ilustrasi baca buku (pexels.com/RF._.studio)
Siapa tak tahu tentang Novel Max Havelar karya Douwes Dekker atau dikenal dengan nama pena Multatuli? Novel ini merupakan novel paling bersejarah bagi perjuangan Bangsa Indonesia dalam proses kemerdekaannya dan mencari dukungan Internasional.
Novel ini pertama kali terbit pada 1860 dan diakui sebagai karya sastra Belanda sangat penting karena novel ini memelopori gaya tulisan baru. Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" ("Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda").
Novel ini ditulis oleh Multatuli hanya dalam tempo sebulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada 1860, roman itu terbit untuk pertama kalinya.
Meskipun diakui oleh Belanda sebagai karya sastra asal Belanda, namun novel ini merupakan kritik tajam terhadap praktik kolonialisme Belanda di Indonesia, khususnya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Jawa.
Cerita berpusat pada Max Havelaar, seorang asisten residen (pejabat pemerintah kolonial) idealis di Lebak, Banten. Havelaar adalah seorang pria jujur dan bermoral tinggi, serta sangat prihatin dengan penderitaan penduduk lokal akibat korupsi dan eksploitasi oleh para pejabat kolonial dan penguasa lokal.
Melalui surat-surat dan narasi cerita, Havelaar berusaha untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat tertindas. Dia mengungkap berbagai penyalahgunaan kekuasaan, seperti penarikan pajak yang berlebihan dan kerja paksa.
Namun, upaya Havelaar untuk memperbaiki kondisi tersebut justru membuatnya menghadapi banyak tantangan, termasuk perlawanan dari sesama pejabat dan atasannya yang korup.
Di bagian akhir novel, Max Havelaar akhirnya menyerahkan pengunduran dirinya sebagai bentuk protes karena gagal mendapatkan dukungan untuk reformasinya. Melalui kisah ini, Multatuli ingin membuka mata dunia tentang ketidakadilan yang terjadi di tanah jajahan dan menyoroti penderitaan rakyat pribumi akibat kebijakan kolonial yang kejam.
Max Havelaar bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga sebuah protes politik keras. Novel ini berperan penting dalam mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap kolonialisme dan memicu reformasi dalam kebijakan kolonial Belanda.