RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!

"Rapid test berikan hasil positif atau negatif palsu"

Jakarta, IDN Times - Salah satu cara untuk bisa memutus rantai pandemik COVID-19 di Indonesia yakni dengan melakukan tes masif dan mengisolasi orang yang terpapar. Tetapi, tes yang harus dilakukan bukan rapid test melainkan PCR. 

Hal itu disampaikan oleh Kepala Pusat Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Dr. Andani Eka Putra. Dalam podcast eks Menteri BUMN, Dahlan Iskan, sejak awal ia sudah tidak merekomendasikan penggunaan rapid test di kampung halamannya, Provinsi Sumatera Barat. Pandangan itu pula yang ia sampaikan ke hadapan Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno pada akhir Maret lalu. 

Mengapa sejak awal Andani tidak merekomendasikan penggunaan rapid test?

"Argumentasinya gini, pertama, tidak ada data independen mengenai validitas rapid test. Jadi, hasilnya tidak bisa dipegang (kebenarannya). Kedua, rapid test itu punya kelemahan tidak bisa mendeteksi satu minggu pertama (saat virus corona telah menginfeksi tubuh manusia)," ungkap Andani dalam podcast yang ditayangkan di YouTube pada Kamis, 16 Juli 2020. 

Ia menjelaskan mayoritas yang dites menggunakan rapid test pasti menunjukan hasil negatif COVID-19. Hanya sekitar 20 persen saja yang menunjukkan hasil positif. 

"Apalagi bila orang itu baru terpapar 2-3 hari pertama. Maka saat dilakukan rapid test, tidak akan terdeteksi," tutur dia lagi. 

Lain halnya bila dilakukan tes PCR. Maka sejak hari pertama terpapar COVID-19 pun sudah bisa terdeteksi. 

Oleh sebab itu, bila suatu pemerintah daerah ingin keluar dari pandemik COVID-19, satu-satunya jalan dengan melakukan tes masif PCR. 

"Cuma itu solusinya dan buang rapid test," katanya tegas. 

Andani bahkan menyebut bila suatu wilayah tetap mempertahankan tes dengan rapid, maka malah bisa membahayakan dan memberikan rasa aman palsu lantaran hasilnya non-reaktif. Kok bisa?

1. Rapid test berikan rasa aman palsu sehingga penularan virus tetap terjadi

RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!Kepala Pusat Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Sumatera Barat, Andani Eka Putra dipodcast Energy DI's Way Dahlan Iskan (Youtube.com/DI's Way)

Andani menjelaskan ada faktor yang berbahaya bila rapid test tetap dilakukan ketika tes massal. Sebab, di minggu pertama terpapar COVID-19, maka sensitivitasnya hanya 20 persen. Sedangkan, di minggu kedua sensitivitasnya 60 persen. 

"Artinya, apa? Kalau 10 orang positif COVID-19 berdasarkan tes PCR, pada minggu pertama hanya 2 orang saja yang terdeteksi positif COVID-19 berdasarkan pemeriksaan rapid test," tutur dia. 

Akhirnya, sisa 8 orang lainnya yang dinyatakan non-reaktif berdasarkan rapid test dibiarkan lolos dan tetap menularkan virus. 

"Justru niat kita untuk memutus rantai (pandemik) tidak berhasil. Kan berarti kita juga keliru. Sedangkan, di minggu kedua, bila ada 6 orang positif berdasarkan rapid test, maka masih ada 4 orang lainnya dinyatakan negatif dan lolos," katanya lagi. 

Menurutnya, ini lah yang membahayakan dari rapid test. Sebab, bagi sebagian orang bisa memberikan rasa aman palsu lantaran non-reaktif. 

"Padahal yang berbahaya itu yang non-reaktif. Yang reaktifnya kan sudah dikarantina," ungkapnya. 

Baca Juga: Beda Rapid Test, Pemeriksaan Swab, dan Metode PCR, Mana Lebih Akurat?

2. Tingkat akurasi rapid test hanya 20 persen pada minggu pertama

RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!Ilustrasi Form Persetujuan Rapid Test COVID-19 (IDN Times/Besse Fadhilah)

Andani mengatakan ia tidak merekomendasikan penggunaan rapid test karena hasilnya tidak akurat. Hal itu terbukti, bila rapid test dilakukan di minggu pertama terhadap para individu, maka tingkat akurasinya hanya 20 persen. Sehingga, mayoritas yang mengikuti rapid test, pasti akan menunjukkan hasil non-reaktif. 

Cara paling akurat menurutnya yakni dengan tes PCR. Sedangkan, saat ini di laboratorium Universitas Andalas, diklaim Andani sudah mampu memeriksa sekitar 3.000 spesimen dalam kurun waktu 24 jam. 

3. Rapid test hasilkan diagnosa positif atau negatif palsu terhadap COVID-19

RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!Ilustrasi Rapid Test Plasma (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Rapid test yang biasanya dilakukan secara massal yakni bertujuan melakukan deteksi antibodi. Tetapi, cara membaca virus ini bisa mengecoh peneliti, sebab protein di dalam virus mirip dengan antibodi milik manusia. 

"Maka nanti bisa menimbulkan reaksi silang. Hasilnya bisa positif palsu atau bahkan negatif palsu," kata Andani. 

Ia mengaku khawatir bila yang berkeliaran di sekitar masyarakat hanya mengandalkan rapid test, maka bisa memicu penularan COVID-19 semakin tinggi. 

"Karena ada risiko lolos tadi. Rapid test idealnya dua kali diperiksa, tapi jika sudah sekali mana mau mereka diperiksa lagi," ujar dia.

4. Juru wabah dari UI Dr. Pandu Riono sebut rapid test tidak dibutuhkan

RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!Dr. Pandu Riono dalam Ngobrol seru by IDN Times dengan tema "100 Hari Pandemik Globql: Workshop Meliput COVID-19". IDN Times/Besse Fadhilah

Hal senada juga pernah dilontarkan oleh ahali epidemiologi Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono. Pandu lebih ekstrim dengan menyarankan agar pelaksanaan rapid test massal di sejumlah daerah di Indonesia dihentikan. 

"Setop lah semua rapid test, karena itu tidak perlu," ujar Pandu dalam diskusi daring yang digelar Populi Center dan Smart FM Network pada Sabtu, 4 Juli 2020.

Serupa dengan pernyataan Andani, Pandu mengatakan rapid test tidak bisa menjadi rujukan pasti seseorang benar-benar terinfeksi COVID-19 atau tidak.

Rapid test ini kata Pandu hanya dibutuhkan untuk survei serologi yang mengetahui berapa banyak masyarakat yang terkena Infeksi COVDI-19. Metode ini kata dia bukanlah cara untuk menyelesaikan COVID-19.

5. Kunci sukses Sumatera Barat mencari kasus COVID-19

RI Mau Memutus Tali Rantai Pandemik COVID-19? Buang Rapid Test!Dewi Nur Aisyah dalam Ngobrol Seru dengan Tema "Bahaya Klaster COVID-19 di Asrama, Millenials Kudu Waspada" (IDN Times/Besse Fadhilah)

Anggota Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah juga buka suara terkait suksesnya Provinsi Sumatera Barat dalam menangani kasus COVID-19.Menurut dia, Sumbar memiliki inovasi yang baik di bidang
laboratorium. Provinsi ini diketahui mampu memeriksa 2.000 spesimen dalam waktu satu hari.

Belajar dari sana, Dewi mengatakan pihaknya ingin mengejar Sumbar agar bisa melakukan tes PCR dengan jumlah spesimen yang banyak.

"Mereka juga aktif melakukan active case finding atau telusur kontaknya, contact tracing sangat cepat ketika ditemukan positif, mereka akan mencari. Bahkan ketika ada yang baru sampai Bandara Sumatera Barat langsung ditarik oleh mereka untuk diperiksa," kata dia dalam program Ngobrol Seru bertajuk "Bahaya Klaster COVID-19 di Asrama, Millennials Kudu Waspada oleh IDN Times pada Senin, 13 Juli 2020.

https://www.youtube.com/embed/OknI6WnTbDc

Baca Juga: PERSI: Tarif Rapid Test Rumah Sakit Dipengaruhi Harga Kit Rapid Test 

Topik:

Berita Terkini Lainnya