Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7

Islam menyebar melalui budaya hingga adu kesaktian para raja

Semarang, IDN Times - Bulan Ramadan disambut gembira oleh umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam , bulan Ramadan selalu dirindukan karena di bulan suci penuh berkah ini kaum muslim berlomba-lomba mengerjakan ibadah wajib maupun sunah dan mengerjakan amal kebaikan.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sejarah masuknya Islam ke nusantara melalui jalan damai dan bukan melalui penaklukan.

Penyebaran islam di nusantara yakni melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan, dan seni budaya. Dakwah yang dilakukan secara simpatik, dengan cepat agama Islam tersebar dan diterima oleh rakyat, penguasa hingga raja-raja di nusantara.

Islam pun berkembang tambah pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga Maluku yang berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-18.

Sejarah Islam di nusantara sangat kental mempengaruhi segala aspek kehidupan mulai dari sosial, budaya, seni bahkan hingga arsitektur bangunan. Islam juga berperan penting di masa perjuangan pergerakan Indonesia melawan kolonialisme penjajahan.

Namun sangat disayangkan umat muslim di nusantara yang selama ini dikenal hidup dalam damai, penuh toleransi, akhir-akhir ini diuji dengan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab mengatasnamakan agama melakukan kegiatan intoleran bahkan terorisme.

Mengingat kembali sejarah penyebaran Islam di Indonesia yang jauh dari kekerasan dan pertumpahan darah berikut sejarah masuknya Islam beserta bangunan-bangunan yang ditinggalkan.

Baca Juga: Tawarih Pertama di Masjid Kauman, Warisan Terakhir Ki Ageng Pandan Arang

1. Agama Islam diyakini dibawa oleh para pedagang Gujarat, Arab hingga Persia

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Website

Islam diyakini pertama kali masuk nusantara dimulai dari Perlak, kemudian Samudra Pasai lalu kemudian berkembang di Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore dan juga Aceh Darussalam.

Dipercaya masuk ke Sumatra pada abad ke-7 Masehi, Provinsi Aceh menurut catatan sejarah merupakan awal penyebaran agama Islam. Para pedagang yang beragama Islam dan mengemban misi dakwah dari khalifah datang dari Semenanjung Arabia dan singgah dalam perjalanan mereka ke China.

Beberapa referensi sejarah menyebutkan Islam masuk melalui para pedagang Gujarat. Sejarawan Belanda, seperti Jan Pijnappel, Snouck Hurgronje, dan Jean Piere dalam catatannya menyebutkan penyebaran Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India) antara abad ke-7 hingga abad ke-13 M.

Catatan sejarah lainnya yang ditulis oleh Jacob Cornelis van Leur dan Buya Hamka menyebutkan pengaruh Islam dibawa langsung oleh pedagang Arab sekitar abad ke-7. Selain Gujarat dan Arab, Islam masuk dan berkembang di nusantara disebutkan juga dibawa oleh para pedagang dari Persia, Hoesein Djajadiningrat berpendapat pengaruh Islam di Indonesia dibawa masuk oleh orang-orang Persia sekitar abad ke-13.

Hubungan yang sudah terbina sejak lama akhirnya melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra dan berperan penting dalam penyiaran Islam.

2. Islam masuk ke Lampung di zaman Kerajaan Sekala Brak melalui tiga penjuru

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Manuskrip Al-Quran disimpan Among Dalom Darwis Bunyata, Lampung Barat (IDN Times/Istimewa)

Berabad-abad setelah masuknya Islam di Aceh, Agama Islam juga berkembang di Lampung. Penyebaran Agama Islam diperkirakan mulai pada Abad ke-16 zaman Kerajaan Sekala Brak Hindu. Meski begitu para peneliti yakin Islam telah masuk berabad-abad sebelumnya.

Peneliti Manuskrip Lampung, Rakhmad Idris mengatakan Ia pernah melakukan pencarian naskah kuno di daerah Liwa, Kabupaten Lampung Barat. Di sana, Rakhmad menjumpai naskah tulisan tangan atau manuskrip, salah satu keturunan Paksi (kerajaan) Skala Brak Suttan Penyimbang Darwis bin Muhammad Yusuf, yang menerangkan Islam ke wilayah Lampung.

"Di dalamnya termasuk ada naskah-naskah Al-Quran dan agama Islam. Menurut kami, karena manuskrip adalah sebuah artefak tua, maka bisa menjadi bukti. Bahwa pada masa itu Islam sudah mulai ada di Liwa, Lampung Barat, sehingga memperkuat Islam masuk dari sebelah Barat wilayah Lampung," ucapnya, Jumat (16/4/2021).

Datangnya Islam ke wilayah Lampung melalui tiga penjuru yakni arah barat dari Sumatera Barat (Minangkabau), yang masuk melalui tengkuk Gunung Pesagi di Lampung Barat. Kemudian utara datang dari Sumatera Selatan (Palembang), melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar tahun 1443. Sementara arah Selatan didatangi oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati (Banten), lewat Labuhan Maringgai di Keratuan Pugung tahun 1525.

3. Walisongo menyebarkan Islam lewat pendidikan seni dan budaya

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7kebudayaan.kemdikbud.go.id

Berbicara penyebaran Islam di Pulau Jawa tak lepas dari pengaruh runtuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak oleh Raden Patah. Dan peran penting Wali Songo yang melakukan dakwah islam dengan cara pendekatan sosial budaya menjadi kunci agama Islam mudah diterima masyarakat.

Wali Songo yang terdiri dari Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel atau Raden Rahmat, Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim, Sunan Drajat atau Raden Qasim, Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin, Sunan Kalijaga atau Raden Sahid, Sunan Muria atau Raden Umar Said, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah melakukan dakwah ke masyarakat di tanah Jawa dengan cara yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai daerah.

Walisongo dan para ulama sengaja berdakwah, mengajar, dan mendirikan pesantren. Rakyat dari berbagai daerah berdatangan untuk belajar di sekolah atau pesantren dan setelah selesai pendidikannya kembali ke daerah asal atau daerah lain untuk menyebarkan agama Islam.

Para wali juga menggunakan kebudayaan dan kesenian untuk berdakwah, seperti Sunan Kalijaga melalui wayang yang didalamnya memasukkan nilai-nilai Islam, Sunan Bonang yang menciptakan alat musik bagian dari gamelan yang bernama Bonang, menciptakan gending (lagu) Durma yang didalamnya berisikan ajaran Islam. Begitu juga dengan Sunan Muria dan Sunan Giri bahkan seni tersebut sampai sekarang masih tetap eksis di masyarakat.

4. Menerima Islam setelah kalah dalam adu kesaktian

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Masjid Agung Kesultanan Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Masuknya Islam di wilayah nusantara juga melewati berbagai kisah unik. Seperti kisah masuknya Islam di Banten sekitar tahun 1524 atau 1525 yang melalui adu kesaktian antara Prabu Pucuk Umum dan Sultan Maulana Hasanuddin.

Yadi Ahyadi, peneliti Bantenologi di Kampus UIN SMH Banten, Selasa (13/4/2021) mengatakan penguasa Banten saat itu Prabu Pucuk Umum mengajak adu kesaktian ayam di Lereng Gunung Karang.

Bukan berperang untuk duel, melainkan adu ayam demi menghindari banyaknya jatuh korban. "Adu kesaktian gak mesti bunuh bunuhan-bunuhan, saling tusuk, saling tikam, cukup orang yang tersakti yang berantem. Satu atau dua doang jadi korban, tidak ada korban secara massal," katanya.

Tak berbeda jauh cikal bakal penyeberan Islam di Samarinda menurut kitab klasik Salasilah Kutai beraksara Arab Melayu menarasikan proses Islam masuk ke Kutai lewat adu kesaktian.

Muhammad Sarip, Sejawaran Lokal Samarinda menyebutkan pada abad ke-16 diceritakan seorang ulama dari Minangkabau tiba di Kutai Lama.

Ulama bergelar Tuan Tunggang Parangan tersebut mendakwah ajaran Islam kepada Raja Makota penguasa pada saat itu, Kitab klasik Salasilah Kutai beraksara Arab Melayu menggambarkan syiar agama Islam saat itu lewat proses adu kesaktian.

Tunggang Parangan memenangi pertarungan dan Raja Makota menerima ajaran Islam dengan menjadi mualaf. Meskipun demikian menurut Sarip, secara harfiah Ia menilai pola cerita seperti ini serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat atau keajaiban. Akan tetapi, cerita kontekstual tersebut diartikan sebagai dakwah melalui proses dialog egaliter.

Adu kesaktian itu juga bermakna perdebatan nalar atau dialog yang akhirnya dimenangkan Tunggang Parangan, sehingga Raja Makota sukarela memeluk agama Islam.

5. Di Bali penyebaran Islam dimulai dari para pengawal Raja Majapahit Hayam Wuruk

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Warga Kampung Gelgel saat Festival Semarapura. (DokIDNTimes/Ist_Pemkab Klungkung)
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Islam tak hanya berkembang di Jawa, Sumatera, Kalimantan saja di Bali Islam juga mulai masuk pada sekitar abad ke-14. Berdasarkan beberapa catatan sejarah, umat Muslim sudah menetap di wilayah Kabupaten Klungkung sejak abad ke-14. Keberadaan mereka pun diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu.

Saat ini, diketahui kelompok Muslim tertua di Bali menetap di Kampung Gelgel. Di wilayah itu pula berdiri masjid pertama di Bali, yakni Masjid Nurul Huda.

Dalam catatan tim peneliti sejarah masuknya Islam di Bali untuk proyek penelitian Pemda Tingkat I Bali 1979/1980, tertulis bahwa umat Muslim diperkirakan masuk ke Bali sejak abad ke-14. Ketika itu, Raja Gelgel Dalem Ketut Ngulesir sebagai penguasa di Bali menghadiri pertemuan di Majapahit, Jawa Timur.

Saat hendak kembali ke Bali, Raja Hayam Wuruk menghadiahi 40 orang pengawal/pengiring raja ke Bali. Seluruh pengawal itu merupakan penduduk Muslim yang ketika itu merupakan sekelompok pedagang yang menetap di Majapahit.

"Lalu pengawal Muslim ini dihadiahi tanah oleh Raja Gelgel saat itu untuk ditinggali. Nah tanah itulah yang saat ini berkembang sebagai Kampung Gelgel," ujar seorang tokoh masyarakat di Kampung Gelgel, Sahidin, belum lama ini.

Sampai saat ini, umat Muslim yang tinggal di Kampung Gelgel hidup harmonis dan berdampingan dengan masyarakat Desa Adat Gelgel yang mayoritas beragama Hindu. Toleransi antar umat ini telah bertahan selama berabad-abad.

6. Hasan Gipo Presiden Tanfidziyah NU sahabat Tjokroaminoto berdakwah dan mengusir penjajah

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Tampak depan Langgar Gipoo yang sudah dicat. IDN Times/Fitria Madia

Penyebaran Islam pun masih giat dilakukan di era perjuangan kemerdekaan. Adalah Hasan Gipo seorang keturunan Sagipoddin, keluarga saudagar besar yang kaya turun temurun di Surabaya yang menyumbangkan harta benda untuk syiar agama Islam dan mengusir penjajah.

Dilansir melalui situs resmi NU, Hasan Gipo terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914) meski tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya ia juga terlibat dalam forum Taswirul Afkar (1916) dan berhasil memukau banyak orang dengan cara komunikasinya yang elegan. Ia juga aktif terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya. Dalam forum semacam itu ia berkenalan dengan ulama lainnya makin intensif seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai besar lainnya di Jatim.

Berbagai jabatan penting diemban oleh Hasan Gipo semasa hidupnya dari tahun 1869-1934 mulai dari ketua takmir masjid se-Surabaya, imam masjid Sunan Ampel, hingga menjadi Presiden atau Ketua Tanfidziyah NU Pertama kali.

Seorang pengamat silsilah dan sejarah ulama Surabaya, Asrul Sani menggambarkan bahwa Hasan Gipo sebagai sosok yang cerdas, berpendidikan, dan elegan. Karena ia berasal dari keluarga mapan, Hasan mampu mengenyam pendidikan formal ala Belanda. Bekal pendidikan itu ia gunakan untuk mengembangkan bisnisnya dan menyebarkan Agama Islam.

Tak hanya peranannya dalam pergerakan Islam, Hasan Gipo juga berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan. Hasan memiliki andil untuk menyatukan para aktivis nasionalisme dengan aktivis dari kalangan ulama.

Hasan yang merupakan sosok saudagar kaya dengan karakter ramah memiliki banyak sahabat seperti adalah HOS Tjokroaminoto dan Dr. Seotomo. Melalui Hasan, KH. Wahab Hasbullah bisa mengenal para pejuang-pejuang kemerdekaan seperti Ir. Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti yang tak lain adalah murid Tjokroaminoto.

7. Masjid dan bangunan sejarah penyebaran Islam masih terawat hingga kini

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Masjid Al Ula di Balikpapan Kaltim. (IDN Times/Mela Hapsari)

Berkembang dan mulai diterima oleh rakyat, penyebaran agama Islam juga ditandai dengan peninggalan-peninggalan bangunan dan arsitektur bersejarah yang hingga kini masih bisa kita temukan.

Di Simalungun Sumatera Utara salah satu peninggalan Islam yang hingga kini dapat dijumpai yakni Masjid Awal, Pamatang Raya. Berdiri tahun 1927 di kawasan yang dominan dihuni nonmuslim, pernah dibakar penjajah Belanda, dan kini kembali berdiri kokoh.

Di Klungkung Bali, Masjid Nurul Huda merupakan masjid tertua yang ada di Pulau Dewata. Masjid yang menjadi saksi cikal bakal Islam di Bali ini berdiri kokoh sampai sekarang dengan ciri khas menara yang menjulang tinggi setinggi 17 meter.

Masjid Al Hilal Katangka di Suawesi Selatan atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Tua Katangka merupakan salah satu saksi sejarah dakwah Islam di sana.

Rumah ibadah umat Islam ini berlokasi di Jalan Syech Yusuf No 57, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Letak masjid ini masih satu lokasi dengan kompleks makam raja-raja Gowa. Masjid Tua Katangka didirikan pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Raja Gowa ke-14 yaitu I Mangngarangi Daeng Manrabbia atau dikenal sebagai Sultan Alauddin.

Saat itu, masjid ini tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah tapi juga sebagai benteng pertahanan terakhir. Itulah sebabnya dinding masjid ini dibuat sangat tebal.

Saksi berkembangnya Islam di Semarang yang masih ada hingga sekarang yakni Masjid Kauman. Berdasarkan catatan sejarahnya Masjid yang dibangun oleh Ki Ageng Pandan Arang atau mahsyur dikenal sebagai Sunan Pandanaran dibangun pada Abad 16.

Masjid Kauman yang kembali dibangun, akhirnya berdiri kokoh sampai sekarang di sisi barat Alun-alun Semarang. 

Ia menyebut sebuah prasasti sampai sekarang masih terpasang di pintu masuk masjid untuk mengenang peristiwa terbakarnya Masjid Kauman sekitar tahun 1896 silam. 

Di Balikpapan salah satu peninggalan Islam yang berusia ratusan tahun juga masih bisa ditemui, yakni Masjid Al Ula. Masjid ini telah berusia ratusan tahun dan jadi saksi perkembangan sejarah Islam di Balikpapan.

Masjid yang berlokasi di Jalan Letjen Suprapto, Kelurahan Baru Ulu Balikpapan Barat ini awal mulanya adalah musala di masa penjajahan Belanda. Hingga akhirnya dibangun sebagai masjid oleh para saudagar yang berlabuh di kawasan Kampung Baru.

Masjid Agung Yogyakarta, atau yang lebih dikenal sebagai Kagungan Dalem Masjid Gedhe Kauman, menjadi bagian tidak terpisahkan dari Kasultanan Yogyakarta. Di mana masjid ini didirikan sebagai tempat beribadah bagi keluarga raja serta rakyatnya.

Pada masa awal sebelum kemerdekaan, serambi Masjid Gedhe Kauman juga berfungsi sebagai pengadilan yang dikenal dengan nama Pengadilan Surambi. Tidak hanya itu, Masjid Gedhe Kauman juga berperan penting bagi perlawanan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah.

8. Potret keturunan para pedagang Gujarat di Semarang yang masih lestarikan budaya leluhur

Jalan Damai Penyebaran Islam di Indonesia, Dakwah Sejak Abad ke 7Masjid Jami Pekojan jadi saksi bisu syiar agama Islam yang dilakukan warga keturunan Koja di Semarang. IDN Times/Fariz Fardianto

Tak hanya masjid para keturunan pedagang Gujarat salah satu penyebar agama Islam pertama kali di Indonesia hingga kini juga masih bisa di temui. Di Semarang jejak para pedagang dari Gujarat ini masih terlihat yakni di daerah Pekojan atau tepatnya di Kampung Petolongan, Semarang Tengah.

"Di kawasan Pekojan terutama di gang-gang kampung di sana memang masih keturunan dari Koja, salah satu desa kuno di Gujarat. Tapi kita beda dengan India, warna kulit kita lebih cerah. Maka kampungnya dinamakan Pekojan yang berarti perkampungan warga Koja," kata Muhammad Soleh, yang dipercaya sebagai Ketua Komunitas Koja Semarang (Koja'S), ketika berbincang dengan IDN Times, Jumat (16/4/2021).

Warga keturunan Koja sampai saat ini juga masih fasih menggunakan logat bahasa Urdu yang jadi warisan turun temurun dari Gujarat. Tinggal di gang-gang sempit di sudut Kota Semarang, warga keturunan Gujarat yang diperkirakan lebih dari 1.000 orang ini telah berbaur dengan masyarakat dari suku lainnya

Warga keturunan Koja juga memperkuat silaturahmi dengan melestarikan ragam sajian makanan khas Gujarat seperti bolu lapis bubur sayur atau yang dikenal dengan sebutan bubur India yang merupakan hidangan favorit saat Bulan Ramadan, termasuk juga kroket dari Kota Gujarat.

Penyebaranya yang dilakukan melalui jalan damai membuat agama Islam berhasil menarik simpati rakyat Indonesia. Bahkan tradisi-tradisi dan cara dakwah ulama saat awal-awal penyebaran Agama Islam hingga sekarang masih dikerjakan secara turun-temurun.

Tradisi tersebut dikerjakan di hari-hari besar Islam,  dan menjadi salah satu perekat keberagaman masyarakat di Indonesia.

Tim penulis: Fariz Fardianto, Wayan Antara, Fitria Madia, Yuda Almerio, Fatmawati, Tama Wiguna, Khaerul Anwar, Muhammad Iqbal, Anggun Puspitoningrum, Patiar Manurung, Ashrawi Muin, Siti Umaiyah

Baca Juga: Jejak Orang Koja Semarang, Jaga Tradisi Islam, Tinggal di Gang Sempit

Topik:

  • Bandot Arywono
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya