Walhi Lampung: Pemkot Tak Serius Tangani Sampah dan Alih Fungsi Bukit

Potret lingkungan kontras dengan Adipura pernah diraih

Bandar Lampung, IDN Times - Walhi Lampung bersama kelompok pemuda memiliki perhatian terhadap permasalahan lingkungan melakukan aksi di Taman Bung Karno. Itu sebagai respons pelaksanaan COP-26 dan juga pengingat kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung terkait situasi ekologis kota yang cukup parah.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, aksi yang digelar merupakan bentuk perlawanan atas ketidaktegasan para pemangku kebijakan dan menuntut keadilan iklim untuk antar generasi. Menurutnya, generasi yang akan datang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. 

“Kita tidak lagi punya kesempatan untuk menentukan langkah yang dapat dilakukan secara politik ataupun tidak, tetapi siapapun yang hidup hari ini punya tanggung jawab untuk generasi yang akan datang. Mari bergerak bersama melawan krisis iklim yang sedang melanda dunia saat ini,” tukasnya dalam keterangan resmi, Minggu (7/11/2021).

1. Pemkot belum ada langkah serius atasi penanganan sampah

Walhi Lampung: Pemkot Tak Serius Tangani Sampah dan Alih Fungsi BukitIlustrasi Sampah (Dok. KPNas)

Irfan menyoroti belum ada langkah serius serta komitmen oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup. Contohnya, penanganan sampah.

“Skema open dumping masih dipertahankan biarpun TPA Bakung telah overcapacity serta semangat awal yang tidak dilandasi konsistensi untuk mengelola sampah pada setiap kecamatan melalui bank sampah,” ujarnya.

Menurut Irfan pengolahan sampah di Bandar Lampung sejatinya cukup solutif pada skala kecamatan. Tapi itu pun terbengkalai dengan sejumlah bangunan serta peralatan yang tidak beroperasi di tiga bank sampah yang ada Kota Bandar Lampung.

Baca Juga: Walhi Soroti Reklamasi Restoran Tanpa Izin di Pesisir Bandar Lampung 

2. Alih fungsi bukit jadi pertambangan picu bencana ekologis

Walhi Lampung: Pemkot Tak Serius Tangani Sampah dan Alih Fungsi BukitIlustrasi pertambangan (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Kondisi lainnya adalah alih fungsi bukit menjadi pertambangan dan lokasi wisata akhirnya menimbulkan bencana ekologis seperti longsor atau banjir.

Tidak tegasnya langkah yang ditempuh akan berdampak besar pada jaminan atas kehidupan yang bersih, sehat dan berkelanjutan pada generasi yang akan datang. Hal tersebut tercermin pula pada situasi di Kota Bandar Lampung saat ini.

Irfan juga mengingatkan kepada warga untuk dapat mengawal proses revisi Perda RTRW Kota Bandar Lampung. “Jangan sampai revisi Perda tersebut bukan menjadikan kota Bandar Lampung sebagai kota yang berkelanjutan, namun justru semakin memperparah krisis ekologis dan berdampak munculnya bencana-bencana ekologis ditengah situasi krisis iklim di Kota Bandar Lampung,” tegasnya.

3. Potret lingkungan kontras dengan raihan Adipura

Walhi Lampung: Pemkot Tak Serius Tangani Sampah dan Alih Fungsi BukitTugu Adipura Kota Bandar Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Irfan menjelaslkan, potret lingkungan hidup yang terjadi saat ini kontras dengan penghargaan Adipura yang pernah diraih. Bahkan, 2018 lalu Kota Bandar Lampung ditetapkan dengan predikat kota terkotor.

“Hal ini tentu sangat memalukan, dan harus menjadi evaluasi besar bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung agar segera  meninjau kembali kebijakan dan melaksanakan dengan serius. Karena penanganan sampah yang tidak benar akan menimbulkan bencana ekologis serta memberikan kontribusi besar pada krisis iklim.

4. Aksi Walhi buntut gelaran COP-26

Walhi Lampung: Pemkot Tak Serius Tangani Sampah dan Alih Fungsi BukitWalhi Lampung bersama kelompok pemuda memiliki perhatian terhadap permasalahan lingkungan melakukan aksi, Sabtu (6/11/2021). (IDN Times/Istimewa).

Aksi yang digelar respons pelaksanaan Conferene of Party  COP-26 ini dilakukan serentak bersama 27 Eksekutif Daerah Walhi se-Indonesia. Irfan mengatakan, pertemuan seluruh kepala negara di dunia pada perhelatan tahunan United Framework Climate Change Conference (UNFCCC)/ COP ke-26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia terkait pembahasan iklim.

Ia mengatakan, pertemuan itu diharapkan dapat menghasilkan komitmen bersama dalam  menyelesaikan “Paris Rulebook” atau aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris. Namun hampir satu minggu pertemuan ini berlangsung, belum terlihat arah pemenuhan target pada Perjanjian Paris agar kenaikan suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,50  Celcius.

“Kita dapat melihat ketidakseriusan pengurus negara untuk menekan laju perubahan iklim dengan dipersempitnya ruang berpendapat untuk masyarakat sipil. Padahal pertemuan ini bukanlah suatu momentum bertemunya pengurus negara dengan korporasi untuk membahas solusi palsu, melainkan tanggungjawab generasi hari ini untuk memformulasikan langkah demi nasib bumi di masa depan,” papar Irfan.

“Pertemuan yang seharusnya dihadiri juga partisipan dari berbagai elemen seperti kelompok muda, masyarakat adat, aktivis lingkungan dan lainnya tersebut juga mengalami keterbatasan untuk mengikuti acara,” tegasnya.

Baca Juga: Walhi Lampung dan LBH Desak Pengungkapan Kasus Pencemaran Limbah Aspal

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya