Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah Lingkungan

Pesan untuk kartini masa kini, pilih produk keberlanjutan

Intinya Sih...

  • Pesan untuk Kartini masa kini, Anggraini Kumala Sari mengedukasi perempuan dalam menjalankan bisnis fashion ramah lingkungan.
  • Keterampilan Anggraini dalam mengolah kain menjadi produk yang indah dan bernilai seni sudah dilakoninya sejak 24 tahun lalu.
  • Anggraini berharap masyarakat semakin sadar bahwa menjadi keren tak sekadar tampilan luar tapi harus benar-benar mempelajari bagaimana proses pembuatan produk dari hulu ke hilir.

Bandar Lampung, IDN Times - 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, menjadi momen tepat untuk memupuk kembali semangat emansipasi perempuan di tengah kehidupan modern dan perkembangan teknologi sangat pesat. Kini, semangat Kartini tetap melekat dan diteruskan oleh perempuan-perempuan masa kini dengan cara berbeda.

Di Provinsi Lampung, ada kisah menarik dari Anggraini Kumala Sari, seorang pebisnis fashion peduli dengan lingkungan. Ia mempelajari banyak hal agar bisnis fashionnya tak sekadar menghasilkan uang tapi sekaligus menjaga lingkungan dan bermanfaat untuk perempuan lainnya yang membutuhkan pekerjaan.  

Berikut IDN times rangkum kisah Anggraini Kumala Sari bergerak mengedukasi perempuan lain dalam menjalankan bisnis fashion ramah lingkungan.

1. Awal mendirikan bisnis terimbas teknologi modern

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (IDN Times/Silviana)

Keterampilan Anggraini dalam mengolah kain menjadi produk yang indah dan bernilai seni sudah dilakoninya sejak 24 tahun lalu. Perempuan kelahiran Jawa Tengah itu memulai bisnisnya di bidang kerajinan dan fashion bernama Anggraini Bordir di tanah kelahirannya.

Namun, usaha tersebut mengalami pasang surut karena kemajuan teknologi di bidang fashion sehingga membuat hasil kerajinannya dibuat secara manual terimbas dengan adanya produk-produk bordir menggunakan teknologi komputer. 

“Usaha berjalan cukup lama sampai memiliki kemitraan 12 orang. Tapi namanya usaha ada pasang surut, terus bordir saya kan manual akhirnya ada bordir komputer atau dulu disebutnya bordir China jadi produk saya terimbas. Akhirnya gak bisa bertahan jadi saya putuskan untuk tutup,” cerita Anggrani kepada IDN Times, Kamis (18/4/2024).

2. Terus belajar kembangkan bisnis fashion ramah lingkungan

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (IDN Times/silviana)

Meski usahanya tutup, tak membuat minat Anggraini di bidang kerajinan berhenti. Ia tetap mempelajari tentang bisnis fashion dan akhirnya menemukan cara mengembangkan fashion tanpa merusak lingkungan seperti yang ia resahkan selama ini.

“Saya tadinya bordir, sulam semua pakai sintetis. Terus saya baca-baca dan lihat tentang fashion ramah lingkungan, itu saya tertarik untuk mempelajari ecoprinting. Karena saya kan sudah berkecimpung lama di dunia kerajinan terutama kain-kain, saya sadar kalau industri fashion maupun kriya ini banyak menimbulkan limbah, baik limbah kain atau limbah pewarna. Akhirnya saya memperlajari alternatif yang ramah lingkungan yaitu menggunakan pewarna alami,” terangnya.

Kemampuannya di bidang kerajinan ecoprinting tersebut membawanya kembali membuka bisnis fashion di Kota Bandar Lampung bernama Kahut Sigerbori pada 2018 lalu. Awalnya ia sempat ragu, karena belum banyak masyarakat di Lampung mengetahui tentang produk ramah lingkungan tersebut.

“Saya kan pindah ke Bandar Lampung karena ikut suami jadi mulai lagi dari awal dan ya peminatnya belum banyak ternyata. Tapi kalau sekarang kayanya sudah banyak yang tahu soal ecoprinting dan sudah banyak pelaku-pelaku ecopinting juga,” ujarnya.

Baca Juga: Kisah Kartini, Pahlawan Emansipasi Rela Dipoligami demi Kaum Perempuan

3. Beri pelatihan dan praktik gratis untuk perempuan prasejahtera dan disabilitas

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Seiring berjalannya waktu, produk ecoprinting dibuat Anggraini akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat Lampung. Itu bermula saat ia merekrut karyawan untuk membantu memproduksi produk-produk ecoprinting. Menurutnya, para tetangga ia libatkan justru membuat usahanya semakin berkembang dan dikenal luas hingga saat ini.

“Waktu pandemik COVID-19 tahun 2020 itu, banyak ibu rumah tangga yang suaminya di PHK. Kebetulan mereka main ke rumah dan melihat saya membuat kerajinan ini. Terus mereka menawarkan diri mau membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Akhirnya saya rekrut mereka, sekarang sudah ada empat karyawan dan 15 mitra yang membantu kalau ada pesanan jumlah besar,” jelasnya.

Tak hanya itu, kini Anggraini juga sibuk memberikan edukasi tentang membuat kerajinan ecoprinting di setiap daerah Provinsi Lampung maupun luar Lampung seperti Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Pelatihan tersebut diberikan gratis untuk kelompok-kelompok tertentu seperti teman-teman disabilitas dan perempuan prasejahtera.

“Kahut ini kadang-kadang diundang suatu instansi untuk memberikan pelatihan. Biayanya ditanggung oleh instansi tersebut. Jadi keuntungan dari situ, kita gunakan untuk memberikan pelatihan gratis dan menyediakan bahan baku juga untuk praktik peserta. Sampai sekarang sudah ada seribu lebih yang kita beri pelatihan, baik sebagai narasumber maupun pelatihan diselenggarakan Kahut sendiri,” bebernya.

4. Bisnis ecoprinting minim modal dan tak butuh skill khusus

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Menurut Anggraini, seiring berjalannya waktu ia juga menyadari ecoprinting selain produk  ramah lingkungan juga minim modal dalam pembuatannya. Sehingga sangat cocok dikembangkan pada ibu rumah tangga tidak memiliki skill atau berada di pedesaan yang aksesnya cukup jauh dari mana-mana.

“Jadi untuk menunjang perekonomian pedesaan sangat cocok karena istilahnya daun metik di halaman aja bisa jadi produk. Sangat minim modal, kita hanya perlu membeli kain yang sesuai dan tidak butuh keahlian khusus, hanya perlu keteladanan dan perlu sentuhan seni, akan menjadi sebuah produk indah dan bernilai ekonomi,” kata Anggraini.  

5. Cuaca dan kerusakan lingkungan bisa menghambat proses produksi

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Meski sudah dikenal masyarakat luas, Anggraini tetap memiliki tantangan besar dalam memasarkan produknya karena persaingan fashion begitu pesat dengan model-model menarik perhatian konsumen. Menurutnya, konsumen produk ecoprinting memang segmented, berasal dari masyarakat kelas menengah ke atas, berpendidikan tinggi dan memahami tentang produk ramah lingkungan.

“Produk kita kan  harganya mahal, jadi kalau dipasarkan ke masyarakat awam tentu mereka akan membandingkan dengan baju-baju dari toko oren (e-commerce) yang murah sudah dapat baju cantik-cantik. Mereka gak menyadari bahwa  untuk menciptakan satu lembar kain itu effortnya luar biasa. Harus keluar masuk hutan ambil daun, kemudian daun yang kita ambil harus dipilih-pilih dan masih diproses. Sebab itu, kita punya market tersendiri lah yang memang sudah menyadari bahwa prosesnya susah dan barang langka,” terangnya.

Lebih lanjut Anggraini menceritakan tantangan para perajin mencari bahan baku dari dalam hutan harus bergelut dengan cuaca tak menentu dan tanaman-tanaman yang sudah lebih dulu dibabat karena lahannya beralih fungsi menjadi kavling atau perumahan.

“Kita kan ngambil dari alam, jadi kalau musim hujan kita kesulitan. Kalau musim kemarau daunnya kering-kering. Kaya tahun lalu kan kemarau panjang banget itu menghambat proses produksi kita. Untuk mendapatkan pewarna alami ini kita berlomba dengan desakan-desakan perusakan lingkungan untuk berbagai alasan,” ujarnya.

6. Setiap kain memiliki cerita berbeda

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Menurut Anggraini, setiap kain diproduksi memiliki cerita berbeda bergantung daun apa yang digunakan, siapa yang memetik daun tersebut dan bagaimana proses produksinya. Seperti salah satu kain dibuat oleh perempuan-perempuan petani kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, menurutnya memiliki cerita berkesan dan tidak dijual.

“Karena daun-daun itu kita ambil dari hutan kawasan, jadi tidak diperjualbelikan. Kita menggunakan daun mantangan yang menjadi hama penggangu  di kawasan hutan lindung dan mengganggu kelestarian alam. Nah Kahut bersama TNBBS ini mengembangkan daun  mantangan agar bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi,” jelasnya.

Kini produk tersebut sudah berhasil dibuat melibatkan para perempuan-perempuan petani kopi di TNBBS yang dilatih oleh tim Kahut Sigerbori. Hanya saja, Anggraini mengatakan, untuk memasarkannya masih butuh regulasi karena daun tersebut berasal dari hutan lindung.

7. Pesan untuk Kartini masa kini, pilih produk mencakup aspek keberlanjutan

Cerita Kartini Modern Lampung Dibalik Bisnis Fashion Ramah LingkunganProduk ecoprint Kahut Segierbori Lampung (instagram/kahut_sigerbori)

Anggraini berharap, masyarakat semakin sadar menjadi keren tak sekadar tampilan luar tapi harus benar-benar mempelajari bagaimana proses pembuatan produk dari hulu ke hilir. Menurutnya, konsumen harus selektif dalam membeli sebuah produk, seperti mencari tahu apakah produk tersebut sudah mencakup aspek-aspek keberlanjutan ramah lingkungan.

“Contoh ramah lingkungan itu dibuat tanpa menimbulkan limbah fashion berlebihan. Kemudian dari aspek pekerjanya, apakah cukup terlindungi ketika memproduksi sebuah produk. Apakah zat-zat itu membahayakan, apakah karyawan yang membuat itu digaji dengan layak dan jam kerja layak,” paparnya.

Sehingga menurutnya,  produk dipakai tak sekadar keren dari tampilan luar melainkan  harus benar-benar selektif produk itu dibuat dengan etika atau norma tertentu. Ia juga mengimbau agar konsumen bisa membeli produk bisa digunakan dalam jangka panjang agar tak menjadi limbah saat sudah tak dipakai dan mencemari lingkungan.

Baca Juga: Kisah Pegawai PLN Rela Tak Pulang Kampung agar Listrik Tetap Terang

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya