Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak Krakatau

Meski begitu, trauma tsunami 2018 pasti masih tersisa

Bandar Lampung, IDN Times - Hari Gunung diperingati setiap 11 Desember oleh masyarakat dunia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran pegunungan bagi kehidupan yakni sebagai pengatur ekosistem hayani dan nonhayati di bumi. 

Namun,pegunungan tak lepas juga dari ancaman berupa bencana alam. Apalagi, Indonesia termasuk negara berada dalam cakupan Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) atau daerah rentan gempa bumi dan letusan gunung berapi. Seperti di Lampung, ada empat api besar yakni Gunung Anak Krakatau, Gunung Sekincau, Gunung Rajabasa, dan Gunung Suoh.

Hingga saat ini, aktivitas magma di gunung-gunung tersebut masih ada. Namun ternyata masih ada masyarakat tinggal di sekitar kawasan gunung api di Lampung ini. Tentunya mereka harus lebih cepat dan tanggap atas potensi bencana yang ada. Berikut IDN Times rangkum penuturan mereka

1. Meski dekat dengan gunung api, Pulau Sebesi tetap menjadi rumah bagi masyarakatnya

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauPemandangan Gunung Anak Krakatau dari Pulau Sebesi. (Dok. Masyarakat Pulau Sebesi)

Seperti cerita Rahmat, warga asli Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Pulau ini hanya berjarak sekitar 19 kilometer dari Gunung Anak Krakatau, gunung vulkanik muncul setelah ledakan Gunung Krakatau pada 1883 lalu.

Rahmat mengatakan, sudah puluhan tahun menjadi nelayan dan tinggal di Pulau Sebesi. Meski pulau dengan luas 2.620 hektare itu sangat dekat dan rentan akan potensi bencana dari Gunung Anak Krakatau, ternyata cukup banyak masyarakat Lampung menggantungkan hidupnya di pulau tersebut.

“Ada sekitar 3.000 penduduk dan pusat pemukimannya di utara pulau. Sebenarnya kalau keresahan bencana Anak Krakatau mah pasti ada. Apalagi pascatsunami (2018 lalu di pesisir Lampung dan Banten) itu, trauma mah masih tersisa,” ungkap Rahmat, Jumat (9/12/2022).

Namun, karena di sana adalah tempat tinggal, tempat bersekolah, dan tempat mencari nafkah, masyarakat Pulau Sebesi tetap mencintai rumah mereka. Mereka harus dan sudah terbiasa dengan aktivitas gunung kadang kala mengeluarkan hembusan panasnya.

“Kami sudah biasa melihat erupsi Anak Krakatau. Apalagi kalau yang saat erupsi besar dan sudah berwarna merah. Cemas ada, tapi itu sudah seperti pemandangan sehari-hari,” ungkapnya.

2. Jalur evakuasi di Pulau Sebesi belum ada

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauPemandangan Gunung Anak Krakatau dari Pulau Sebesi. (Dok. Masyarakat Pulau Sebesi)

Rahmat mengatakan, kelompok yang aktif untuk memperhatikan persoalan mitigasi masyarakat di Pulau Sebesi ada beberapa kelompok. Di sana ada Palang Merah Indonesia (PMI) yang selalu siap bekerja, lalu ada kelompok pengawas masyarakat, dan tentunya dari BMKG.

“Sayangnya memang jalur evakuasi kita belum ada. Jadi sementara ini kami masyarakat punya inisiatif untuk menentukan jalur sendiri jika memang ada ancaman,” jelasnya,

Meski begitu, ia sangat berharap pemerintah setempat bisa memberikan fasilitas itu pada mereka. Misalnya jalur evakuasi, rumah aman, dan sebagainya.

“Kami juga di sini baru mengusulkan (terkait mitigasi bencana) ke pemerintah. Jadi seandainya harapan kami dapat terkabul, kami bisa ukur-ukur dan survei tempat evakuasi, tempat aman, atau pembangunan pemecah ombak untuk mencegah abrasi pantai,” katanya.

Syukurnya, untuk akses informasi dari BMKG, Rahmat menambahkan masyarakat selalu mendapat update terkait kondisi Pulau Sebesi saat ini misalnya iklim dan cuaca, serta kondisi Gunung Anak Krakatau.

Baca Juga: Mimpi Jadi Pesepakbola, Pemuda di Lampung Banting Setir jadi Jurnalis

3. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Pulau Sebesi adalah nelayan dan bidang pertanian

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauAktivitas memasang rumpun oleh nelayan Pulau Sebesi. (Dok. Masyarakat Pulau Sebesi)

Untuk mata pencaharian masyarakat Pulau Sebesi beragam, mulai dari petani, nelayan, buruh, pegawai (guru dan sebagainya), dan pedagang.

“Tapi mayoritasnya memang tani. Tani kebun seperti kelapa, kakao, dan pisang. Ada juga tani sawah tapi gak banyak. Yang banyak lagi itu nelayan, selain itu ada buruh, pedagang, pokoknya ada semua,” ujar Rahmat.

Rahmat juga nelayan di Pulau Sebesi. Ia biasa mencari ikan di Selat Sunda termasuk sekitar Gunung Anak Krakatau. Nelayan di sana menangkap ikan dengan sistem membangun rumpun (rumah ikan).

“Kita bikin rumpun. Nanti setelah datang ke rumpun, baru ikannya kita tangkap. Memang kalau mau dibanding dulu ya jauh. Dulu ikannya lebih banyak dari sekarang, gak buat rumpun juga dapat ikan kalau dulu,” imbuh Ketua Pokmaswas ini.

Rahmat juga tak tahu pasti penyebab ikan semakin berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Namun ia memprediksi hal itu dikarenakan aktivitas nelayan nakal yang menggunakan alat tangkap terlarang.

“Kan ada ya yang bom itu segala macam, mungkin penyebabnya itu lah. Tapi kalau ikan berkurang karena aktivitas gunung itu gak sih, gak ada ngaruhnya,” imbuhnya.

4. Adat istiadat masyarakat Pulau Sebesi

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauIlustrasi ruat laut. (Instagram/aromoto_)

Masyarakat pesisir erat kaitannya dengan budaya yang masih kental. Misalnya adat masyarakat pesisir mayoritas di Indonesia seperti ruat laut tiap tahun sekali.

Namun berbeda dengan masyarakat pesisir di daerah lain, Rahmat menyebutkan tak ada adat istiadat seperti itu di Pulau Sebesi. Baik itu untuk meminta banyak ikan atau keselamatan dari bencana.

“Tapi kita pernahnya ngadain baca doa bersama (yasin dan doa lainnya). Waktu itu pasca tsunami (2018) itu. Kami mengadakan doa dan memohon agar (bencana alam) tak terjadi lagi,” timpalnya.

5. Nonpenduduk pun ikut bertanggung jawab pada kelestarian di kawasan pegunungan

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauDemonstration Plot oleh Dosen dan Mapala Unila. (Instagram/Mapala Unila)

Upaya pengurangan risiko bencana juga tak lepas dari tanggung jawab mesyarakat luar Pulau Sebesi. Pendatang musiman seperti kelompok pecinta alam juga ternyata memiliki peranan khusus untuk keberlangsungan hidup masyarakat sekitar kawasan gunung.

Salah satu kelompok-kelompok pecinta alam ini datang dari anak didik perguruan tinggi. Seperti mahasiswa Universitas Lampung (Unila) yang menggabungkan diri sebagai Mapala Unila.

Yopi, Ketua Mapala Unila 2022 mengatakan selain kegiatan jelajah alam, Mapala juga memiliki banyak aktivitas atau program pemberdayaan masyarakat di pegunungan.

“Tapi karena kami mahasiswa, tentunya kami berjalan sesuai dengan tridarma perguruan tinggi di setiap aktivitas kami. Jadi ada pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat. Penelitian seperti survei ini menurut saya penting karena tiap masyarakat itu berbeda karakteristiknya, jadi tentu sebelum lakukan program kami pelajari dulu masyarakatnya,” jelasnya.

Baca Juga: Cerita Dalang Muda Lampung Semangat Lestarikan Wayang Meski Diremehkan

6. Mapala turut serta kegiatan mitigasi sampai program pemberdayaan masyarakat

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauTaman Baca di Desa Cugung. (Instagram/Mapala Unila)

Salah satu program Mapala Unila 2022 untuk masyarakat pegunungan adalah membantu anak-anak di Desa Cugung, Kaki Gunung Rajabasa, Lampung Selatan. Di sana mereka berbagi ilmu pada anak sekolah yang minim akses informasi.

"Di sana masih banyak ternyata yang minim akses informasi seperti internet. Maka kami membuka taman baca di sana. Terus kami juga edukasi para orang dewasa juga pentingnya membaca, dan tak lupa menyelipkan sisi konservasinya seperti sosialisasi memanfaatkan lahan tanpa merusak dan sebagainya,” paparnya.

Selain untuk masyarakat sekitar, Mapala juga selalu mengadakan edukasi mitigasi bencana pada setiap anggotanya karena bencana tidak bisa diprediksi kapan datangnya.

“Kita pernah tanam mangrove untuk daerah pantai, kalau di gunung supaya gak gampang longsor kami tanamim pohonan. Kalau buka jalur di gunung juga biasanya kami hanya untuk tringulasi saja atau melihat titik puncak tertinggi di wilayah gunung,” katanya.

Mereka hampir tidak pernah memberikan tanda pada jalur gunung yang mereka buka karena ditakutkan akan banyak wisatawan datang sehingga mengganggu kelestarian lingkungan.

“Minimal sampah aja. Apalagi gak bisa dipungkiri pasti ada saja yang gak sengaja buang sampah meski itu hanya puntung rokok. Saya berharap semoga masyarakat punya kesadaran untuk jaga kelestarian lingkungan, karena kalau kita jaga alam pasti alam akan memberikan semua kebaikannya pada kita,” harapnya.

7. Desa tanggap bencana

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauPinterest

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung, Rudy Sjawal Sugiarto mengatakan saat ini untuk mitigasi bencana di Provinsi Lampung sudah berada ditahap kesiap siagaan dan sudah bukan lagi kepada tahap darurat dan rehabilitasi rekontruksi.

“Kami di BPBD provinsi sudah membentuk desa tanggap bencana di wilayah yang rentan terhadap tsunami khususnya di pesisir Lampung seperti di Kunjir Lampung Selatan,” katanya.

Ia menjelaskan, masyarakat di sana sudah dilatih secara mandiri agar bisa melihat tanda bencana dan tanggap bencana. Sehingga ketika bencana datang mereka sudah tidak terlalu panik dan tahu apa yang akan dilakukan.

“Mereka bisa mengakses informasi BMKG baik itu cuaca atau potensi bencana seperti tsunami dan gempa,” ujarnya.

Selain itu kesiap siagaan lainnya adalah berkoordinasi dengan BNPB, melakukan pembentukan forum relawan, membentuk forum pengurangan risiko bencana yang di dalamnya terdapat pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media.

“Jalur evakuasi di wilayah rawan tsunami juga tentu sudah ada di daerah yang lebih tinggi. Kita juga sudah ada penampungan sementara juga di sana,” tambahnya.

8. Persiapan logistik hanya ada untuk bencana darurat skala kecil

Cerita Warga Pulau Sebesi 'Sudah Rukun' dengan Gunung Anak KrakatauPrajurit TNI dan anggota Basarnas mengeluarkan logistik untuk korban gempa bumi Mamuju dan Majene dari pesawat Hercules A 1321 TNI AU saat tiba di Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (15/1/2021). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Selain itu, ia menyebutkan pihaknya selalu mengupayakan setiap kabupaten/kota untuk selalu menyediakan stok logistik dan rencana kontruksi bencana di daerahnya masing-masing.

“Logistik kita ada bahan makanan dan untuk kebersihan. Setiap kabupaten/kota selalu menyediakan stok bencana yang ada di kabupaten/kota,” katanya.

Meski tersedia, Rudy mengaku logistik untuk darurat bencana memang tidak bisa dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang bisa mendapatkan bantuan tersebut. Namun pihaknya selalu berhubungan baik dengan BNPB sehingga dapat meminta bantuan tambahan logistik.

"Tapi terkait logistik itu tak hanya untuk gempa saja tapi juga untuk banjir longsor dan bencana lain yang saat ini banyak terjadi di Lampung. Tapi untuk bencana besar, masyarakat Lampung ini kan terkenal guyub seperti banjir waktu itu dari berbagai arah sandang pangan semua itu banyak yang datang. Yang penting logistik kita tersedia untuk keadaan darurat,” katanya.

Selain itu, ia juga mengatakan untuk kebutuhan anak dan wanita juga tersedia di dalam higienis kit. Meski tak banyak, popok dan pembalut selalu tersedia.

Baca Juga: Gelombang PHK Diklaim Tak Terjadi di Lampung? Ini Kata Disnaker

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya