian Kompas itu.

Vina berharap, acara diskusi dapat memberikan perspektif yang sama bagi media dalam memberitakan kasus pelecehan atau kekerasan seksual.

"Kami membuka kesempatan sebesar-besarnya untuk jurnalis perempuan dan pers mahasiswa di Lampung bergabung dengan FJPL," ajak Vina.

Baca Juga: Sejarah Jurnalis Investigasi Perempuan pada Pergantian Abad ke-20

2. Jurnalis harus punya empati pada korban

FJPL: Media Kerap Langgar Kode Etik Jurnalistik Berita Pelecehan SeksualIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Diskusi tersebut menghadirkan Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung, Ana Yunita Pratiwi membahas terkait dampak dialami korban jika media tak menulis berdasarkan standar jurnalistik.

Ana mengatakan, seorang jurnalis harus memiliki perspektif dan empati pada korban agar tidak membuat trauma baru ketika kasusnya muncul di publik.

"Dalam pemberitaan, jurnalis seringkali hanya menginisialkan nama korban, tapi tetap menulis alamat rumah maupun identitas keluarganya," ujar Ana

Menurutnya, hal itu membuat korban justru mendapat perudungan dan trauma. Bahkan, ada korban yang diberhentikan dari tempat kerjanya setelah kasus kekerasan seksual yang dialaminya diangkat ke media massa.

Ana menjelaskan, data Komnas Perempuan saat monitoring sembilan media yang memberitakan kasus kekerasan seksual. Hasilnya, pelanggaran paling banyak adalah penggunaan diksi bias, pilihan kata perempuan seperti objek seks, mengungkapkan identitas korban, hingga stigma korban yang menimbulkan kekerasan.

3. Media sering lupa dampak psikologis korban

FJPL: Media Kerap Langgar Kode Etik Jurnalistik Berita Pelecehan Seksualilustrasi pelecehan seksual. IDN Times/ istimewa

Direktur LBH Pers Lampung Chanda Bangkit mengatakan, kasus kekerasan seksual termasuk berita yang menarik perhatian pembaca.

Namun, media sering kali lupa dengan dampak psikologis korban akibat pemberitaan yang berulang-ulang.

"Apalagi, judul artikel yang ditampilkan kerap bombastis dan isi pemberitaan justru menyudutkan korban," kata Bangkit.

4. Pers harus menyuarakan yang tidak mampu bersuara

FJPL: Media Kerap Langgar Kode Etik Jurnalistik Berita Pelecehan SeksualIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Dari segi penulisan yang berpedoman kode etik jurnalistik, Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho menyampaikan, jurnalis harus berpihak pada kebenaran saat meliput kasus kekerasan seksual.

“Bagaimana jurnalis bisa memberitakan kasus kekerasan seksual jika dia tidak memihak kepada penyintas? Ini soal perspektif. Pers harus menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara,” ujarnya.

Menurut dia, media massa di Indonesia dapat mencontoh pemberitaan pelaku kekerasan seksual Reynhard Sinaga oleh media massa di Manchester, Inggris. Di mana media massa nyaris tidak membahas soal korban, melainkan fokus pada tindakan pelaku yang kejam.

Baca Juga: AJI Latih Jurnalis Lampung Keamanan dan Keselamatan Fisik Digital

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya