Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung Tiba

Tersandung KTP transpuan tidak menerima bansos

Sudah lebih dari setahun pandemik COVID-19 merajalela di Indonesia. Virus corona menjadikan kehidupan yang awalnya lumayan berkecukupan berubah menjadi serba kekurangan. Akibatnya tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia bertambah tajam. 

Data Kementerian Keuangan menyebutkan pandemik COVID-19 menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga per bulan November 2020 total jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.

Mengurangi dampak pandemik yang dialami masyarakat, pemerintah menggelontorkan miliaran dana bantuan sosial dalam beberapa bentuk. Mulai dari bantuan sosial tunai dalam bentuk uang serta sembako, BLT dana desa hingga kartu pra kerja. Tapi sayang tak semua warga merasakan manisnya bantuan tersebut. 

1. Tersandung KTP transpuan tidak menerima bansos

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaIlustrasi KTP (IDN Times/Umi Kalsum)

Seperti istilah bagai pungguk merindukan bulan transpuan yang berada Sumatera Utara hingga saat ini tak juga mendapatkan bantuan dari pemerintah. Koordinator Divisi Advokasi Persatuan Transpuan Sumatera Utara (Petrasu) Lala mengatakan hingga saat ini mereka hanya mengandalkan bantuan dari komunitas dan organisasi yang didapat di masa pandemik COVID-19. Ia mengaku teman-teman transpuan masih sulit mendapat bantuan sosial dari pemerintah.

"Yang pertama kebanyakan teman transpuan keluar dari rumahnya tidak memiliki identitas (KTP) sehingga mereka kesulitan mendapat bantuan dari pemerintah. Dan yang kedua melihat ekspresi teman-teman transpuan itu, bantuan diabaikan. Dialihkan ke orang lain," katanya kepada IDN Times, Jumat (27/2/2021).

Hal yang sama dirasakan anggota Sanggar Seroja, sebuah komunitas yang menaungi para transpuan di Jakarta Barat dan Tangerang dalam bidang kesenian. Kepada IDN Times, pengurus Sanggar Seroja Rikky MF menyatakan kesulitan untuk mendapat bantuan pemerintah melalui program bantuan sosial (Bansos).

"Syarat Bansos harus Ada KTP dan Kartu Keluarga yang tinggal di wilayah tersebut. Tapi di periode kedua, teman-teman Kampung Duri yang punya KTP berusaha melobi agar bisa didata. Beberapa sudah tercatat petugas RT RW tapi belum dapat bansos," kata dia.

 

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaKomunitas waria diajak untuk menulis dan berinteraksi dengan publik, Yogyakarta, 22 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sejak bulan Mei 2020 Ketua Pondok Pesantren Waria “Al Fattah” Shinta Ratri telah mengeluhkan hal itu. Pondok pesantren yang terletak di Yogyakarta ini memperkirakan jumlah transpuan yang mencapai 184 orang ini diperkirakan separuhnya tak mengantongi KTP. 

“Tak banyak transpuan punya KTP Yogyakarta. Yang punya KTP Yogyakarta saja tak dapat apalagi luar daerah,” kata Shinta. 

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Bagi Silvi Mutiari dan rekan-rekannya, masa pandemik benar-benar sebuah ujian yang berat. Ia sendiri bahkan harus mencari peluang usaha baru. Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris) Satu Hati itu telah berusaha mendata ulang teman-temannya sesama waria untuk menggalang bantuan. 

"Tapi bantuannya cuma dikasih sekali sama Satgas COVID-19 Semarang. Itu pun pas awal pandemik. Setelah itu kita mesti pontang panting cari sumber penghasilan lain agar bisa bertahan hidup saat pandemik," ujarnya kepada IDN Times.

2. Tak punya uang terpaksa beralih profesi

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung Tiba(Ilustrasi pegawai salon di era pandemik) www.instagram.com/@rudyhadisuwarno.school

Salah satu transpuan di Ibu Kota Jawa Tengah, Ria Ardana menggantungkan hidupnya dengan bekerja di salon sebagai perias wajah. Namun, saat pandemik mendadak kehilangan pekerjaan. 

‘’Dulu sebelum pandemik saya bekerja di salon yang berlokasi di lokalisasi Sunan Kuning. Namun karena ada COVID-19, salon menjadi sepi. Pelanggan jadi takut datang ke salon, selain itu dana mereka juga mepet kalau mau nyalon,’’ tuturnya saat ditemui secara virtual, Jumat (26/2/2021). 

Kondisi itu berdampak pada penghasilan Ria. Jika biasanya sebulan dia bisa mengantongi sekitar Rp4 juta - Rp5 juta dari bekerja di salon dan menyanyi, saat pandemik pendapatannya turun drastis menjadi Rp300 ribu per bulan. 

Demi bertahan hidup, Ria banting setir beralih pekerjaan menjadi pekerja seks secara online. ‘’Gara-gara pandemik, ya akhirnya saya ‘nyambi’ menjajakan diri. Namun, itu pun tidak dengan cara mangkal di jalanan, tapi secara online. Sebab, kalau mangkal nanti takut kena razia atau premanisme,’’ ungkapnya.

Jalan itu terpaksa dilalui Ria karena himpitan ekonomi di masa pandemik. Sebab, hanya cara itu yang bisa dilakukan, karena pekerjaan lain tidak bisa menjanjikan.

‘’Lha kita mau kerja di sektor formal seperti kerja kantoran saja tidak diterima. Misalkan mau kerja pabrik, di sana kita dipaksa harus menjadi laki-laki, hai itu tentu saja membuat tidak nyaman dan tidak bisa mengekspresikan diri,’’ ujar transpuan yang mengenyam pendidikan hingga jenjang SMA itu.

 

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung Tibapixabay.com/skeeze

“Gak (tidak). Nyantai. Sibuk apa. Wong sepi kerjaan,” 

Begitulah jawaban Tariska saat dihubungi IDN Times pada Kamis (25/2/2021) siang. Tariska bercerita saat ini ia dan teman-temannya di Bali tidak segan mengambil pekerjaan yang jauh dari profesinya sebelumnya. Temannya yang sudah melakukan operasi payudara, namun karena kondisi pandemik ini, harus beralih menjadi kuli bangunan demi bertahan di Bali. 

“Beda jauh. Yang sekarang dilakukan intinya sekedar bertahan hidup. Mengharapkan pengurangan atau pelonggaran PPKM, PSBB itu. Dilonggarin, dilonggarin, makin ada celah kami bergerak. Mengharapkan itu sebenarnya,” jelasnya.

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaMeghan Kimoralez salah satu Queer Transpuan yang bergelut dihiburan (Meghan Kimoralez)

Hal yang sama dirasakan seorang Queer Transgender Perempuan (Transpuan) asal Kabupaten Jembrana, Bali yang terkenal dengan nama panggung Meghan Kimoralez harus mengirit uang untuk makan.

Kimora harus pandai mengatur keuangan rumah tangganya. Gaji Rp2,9 juta per bulan yang diterimanya saat ini hanya cukup untuk membayar indekos, uang makan, dan keperluan anak serta istrinya.

“Di keluarga Kimora sih masih cukup. Cuman kalau dibilang kurang ya masih kurang. Cuman dicukup-cukupin gitu. Sekarang ditata banget tuh uang makan, agak dikurang-kurangin gitu. Sekarang gak sering nyemilnya. Pokoknya ditata supaya gak berlebihan. Ditata supaya cukup,” jelasnya.

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaANTARA FOTO/Fauzan

Masalah transpuan di Tangerang bertambah dengan bencana banjir. Rikki MF bercerita saat ini banyak transpuan yang sakit karena kehujanan dan tidak bisa mengamen.

"Bahkan minggu lalu saat banjir di Tanggerang, teman transpuan yang mengamen ada yang ditolak warga masuk Kampung dengan alasan bikin banjir (pembawa sial)," kata Rikky.

Akibatnya mereka tak sanggup membayar sewa kontrakan tempat tinggal. "Aku pernah dengar ada yang terancam diusir karena tidak sanggup bayar tempat tinggal karena penghasilan mereka berkurang drastis," kata dia.

3. Bertahan hidup dari tabungan hingga mendapatkan bantuan dari organisasi swasta

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaIlustrasi media sosial (Unsplash.com/Austindistel)

Beberapa transpuan tetap bertahan selama masa pandemik. Meskipun pendapatan turun sebanyak 60 persen. 

Salah satunya transpuan yang berada di daerah Tulungagung, Jawa Timur. Mereka yang sebelumnya bekerja sebagai koki, perias, penjaga toko hingga pekerja seks komersial ini banting setir dan beralih ke pekerjaan baru. Banyak yang menjadi tenaga freelance hingga asisten rumah tangga. 

Ketua Apresiasi Waria dan Priawan Kota Tulungagung (Aprikot), Jossie Wilson menuturkan adanya pembatasan kegiatan seperti hajatan pernikahan dan karnaval membuat mereka yang bekerja sebagai perias kehilangan pemasukan.

 "Seperti menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) freelance dan lainnya, yang penting bisa bertahan," ujarnya, Sabtu (27/2/2021).

 

 

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaIlustrasi penerima bantuan sosial. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Ativis KSM Eman Memay Harundja mengatakan cara bertahan hidup selain menggunakan tabungan adalah dengan menumpang hingga meminjam ke keluarga. Menurut Eman, hampir semua transpuan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Yang membantu justru adalah organisasi yang berbasis komunitas karena tidak ada persyaratan khusus. 

"Berbeda dari bantuan pemerintah, biasa ada pendataan dan melampirkan identitas hukum. Jadi akan semakin sulit bagi yang tidak memiliki KTP atau KTP bagi yang pendatang," ungkap Eman. 

 

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaIlustrasi bantuan sembako di tengah wabah COVID-19 (ANTARA FOTO/Jojon)

Di Yogyakarta jumlah transpuan yang terdata saat ini mencapai 136 orang, tetapi secara faktual mencapai 184 orang. Diperkirakan separuhnya tak mengantongi KTP. Bak pungguk merindukan bulan padahal kebutuhan pangan terus mendesak dipenuhi. 

Shinta Ratri mengatakan mereka beruntung mempunyai jejaring luas melalui organisasi lokal hingga nasional yang membantu hidup transpuan. Akhirnya sebanyak 140 bingkisan sembako disalurkan untuk transpuan Yogyakarta dari jejaring di Jakarta. Namun sampai kapan transpuan bertahan hidup mengandalkan solidaritas di tengah pandemik yang tak pasti kapan usainya?

4. Transpuan berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (RUU PKS) segera disahkan.

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Hari ini tanggal 1 Maret diperingati sebagai Hari Solidaritas LGBTIQ Nasional. Bagi Miss Transpuan Sulawesi Selatan Tahun 2019, Ririn Aliska diharapkan bisa menjadi pemantik untuk membangkitkan kembali solidaritas dalam berjuang.

"Semoga ini bisa menjadi hari yang membawa semangat baru untuk transpuan dalam melakukan perubahan," ujar Ririn. 

Chandra Muliawan selaku Direktur LBH Bandar Lampung menjelaskan persoalan yang dialami kelompok LGBTIQ adalah tidak bebas dalam berekspresi di ruang publik.

Sementara secara kebijakan pemerintah tidak melarang itu. Namun lebih kepada sikap dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada mereka.

"Seperti dalam pemberian bantuan pemerintah tak secara spesifik bantuan tersebut diberikan untuk kelompok mana. Jadi lebih ke unsur teknis bagaimana petugas layanan menghadapi teman-teman LGBITQ," ujarnya.

Transpuan di Masa Pandemik: Pekerjaan Sirna, Bansos Tak Kunjung TibaANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Community Based Monitoring Officer OPSI Jateng, Amanda Aulia Cindy mengatakan kelompok transpuan memiliki kerentanan yang tinggi terhadap COVID-19. Mereka tidak bisa berekspresi dan bekerja di tengah pandemik. 

’Maka, kami ingin terus menggaungkan pengakuan gender secara hukum. Sebab, hingga hari ini para transpuan belum merasakan keadilan dalam berekspresi. Padahal, banyak di kalangan kami yang berpendidikan dan memiliki skill, tapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terganjal gender. Transgender tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Harus memilih menjadi laki-laki jika ingin hidup diterima masyarakat,’’ jelas sarjana Psikologi Universitas Semarang itu.

Maka, dalam rangka memperingati Hari Solidaritas LGBTIQ, dia mewakili transgender ingin agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (RUU PKS) agar segera disahkan.

‘’Sebab, dengan disahkannya RUU PKS itu harapan ke depan bisa melindungi seluruh masyarakat, termasuk transpuan. Karena bagaimanapun kami juga rentan kena pelecehan seksual. Kemudian bagi masyarakat, jangan menjauhi kami, jangan punya pemikiran yang konservatif dan negatif terhadap transgender,’’ tandasnya.

Tim penulis: Masdalena Napitupulu, Pito Agustin, Muhammad Iqbal, Anggun Puspitoningrum, Fariz Fardianto, Melani Indra Hapsari, Silviana, Ayu Afria Ulita Ermalia, Faiz Nashrillah, Sahrul Ramadan, dan Azzis Zulkhairil

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya