Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming Hidroponik

Belajar otodidak, lihat peluang, rengkuh kesuksesan

Bandar Lampung, IDN Times - YouTubers, TikTokers, Selebgram maupun creator content lainnya menjadi cita-cita mayoritas millennials dan Gen-Z saat ini yang berdomisili di kota besar Indonesia. Bahkan, para lulusan sarjana pun saat ini masih ada yang berpikir ingin bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan BUMN/swasta. Opsi lainnya menjadi wirausahawan menekuni start up misalnya.

Tapi motivasi berbeda dipilih sejumlah millennials Tanah Air. Mereka memilih ‘jalan ninja’ sebagai petani. Jalan mereka pilih pun bukan sekadar menjadi petani konvensional menanam padi di sawah, singkong atau buah-buahan di kebun.

Para anak muda ini berinovasi menjadi petani hidroponik. Pertanian hidroponik dilirik lantaran tak membutuhkan lahan luas dan media tanah yang seringkali membuat orang enggan untuk bertani. Pertanian ini dapat dilakukan di area rumah.

Melalui artikel kolaborasi ini, IDN Times rangkum berbagai cerita menarik para petani millennials. Para petani ini menyampaikan berbagai cerita menarik seperti motivasi awal, teknik budidaya, pemasaran, hingga tips.

1. Atap rumah untuk jemur pakaian ‘disulap’ jadi lahan hidroponik

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikSetiaji Bintang Pamungkas saat memeriksa hama pada tanaman hidroponik miliknya. (IDN Times/Silviana)

Setiaji Bintang Pamungkas, petani hidroponik dari Bandar Lampung menuturkan, memanfaatkan pekarangan atap rumah yang digunakan untuk menjemur pakaian untuk menekuni budidaya tanaman hidroponik. Ia pertama kali mengenal hidroponik belajar dari temannya yang sudah terlebih dahulu menekuni budidaya tersebut. Melihat peluang yang cukup besar akhirnya Aji memberanikan diri untuk mengeluarkan modal demi memulai bisnis hidpronik ini.

Dia langsung memesan kerangka media tanam sebanyak tiga meja. Waktu itu menghabiskan biaya sekitar Rp3,5 juta sudah termasuk tanaman dan perlengkapan untuk menanamnya.

Tiga meja tersebut langsung diisi dengan tanaman pakcoy dan kangkung. Hasilnya menggembirakan. Dia bisa memasak sayuran dari hasil budidaya hidroponik dari hasil panennya sekaligus bisa dibagikan ke tetangga sekitar.

Namun pada periode kedua menanam, hasilnya tak sesuai ekspektasi. Pasalnya, hanya satu meja saja yang berhasil, sedangkan dua meja lainnya habis terkena hama.

Menurutnya permasalahan hama tersebut memang tak bisa disepelekan. “Kalau hama yang nempel di daun itu bisa dilap pakai tangan, tapi kalau ulet itu dia ngabisin daun dan kalau banyak, juga jadinya menghambat pertumbuhan,” jelas alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung (Unila) ini.

Saat ini sayuran hidroponik yang ditanam Aji tidak hanya pakcoy saja. Sudah ada selada, sawi pagoda, dan kailan. Proses penanaman sampai menunggu hasil panen sekitar satu bulan, tapi biasanya dalam waktu tiga minggu sudah bisa dipanen.

“Panennya sebulan sekali tapi usia tiga minggu juga udah bisa di panen karena biasanya ada yang nyari baby pakcoy, baby pagoda gitu,” ujar suami dari Inggrid Putri Surahman ini.

Petani hidroponik lainnya adalah I Ketut Kama Jaya dari Bandar Lampung. Ia tertarik pertanian hidroponik saat mengikuti kunjungan dari kampusnya ke Lembang Bandung dan melihat budidaya pertanian modern ini. Kunjungan itu mematik asanya ingin memiliki kebun hidroponik sendiri. Bersama sang istri yang juga mahasiswa pertanian, pada 2013 usai mengikuti magang di Bogor Ketut langsung mencobanya.

“Waktu magang kan cuma diajarin nanem, merawat sama panen, gak diajarin cara instalasi, cara pemasangannya gimana, jadi saya sama istri belajar otodidak. Kita belajar konsepnya aja, kan konsepnya air harus mengalir ada takarannya itu yang kita pelajari sendiri sih,” jelas Ketut.

Awal percobaannya bertani hidroponik, Ketut mencoba 20 lubang terlebih dahulu. Dia ingin membuktikan apakah tanaman hidroponik ini cocok diterapkan di Lampung. Mengingat pada saat itu masih belum banyak yang menggunakan metode modern tersebut.

Dari 20 lubang tersebut Ketut mengaku tanamannya berhasil, sehingga dia semakin memperluas lahan dan memperbanyak lubang tanam hingga saat ini sudah ada 20.000 lubang dengan variasi 19 tanaman jenis selada dan sawi.

“Kita coba dulu dengan bahan-bahan dari magang dulu saya bawa pulang ke Lampung. Pertama hasilnya bagus. Kita coba terus ampai kita cari titik kesalahannya dimana,” ujarnya.

2. Lahan terbatas bukan penghalang tekuni pertanian

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikDok.IDN Times/ Gede Setiawan

Lahan yang terbatas, millennials dituntut untuk lebih kreatif saat menekuni urban farming ini. Hal itu dilakukan millennials asal Kabupaten Klungkung, I Gede Setiawan (26). Pria akrab disapa Yande ini menekuni urban farming sejak awal Maret 2020.

Ia membudidayakan sayuran organik memanfaatkan lahan di teras rumah seluas 4×5 meter sebagai media cocok tanam. "Saat itu saya berpikir untuk bertani sayuran organik, tujuannya memang untuk menambah penghasilan karena kondisi pandemik. Saya sudah berpikir bahwa pandemik ini akan berlangsung lama dan dampaknya sangat luas," ungkap Gede Setiawan, Jumat (11/6/2021).

Awalnya Yande mengaku ragu untuk merintis pertanian organik ini. Terlebih dirinya justru berlatar belakang sebagai mahasiswa seni, yang sangat awam dengan berbagai hal tentang pertanian. Namun ia bertekad untuk belajar dan ingin mencoba merintis pertanian organik.

Selain mencari informasi di internet, Yande juga aktif bertanya dengan teman-temannya yang sudah berpengalaman di bidang pertanian. "Saat itu pikiran untuk gagal nomor sekian lah, yang penting mau mencoba. Saya cari literatur di internet, dan mencobanya," ungkapnya.

Yande mengatakan, modal awal yang ia perlukan untuk mengembangkan sayuran organik adalah Rp100 ribu. Ia mengawali dengan membeli beberapa polybag dan bibit sayuran. Ia menanam bayam, selada, kangkung, dan pakcoy (sawi sendok).

Cerita lainnya disampaikan Juliarta Darma Suganda (25). Sarjana Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mulai tertarik dengan dunia pertanian ketika melihat kondisi di tempat tinggalnya, Plandaan, Jombang.

"Aku melihat potensi di desaku, banyak lahan 'tegalan' sudah bertahun-tahun tidak dimanfaatkan. Karena tanahnya tidak produktif tapi sebenarnya masih bisa ditanemin," ujar Ganda.

Tak menunggu waktu lama, Ganda akhirnya mendapatkan ide untuk menanami lahan "nganggur" itu dengan porang. Menurut dia, tanaman ini tidak membutuhkan tanah yang terlalu gembur maupun pupuk yang banyak.

Meski perawatan porang cukup mudah dan relatif murah, tapi Ganda menemukan fakta kalau benihnya mahal. Dia pun mencoba mengajak teman-temannya yang punya passion sama di sektor pertanian untuk budidaya porang. Gayung bersambut, teman-temannya itu pun mau.

"Mulai bibit (benih) hingga sewa lahan kan mahal. Aku kan gak punya tegalan juga. Aku ngajak teman, dijadikanlah tim dengan nama Porang Plandaan, ada lima orang di dalamnya," ucap dia.

Bersama Tim Porang Plandaan ini, Ganda segera menyewa lahan di dekat tanah milik saudaranya. Kemudian membeli sebanyak 15 ribu benih. Mulailah, benih yang dibeli itu disemai secara mandiri. Dari 15 ribu yang disemai, hanya 10 ribu bibit yang ditanam. Sedangkan 5 ribu bibit lainnya dijual.

Saat ini, Ganda masih menunggu panen porangnya. Dia memprediksi akan memanen 10 ton porang pada pertengahan 2022. Rencananya akan dijual dalam bentuk umbi dulu, dengan kisaran harga Rp8 ribu per kilogramnya. Selain porang, dia akan membuat green house dengan menggandeng karang taruna setempat.

"Rencananya bulan depan bikin green house, gerakan menanam dan memanfaatkan lahan sekitar untuk pertanian ini akan menggandeng kartar," ujarnya.

Baca Juga: Tanam Sayuran Hidroponik, Inspirasi Millennial Berkebun Saat Pandemik

3. Dulu dicibir kini disanjung

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikAris Budianto petani jamur tiram asal Lamongan. IDN Times/Imron

Usaha budidaya jamur tiram yang digeluti Aris Budianto (32) memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi saat memulai usahanya itu, Aris tidak mempunyai keahlian khusus dalam mengelola usaha. Semua ia perolehan secara otodidak.

Tak ayal, banyak teman dan juga keluarga Aris kerap mencibir bahkan menertawakannya. Tak sedikit pula dari mereka juga berkata bahwa usaha yang dijalani Aris bakal gagal total.

"Ya dulu awalnya banyak yang tidak suka dengan usaha yang saya jalani ini, katanya jamur itu beracun kenapa dibudidayakan hingga sampai akhirnya saya ditertawakan," kata lulusan S1 Teknik Industri ini, Jumat (11/6/2021).

Aris waktu itu memaklumi cibiran orang lain karena usaha budidaya jamur tiram tidak begitu familiar ditelinga masyarakat Desa Centini, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan yang umumnya berprofesi sebagai petani padi. Jadi wajar saja usaha yang Aris rintis ditertawakan orang.

Setelah melihat tata cara budidaya jamur di Pondok Pesantren Langitan, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban pada 2014, Aris mencoba mempraktekkan sendiri ilmu yang ia perolehan. Namun lagi-lagi percobaannya itu gagal. Hingga pada tahun 2015 ia memberanikan diri untuk menekuni budidaya jamur tiram.

"Saya coba terus sampai 3 bulan lamanya dan akhirnya berhasil dan mencoba memproduksi beglog jamur dan menghasilkan panen jamur yang banyak," jelasnya.

Lambat laun Aris mampu menunjukkan kepada orang yang mencibirnya bahwa usaha yang ia rintis tersebut bisa berkembang. Hingga akhirnya omzet dari hasil penjualan jamur tiram untuk sekali panen Aris bisa memperoleh keuntungan Rp25 juta rupiah.

"Namun sekarang sudah tidak lagi (mencibir), justru banyak orang yang menyanjung dan saya sendiri berharap dengan usaha yang saya bangun ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat," harapnya.

"Untuk pemasaran jamur tiram sendiri kita menjualnya melalui online dan secara manual. Biasanya warga sekitar Babat, Lamongan datang langsung ke rumah untuk membeli jamurnya dan produk saya juga tidak dikemas dalam bentuk rapi hanya cukup bermodalkan plastik bening dan jamur kita jual dalam kemasan 1,5 kilo sampai 1 kilo," imbuhnya.

4. Menimba ilmu hingga ke Jerman, pulang jadi petani

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikIrfan Rahardian, Millennials Pembisnis Kopi Asal Kota Bandung (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Memiliki latar belakang pendidikan pertanian, mengantar Irfan Rahardian memiliki bisnis kopi dari hulu sampai hilir. Ia memiliki pertanian kopi hingga sebuah coffee shop untuk memasarkan kopi yang Ia tanam di lahan sendiri.

Pria kelahiran 30 Januari 1990 ini terjun ke dalam dunia kopi semasa dirinya lulus dari bangku kuliah. Ia mengambil Jurusan Pertanian Unpad untuk S1, kemudian Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Gottingen University di Jerman untuk strata duanya.

Seiring berjalannya waktu, pada 2010 lalu ia pulang dari Jerman dan langsung membuat kelompok tani. Dari sini kemudian lahirlah Kiwari Farmer yang mengajak beberapa anak muda untuk mengembangkan lahan di lereng Gunung Manglayang, kopi jenis arabica pun ditanam. Hingga saat ini, ada puluhan hektare lahan yang dikelola Kiwari Farmer ini.

"Kami membangun pertanian kopi secara berkelanjutan. Artinya kami pupuk, juga mengelola sendiri tanpa bahan kimia. Selain itu, di lingkungan pertanian kami juga tanami produk pertanian lainnya," katanya.

Setelah membangun pertaniannya, Irfan tidak hanya menjual produk hasil panen pada konsumen lokal. Dengan mengandalkan koneksinya di Jerman, Irfan sesekali mengekspor hasil panennya ke negara-negara Eropa.

"Untuk pasar Eropa kami memang tidak begitu main di situ, meski kami ada di marketplace internasional seperti E-bay. Kebanyakan (pasarnya) lokal," ujarnya.

Selain menjual produk biji kopi, Irfan juga membangun produk jadi dari kopi yang ia tanam. Hal ini ia buktikan dengan membuka coffe shop atau kedai kopi dengan nama Kopi Kiwari. Tidak berhenti di situ, ia juga membuka restoran di sana bernama Bumi Kiwari.

"Jadi inilah yang disebutkan dari hulu ke hilir. Kebanyakan para petani hanya berhenti di hulunya saja, padahal hilir juga penting untuk dieksplorasi," kata Irfan.

5. Tanpa latar belakang ilmu pertanian, belajar otodidak di YouTube

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikMuhammad Nur Al Fauzan menunjukkan tanaman selada hasil kebun miliknya di Samata Green House, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Latar belakang pendidikan yang berbeda tidak membuat minat Muhammad Nur Al Fauzan (23), mempelajari metode hidroponik luntur. Dia belajar metode hidroponik dari YouTube secara otodidak, termasuk cara membangun green house miliknya, meskipun tetap dibantu oleh teman-temannya.

Ocang menghabiskan waktu hampir 2 pekan untuk belajar. Selama masa itu, dia mempelajari teori hidroponik. Setelah paham, barulah dia berani mencoba tapi setelah belajar langsung dari seorang ahli pertanian di Universitas Hasanuddin.

"Setelah saya pahami semua, saya pikir sepertinya tidak lengkap kalau tidak langsung bertanya kepada ahlinya. Satu hari saya belajar di situ. Karena saya sudah paham teorinya tinggal penjelasan secara langsungnya," kata Ocang.

Untuk modal awal membangun kebun, Ocang rela menjual motor kesayangannya. Hasil penjualan sepeda motor itu ditambahkan juga dengan uang tabungannya selama ini.

"Modal awal sekitaran 25 juta ukuran 8 x 11. Sama instalasinya itu semua. bibit pupuk. Tapi kan kalau kita di hidroponik bukan pupuk tapi nutrisi," katanya lagi.

Lokasi tanaman hidroponik dikelolanya bernama Samata Green House (SGH) berlokasi di Jalan Karaeng Makkawari Ujung, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasinya tak jauh dari Jalan Letjen Hertasning, Kota Makassar. Permintaan selada dari Samata Green House semakin meningkat. Bahkan tak sedikit permintaan dari beberapa restoran makanan Korea yang juga tengah menjamur di Makassar.

Meski begitu, bukan berarti dia tak pernah merugi. Kerugian pernah dialaminya saat terjadi badai angin dan hujan yang mengakibatkan hampir seluruh tanaman seladanya rusak. Atap ruangan hidroponiknya terangkat dan pipa-pipa air bengkok.

Dampak dari badai itu baru terlihat sepekan setelahnya. Tanaman selada sekebun rusak akibat terkena air hujan. Tanaman hidroponik memang tidak boleh terkena air hujan langsung jika tak ingin rusak.

"Jadi dibuang semua sekitar 125 kilo yang kalau dirupiahkan sekitar Rp4,5 juta. Mau diapa, tidak bisa juga dijual ke orang karena teksturnya sudah rusak. Namanya bencana alam, kita tidak tahu," katanya.

Belajar otodidak bercocok tanam secara daring juga dilakukan Arina Molitha (39). Warga Kota Semarang ini mulai belanja perlengkapan berkebun di marketplace hingga belajar menanam lewat YouTube semua dilakukan secara daring.

’’Saya ini petani YouTube. Bahkan, saking milenialnya pertama kali menanam saya lakukan di balkon depan kamar biar mudah memantau pertumbuhan bibit, kan males kita anak mager seneng rebahan,’’ tutur ibu tiga anak ini

Arina mengatakan, bermodal peralatan bercocok tanam secara hidroponik, ia menanam sayuran seperti kangkung, pokcoy, sawi dan bayam. Karena sudah niat dan dilakukan dengan hati kegiatan urban farming ini membuat perempuan kelahiran Magelang ini makin jatuh cinta. Selama bulan Maret sampai Oktober, Arina bisa berkali-kali panen sayuran. Hasil panen itu dibagi-bagikan ke saudara dan tetangga. Sebagai milenial pun ia tak lupa mengunggah keseruan aktivitas berkebun itu ke media sosial.

‘’Kok lama-lama seru juga ya berhasil dan bisa panen sayur sendiri. Kesenangan itu saya posting di media sosial juga, ternyata dampaknya luar biasa. Teman-teman saya jadi pengen belajar bercocok tanam. Okelah, akhirnya saya ajari mereka lewat WhatsApp melalui grup Mari Belajar Berkebun. Saya pun juga terus belajar dengan mengikuti pelatihan secara daring dari yang gratis sampai berbayar,’’ katanya.

 

Baca Juga: Cerita Samuel, Peluang Bisnis Hidroponik Green House di Masa Pandemik

6. Hasil panen dibagikan gratis ke warga

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Menanam sayuran di rumah apalagi saat pandemik tujuannya  menjaga ketahanan pangan dan menerapkan gaya hidup sehat, disamping itu manfaat lain adalah bisa lebih berhemat. Hal tersebut disampaikan Arina Molitha.

‘’Sebab, kalau beli sayur organik di supermarket lumayan harganya bisa sampai 15.000 per ikat. Kalau menanam sendiri untuk selada kita hanya butuh modal 600 sampai seribu . Lebih murah dan jelas sehat, karena sayurannya kita rawat sendiri,’’ tuturnya.

Aktivitas urban farming yang dijalani Arina selama pandemik itu pun telah merambah menjadi ladang bisnis. Sebab, hasil panen sayuran dari kebunnya bisa dijual dan dia juga kerap diundang untuk berbagi ilmu tentang bercocok tanam. Bahkan, dalam dua bulan belakangan perempuan yang mempunyai studio yoga ini membuka usaha katering makanan sehat yang bahannya berasal dari kebun sayurnya.

"Hasil panen sayur itu awalnya tidak niat saya jual. Bagi yang mau, silakan ambil for free. Namun, teman-teman yang biasa yoga disini ini setelah ambil sayur malah bayar transfer ke rekening saya. Namun, saya tidak berupaya untuk memasarkan hasil panen, tapi jualannya dari edukasi bagi mereka yang ingin belajar bercocok tanam saya jual starter kit menanam bayam, kangkung, sawi dan lainnya. Mereka bisa beli seharga 100 ribu per paket," katanya.

Hal berbeda dilakukan Rizki ladang sayuran hidroponik pekarangan rumahnya di RW 03, Kelurahan Pakulonan Barat, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang dimanfaatkan untuk membantu masyarakat. Ia menilai, pandemik COVID-19, semakin banyak orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk makanan.

Rizki mengatakan, jika sayuran hidroponiknya sudah waktunya panen, maka akan dibagikan kepada warga sekitar, terutama yang membutuhkan secara cuma-cuma alias gratis. "Tapi kalau ada warga yang mau beli secara sukarela kita terima karena untuk beli bibit dan kebutuhan tanaman hidroponiknya," jelasnya.

Sekali panen, lanjut Rizki, dirinya bisa mengumpulkan 10 kilogram sayuran karena terdapat 320 lubang tanam. "Kalau Lele bisa sampai 50 kilogram," bebernya.

Ia berharap,  budidaya hidroponik tersebut tidak hanya berada di pekarangan rumahnya, namun juga menyebar ke lingkungan lain. Makanya saya selalu libatkan anak muda supaya kalau sudah punya kemampuan berkebun hidroponik dan budidaya lele maka harapannya bisa jadi mandiri dan membuat di tempat lain," tuturnya.

7. Terlihat mudah, ternyata butuh ketelatenan lho

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikSaat ini bercocok tanam secara hidroponik makin digandrungi masyarakat perkotaan yang memiliki lahan terbatas. Namun tak hanya sekadar bercocok tanam, sejumlah orang menjadikannya peluang bisnis baru. (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Dilihat sekilas, cara menanam tanaman hidroponik memang terlihat mudah. Kamu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan tak perlu mengotori tangan dengan tanah. Namun menurut pengalaman Setiaji Bintang Pamungkas selama kurang lebih satu tahun mengolah lahan hidroponiknya, butuh ketelatenan dan disiplin untuk bisa menghasilkan tanaman yang bagus dan layak dipasarkan.

Menurutnya, dalam satu hari tanaman hidroponik harus diperiksa dua kali yaitu pagi dan malam hari. Kemudian kadar air juga harus selalu diperhatikan minimal dua hari sekali supaya tanaman tidak kering.

Itu karena, di dalam air tersebut terdapat nutrisi untuk mempercepat pertumbuhan. Sehingga jika nutrisinya kurang maka daunnya akan mudah kering dan jika nutrisinya kelebihan tanaman akan terbakar.

“Untuk pakcoy nutrisinya 1000-1200 ppm. Jadi ppm itu kadar kepekatan dari nutrisi itu. Jadi kita cek nutrisinya itu pake alat namanya pds supaya nutrisinya tetap terjaga,” papar bapak satu anak ini.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumatera Selatan membagikan tiga tips yang harus dilakukan petani muda sebelum menggeluti bidang pertanian secara serius.

Pertama, harus memastikan apa yang ditanamnya merupakan bibit dengan kualitas baik. Kedua, proses perawatannya juga harus baik.  Ketiga yang tak kalah penting adalah pasca panen.

"Biasanya kendala petani muda itu di pasar akhir penjualan, hasil pertaniannya gak tahu mau dilarikan ke mana. Makanya banyak hasil dibeli murah oleh tengkulak. Ini yang harus dipikirkan sebelum memulai semuanya," ujar Syahrin.

Tips lainnya disampaikan Samuel WU petani millennial asal Sumatera Utara. Untuk proses penanaman hidroponik ini, ada beberapa tahap yang diperhatikan. Pertama pembibitan yang disemai, lalu dimasukan ke wadah yang basah. Setelah 10 hari, akan muncul kecambah.

"Selanjutnya, dipindah ke wadah peremajaan selama 10 hari. Kemudian, dipindah ke dewasa 10 hari. Jadi setiap 10 hari sekali sudah dipanen dan ini semuanya gak kelihatan tempat penampungan airnya. Karena sumber airnya satu dan diatur suhunya," ujarnya.

Samuel menyebut, ada beberapa kelebihan bercocok tanam hidroponik jika dibanding dengan media tanam di tanah. "Tapi kalau di sini, kita menggunakan busa yang di mana tidak mengandung unsur hara, sehingga kita gak perlu repot untuk melakukan test lab. Kalau di sini semua bisa kita ukur semua," katanya.

"Sebenarnya yang paling masalah itu, kalau di tanah itu untuk menghindari hama disemprot pestisida. Dengan ini, kita tidak pakai pestisida sama sekali. Kita mendesain agar terhindar dari hama, jadi lebih aman. Di sini hanya menggunakan nutrisi saja," tambahnya.

Meski demikian, Samuel juga menyadari ada kendala dalam menetralkan suhu dan mengontrol air. "Kemudian karena ini di kota, suhunya panas berbeda jika di pegunungan," katanya.

Ari Pangalis petani hidroponik asal Samarinda, Kalimantan Timur menerangkan, hidroponik hanya bermodalkan bibit, pipa, air dan serat mineral ringan. Sebelum memasukkan tanaman ke dalam pipa, lebih dahulu di bibit di tempat terpisah.

Setelah tumbuh daun barulah di pindah ke pipa. Di dalam pipa ini juga ada rockwool. “Serat ringan inilah yang menjadi media tanam bagi para pencinta hidroponik,” paparnya.

Lebih lanjut dia menerangkan, nantinya pipa ini dimasukkan air dan diberikan pompa seperti akuarium. Airnya akan berputar sendiri. Dan ingat untuk menjaga tingkat keasaman air. Tak boleh lebih dari 6,7. Jika lebih tanaman tak bagus tumbuhannya.

"Selama ini jadi kendala adalah hujan, karena bisa mengubah tingkat keasaman air. Naik atau turun. Itu risiko kalau meletakan hidroponik di halaman rumah," sebutnya.

8. Kerja keras tak mengkhianati hasil, raup omzet jutaan rupiah

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikSamuel Wu (37) seorang petani yang menekuni bercocok tanam hidroponik di tengah pandemik COVID-19 di Medan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Ari Pangalis petani asal Samarinda selama lima tahun menekuni hidroponik, metode tanam ini memberikan untung. Hanya dengan bibit Rp28 ribu, dirinya bisa mendapatkan jutaan rupiah dalam sebulan. Maklum saja yang memesan tanaman hidroponiknya dari kalangan hotel dan café.

Alumnus STMIK Widya Cipta Dharma Samarinda saat ini sedang mengembangkan selada dan daun min. Ke depan dia juga bakal menanam tanaman rosemary dan basil atau selasih. Kedua jenis tanaman herbal ini banyak peminatnya.

Setali tiga uang, saat ini, hasil panen dari green house yang dikelola Samuel Wu asal Sumatera Utara diminati ritel dan kafe. Namun, ia belum menjual lewat media sosial karena permintaan untuk pelanggannya masih kurang. Bahkan jika para peminat kekurangan sayur hidroponik, ia meminta petani yang tergabung dalam komunitas untuk menutupi.

"Kita biasanya men-suply sayur ini ke kafe yang sesuai segmentasi, biasanya kafe yang menyediakan sayur-sayur hidroponik. Untuk saat ini belum ada jualan via digital. Saat ini kita bantu reseller kita dulu," ucapnya.

Menurut Aji asal Bandar Lampung, dari awal penanaman hidroponik ini makin lama peminatnya makin banyak. Omzet dari memanfaatkan lahan kosong di atap rumah tersebut mencapai Rp1,5 juta per bulan untuk tiga meja tanaman. 

Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit sekitar Rp30 ribu sampai Rp50 ribu dan itu bisa digunakan lebih dari satu kali tanam. Harga sayuran mulai Rp8 ribu sampai Rp10 ribu per gram tergantung jenis sayurannya.

Pada 2014 awal, setelah percobaannya berhasil, Ketut petani dari Bandar Lampung mulai memasarkan hasil pertaniannya. Saat ini dia sudah bekerja sama dengan beberapa hotel, restoran dan supermarket di Lampung.

Meski sudah mendapat kerja sama dengan hotel maupun supermarket, menurutnya untuk mendapatkan pasaran dari masyarakat masih cukup sulit karena sayuran hidroponik ini masih belum dikenal oleh masyarakat.

Terkait omzetnya, sudah mencapai puluhan juta per bulannya. Namun pada masa pandemik ini ia mengaku penjualannya menurun hingga 60 persen.

Pendapat lainnya disampaikan Muhammad Supardi (34) asal Tanah Grogot Kabupaten Paser Kalimantan Timur (Kaltim) 1 mengatakan, petani masih sulit pasarkan hasil panen. Itu lantaran Indonesia tidak memiliki sistem pasar yang baik bagi para petani. Permasalahan ini sering ia sampaikan langsung pada instansi di tingkat kabupaten, provinsi hingga kementerian pusat.

Lain cerita di luar negeri, di mana kebijakan negara sangat berpihak demi kepentingan para petani. Petani di sana hanya fokus bagaimana bertani dengan baik tanpa harus terbebani tentang memasarkan hasil produksi pertanian.

"Sementara di luar negeri sistem pasarnya jelas. Petani tinggal berproduksi. Ada yang memasarkan. Ada banyak nilai tambah bagi petani," ungkapnya.

I Gede Setiawan (26), petani asal Bali menerangkan, pasca panen, tantangan yang dihadapi adalah pemasaran. "Setelah panen, tentu tantangannya pemasaran. Beruntung saya ada warung, jadi awalnya saya jual di rumah dulu," ungkapnya.

Lalu ia perlahan memasarkan produknya secara daring melalui media sosial. Perlu waktu beberapa bulan hingga akhirnya produk sayurannya mulai dikenal masyarakat.

Menurut Yande sapaan akrabnya, khususnya di Klungkung, pasar sayuran organik saat ini masih terbatas. Harga sayur pakcoy organik bisa mencapai Rp4.000 sampai Rp5.000 per bungkusnya.

"Sebenarnya pasarnya bagus, permintaanya lumayan walau tidak bisa dibilang banyak. Tapi sampai saat ini saya sendiri masih kecil-kecilan menekuni usaha ini," katanya.

9. Jadi petani juga bisa sejahtera

Cerita Millennials Pilih Jalan Ninja Tekuni Urban Farming HidroponikArina Molitha berbagi hasil panen sayur hidroponik kepada saudara dan tetangga. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Meski sudah lama tinggal di kota dan mengenyam jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Syahrin, petani asal Sumatera Selatan tidak menurunkan minatnya pada sektor pertanian. Justru dia melihat pertanian sebagai sektor yang tangguh menghadapi pandemik hampir dua tahun ini.

"Saya mau mengubah pola pikir masyarakat terhadap petani. Biasanya, petani dianggap miskin, pekerjaannya dianggap secara ekonomi tidak menjanjikan. Menjadi petani juga bisa sejahtera, hanya saja pendapatan mereka tidak merata dibanding PNS atau kontraktor," jelas dia.

Irfan Rahardian asal Jawa Barat menerangkan, millennial yang akan mencoba bercocok tanam jangan ragu untuk belajar secara langsung di lapangan. Berbagai ilmu juga bisa didapatkan dengan mengikuti kegiatan komunitas.

"Pemerintah harus banyak berkolaborasi dengan anak muda. Karena sasarannya itu, jangan ragu untuk merangkul. Sebenarnya masih banyak anak muda di Bandung yang bisa diajak berkolaborasi," kata dia.

Arina Molitha asal Semarang juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, menjadi tantangan bagi generasi muda yang ingin menggeluti bidang apapun termasuk pertanian atau perkebunan ini adalah mengalahkan diri sendiri dari malas, mager, atau rebahan. Setelah sadar harus tahu dengan potensi yang dimiliki dan mau berubah menjadi lebih baik dengan segera mengambil keputusan dan bertindak.

"Kalau generasi milenial sekarang disebut sebagai generasi instan, saya ingin mengubah mindset itu. Bahwa generasi saya ini mau berproses dan bisa menemukan pemahaman hidup dari proses bercocok tanam," katanya.

Samuel berpesan, untuk memulai cara bercocok tanam jenis ini bisa memanfaatkan halaman rumah. Mulai dari baskom, botol-botol bekas di rumah. Menurutnya, jika cara itu ditekuni bisa melanjutkan ke bisnis yang lebih serius.

"Kalau menurut saya ini prospeknya besar. Ini kita hanya tanam sayur dan buah melon aja sudah menghasilkan untung yang besar. Ada lagi yang bisa ditanam selain itu, ada daun mint, dan buah lainnya," ucapnya.

Tim Penulis: Maya Aulia Aprilianti, Rangga Efrizal, Masdalena Napitupulu, Yuda Almerio Pratama Lebang, Fatmawati, Wayan Antara, Ardiansyah Fajar, Imron, Azzis Zulkhairil, Anggun Puspitoningrum, Ashrawi Muin, Silviana

Baca Juga: Menanam Sayur di Rumah, Cara Arina Mandiri Pangan dan Hidup Sehat  

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya