Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai Jurnalis

Pelaku kejahatan seksual tidak perlu disembunyikan namanya

Bandar Lampung, IDN Times - Kasus kekerasan seksual merupakan salah satu isu paling sensitif di dunia. Hal itu dikarenakan melibatkan gangguan traumatik pada korban atau penyintasnya. Sehingga pemilihan diksi dalam pemberitaan dinilai krusial agar korban tidak menjadi semakin terpojokan.

Project Coordinator Women In News (WIN) for Indonesia, Nita Roshita mengatakan dalam diskusi Literasi dan Advokasi Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Sabtu (16/7/2022) lalu, ada beberapa diksi kekerasan seksual di media belum memenuhi kaidah etika jurnalistik karena bias diksi, framing yang menyalahkan, dan menghakimi korban dengan mencampur adukan fakta dan opini.

Menurut hasil penelitian Yayasan Bakti untuk 21 media di Indonesia Timur, dengan melihat pemberitaan media selama 2015-2019, Nita menyebutkan beberapa diksi bias sehingga jurnalis perlu berhati-hati dalam menulisnya.

1. Pencabulan

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai JurnalisIlustrasi pencabulan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Nita tidak memandang kata “pencabulan” salah untuk diimbuhkan pada berita kasus kekerasan seksual. Namun ia melihat kata pencabulan cenderung memperhalus perilaku tersangka.

“Pencabulan itu berada di bawah kekerasan seksual. Sehingga seolah-olah menunjukan kesopanan begitu sehingga dari kekerasan diganti cabul. Jadi cabul itu lebih kepada seperti meringankan moral si pelaku, padahal kenapa tidak disebut kekerasan seksual saja,” katanya.

Nita mengatakan pemilian diksi pencabulan, kekerasan seksual, dan kejahatan seksual akan memberikan perasaan berbeda pada publik. Seorang pelaku pelecehan dengan banyak korban apalagi korbannya anak-anak misalnya, sudah tidak bisa lagi disebut pencabulan, tapi kejahatan seksual.

“Ya teman-teman jurnalis bisa memilah sendiri, kapan bisa menggunakan disebut kata pelecehan, kekerasan, atau kejahatan seksual,” tambahnya.

2. Menyetubuhi atau ditiduri

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai JurnalisIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Ia melanjutkan, ada bahasa di beberapa media seolah menormalisasi perbuatan pelaku kekerasan seksual. Sehingga membuat korban ini menjadi korban untuk kesekian kalinya.

“Menyutubuhi, digagahi, ditiduri, bahasa-bahasa yang dipilih oleh teman-teman media kadang justru membuat korban merasa terpojok, membuat korban berpikir itu adalah kesalahannya, padahal bukan seperti itu tentu saja tidak,” katanya.

Baca Juga: Mengenal 11 Jenis Kekerasan Seksual Menurut Kemendikbudristek

3. Digilir

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai JurnalisMedia Indonesia

Selain itu, kata digilir, melampiaskan atau melayani nafsu birahi juga bisa mengingatkan korban pada traumanya. Sehingga penulisan kata seperti ini harus dihindari.

“Dalam Women In News, kekerasan seksual itu diartikan sebagai perilaku seksual yang tidak diinginkan, bersifat offensif, melanggar martabat seseorang dan membuat korbannya merasa direndahkan, diintimidasi, atau terancam. Siapa yang menentukan itu? Korbannya. Sehingga kita harus berpihak pada korban,” katanya.

4. Anak ABG

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai JurnalisIlustrasi Remaja Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Lalu, Nita menyampaikan kata anak ABG memiliki konotasi untuk dikaitkan dengan artian anak mudah galau, mudah digoda dan sebagainya. Hal itu juga merupakan salah satu diksi bias dan sering muncul di media.

“Ada juga seperti gadis belia dan gadis polos. Pilihan diksi juga mempengaruhi bagaimana publik mempersepsikan berita yang ada. Jadi di sini kita musti hati-hati,” imbuhnya.

5. Membuat publik bersimpati pada pelaku

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai Jurnalisilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Lalu jurnalis sekaligus aktivis perempuan dengan pengalaman lebih dari 11 tahun ini juga memberikan salah satu contoh berita kasus kekerasan seksual di salah satu SMA di Indonesia. Terlihat salah satu petikan judul berita tersebut menuliskan kalimat ‘pelaku adalah orang sakit yang tidak bahagia’.

“Judul seperti ini seolah-olah menggiring publik untuk bersimpati pada pelaku. Apakah semua orang yang tidak bahagia berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual? Kan gak. Lalu ada juga seperti ‘pelaku ini orang baik’. seolah-olah tidak mempercayai orang baik bisa melakukan kekerasan seksual kepada siswanya sendiri. Bukan itu yang seharusnya kita munculkan dalam sebuah berita,” jelasnya.

Ia mengatakan, jurnalis harus pandai mengambil angle berita, jangan sampai tulisan yang dibuat malah menggiring opini publik untuk menduga-duga dan berprasangka.

6. Membuat inisial nama pada pelaku

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai Jurnaliskabardamai.id

Ia juga menyampaikan untuk kasus seperti kekerasan seksual pada kasus SMA di Malang, tidak perlu memakai inisial pada pelakunya dan langsung saja menyebutkan nama pelaku secara jelas.

Sebaliknya, terkait informasi korban justru harus ditutupi. Meski jurnalis mendapatkan informasinya dari kepolisian atau nara sumber, dalam kode etik jurnalis tetap tidak memperkenankan memberitahukan hal berkaitan dengan korban termasuk sekolah atau tempat kerja.

“Sudah benar tidak menginformasikan alamat, tapi ini sekolahnya diberitahukan, tempat kerjanya, atau tetangganya diwawancarai. Sudah jelas-jelas ini sama saja membocorkan identitas pelaku,” katanya.

Lebih lanjut, ia memberikan sebuah berita kasus penembakan polisi baru-baru ini. Dari berita itu, beberapa media memajang jelas foto korban pelecehan seksual. Nita memandang hal ini dapat membuat korban merasa terpojokan dan trauma untuk kesekian kalinya.

“Mengambil gambar dari media sosial korban pelecehan seksual, misalnya foto sekolah, dan lain-lain itu dapat membuat korban merasa takut bahwa identitasnya akan terbongkar. Hal ini juga yang menjadi penyebab korban sungkan untuk melapor kasus kekerasan seksual,” ujarnya.

7. Menulis detail kronologi

Diksi Bias Kasus Kekerasan Seksual Ini Sebaiknya Tak Dipakai JurnalisTangkapan layar Nita Roshita, Project Coordinator Women In News for Indonesia dalam diskusi zoom meeting. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Terakhir adalah menulis detail kronologi. Dalam hal ini, Nita mengatakan dalam berita tidak perlu dijelaskan bagaimana detail kronologi kekerasan atau pelecehan seksual yang sedang terjadi.

“Misalnya seperti meremas organ intim, menggagahi, menyutubuhi. Apalagi sampai dituliskan sebagai judul berita,” katanya.

Hal seperti ini menjadi sorotan penting bagi Nita terhadap kasus kekerasan seksual. Karena korban akan merasa terintimidasi, tidak percaya lagi pada hukum, dan tidak percaya pada ketidakadilan korban.

“Kita (WIN) sebenarnya punya yang namanya Gender Bias Trecker. Jadi misalnya ada berita dan kalimat bias di dalamnya, ketika kita masukan artikel itu dalam tools ini, maka akan keliatan kata-kata atau diksi mana yang bias. Namun sayangnya masih dalam bahasa Inggris. Nah saat ini kita sedang mengupayakan juga agar bisa menggunakan bahasa Indonesia dan dipakai oleh teman-teman,” katanyanya.

Baca Juga: FJPI Soroti Marak Podcast Bongkar Identitas Korban Kekerasan Seksual

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya