Cegah Stunting jadi Lentera Abdi Setiawan Melayani di Pedalaman Papua

Anak-anak di pedalaman Papua butuh dukungan nutrisi

Bandar Lampung, IDN Times - Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) kala berstatus mahasiswa perawat Universitas Pelita Harapan 2017 silam menjadi awal mula Abdi Setiawan jatuh hati kepada tanah Papua. Kala itu, ia ditempatkan di Mamit Kabupaten Tolikara.

Saat PPL perawat di daerah pedalaman Papua tersebut, Abdi menceritakan ada satu mama akan proses melahirkan. Akses jalan dari tempat sang mama menuju klinik hanya bisa ditempuh berjalan kaki selama dua hari. Itu lantaran, belum ada akses jalur darat untuk alat transportasi dan kontur wilayah berupa pegunungan.

Mirisnya lagi, sang mama siap melahirkan sang buah hati harus ditandu. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Belum sempat tiba di klinik untuk persalinan, sang mama mengalami kejadian pilu lantaran sang bayi meninggal di kandungan

“Itu sangat personal bagi saya. Itu juga buat saya putuskan mau kembali ke Papua. Saya terpanggil. Kita merdeka puluhan tahun, ternyata ada saudara-saudara kita belum merasakan akses fasilitas kesehatan. Saya berpikir, pengalaman ini buat saya kembali ke Papua untuk melayani saudara-saudara di sana. Ini buat saya bertekad mau layani di Papua,” ujar Abdi saat diwawancara, Rabu (26/7/2023).

Anak-anak di pedalaman Papua butuh dukungan nutrisi

Cegah Stunting jadi Lentera Abdi Setiawan Melayani di Pedalaman PapuaSalah satu peserta pencegahan stunting di Mamit. (Dok pribadi Abdi Setiawan).

Asa Abdi kembali ke Papua akhirnya terwujud awal 2019 lalu. Periode itu, statusnya bukan lagi sebagai mahasiswa PPL, tapi sudah lulus kuliah dan resmi menyandang status sebagai perawat. Kampung Danowage Kabupaten Bovendigoel (kini masuk wilayah Provinsi Papua Tengah) menjadi tambatan hatinya. Bahkan, ia rela merogoh kocek pribadi demi pergi ke sana.

Ia bersama satu perawat dan dokter bertugas di sana sebagai tenaga kesehatan. Alasan sederhana ia bertugas di Kampung Danowage saat itu adalah anak-anak di sana butuh dukungan nutrisi.

“Mereka banyak sekali mengalami malnutrisi atau standar deviasinya hampir masuk ke minus dua. Jadi kami pikir penting sekali untuk segera ditreatment. Jika tidak ditreatment bakal berujung kondisi buruk. Stunting tidak hanya terjadi setelah anak lahir, tapi saat ibu sedang mempersiapkan kehamilannya,” papar pria kelahiran Sidorejo Lampung  27 Agustus 1995 ini.

Menurutnya, 1.000 hari pertama Kehidupan Anak adalah periode emas. Itu karena, seluruh organ penting dan sistem tubuh mulai terbentuk dengan pesat. Perkembangan yang dimulai adalah kesehatan saluran cerna, perkembangan organ metabolik, perkembangan kognitif, pertumbuhan fisik, dan kematangan sistem imun.

1.000 Hari Pertama Kehidupan adalah masa selama 270 hari dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 tahun. 1.000 Hari Pertama Kehidupan ini sangat penting karena ini adalah periode emas dan tidak bisa diulang.

“Melihat kebutuhan semakin besar dan meningkat, kami akhirnya kembali ke Siloam (Hospitals). Akhirnya bekerja sama dengan PT Matahari. Sampai saat ini Matahari jadi donatur utama program (nutrisi dan penanganan stunting) ini,” ujar pria berkacamata ini.

Terkait nutrisi di Kampung Danowage kala Abdi pertama kali melayani sebagai tenaga kesehatan 2019 lalu menghadapi tantangan. Tantangan itu terkait ada budaya ibu hamil tidak bisa konsumsi daging merah. Itu karena, mereka berpikir jika konsumsi daging ayam, ikan atau daging merah lainnya tidak bisa dinikmati itu lagi bersama keluarga kelak.

“Misal suami berburu (daging merah), diberikan ke istri sedang hamil. Ke depan (ada kepercayaan) suami gak dapat tangkapan buruan lagi dan satu keluarga bisa gak dapat daging lagi. Kami akhirnya beri pemahaman umum ibu hamil butuh nutrisi. Mereka akhirnya memahami,” ujar Abdi.

Improvisasi untuk mengedukasi masyarakat pedalaman seputar stunting

Cegah Stunting jadi Lentera Abdi Setiawan Melayani di Pedalaman PapuaPelayanan siswa Sekolah Lentera Harapan. (Dok pribadi Abdi Setiawan).

Abdi tak menampik, pencegahan stunting awalnya tidak masuk tugas pokok dan fungsi kerja sebagai perawat di pedalaman Papua. Bahkan, mulanya, tenaga kesehatan di sana bertugas mendampingi siswa Sekolah Lentera Harapan dan akhirnya merambat ke masyarakat luas.

Hingga akhirnya Siloam Hospitals selaku tempat Abdi dan rekannya bernaung memberikan bantuan gratis program pencegahan stunting dan nutrisi ke masyarakat periode pertengahan 2019. Saat awal memulai program ini, tantangan dihadapi adalah literasi minim masyarakat yang dilayani.

Alhasil, Abdi dan rekannya melakukan pendekatan dan improvisasi untuk mengedukasi masyarakat pedalaman seputar stunting. Caranya, menggunakan bahasa sangat mudah penduduk pahami dan bahkan, gunakan penerjemah karena ada masyarakat belum mengerti atau fasih bahasa Indonesia.

“Kami juga melalui gereja terkait budaya gak boleh makan daging selama hamil. Sosialisasi lewat gereja dan pendeta beri pemahaman bahwa bisa makan daging (ibu hamil). Kebiasaan lainnya bicara stunting menyangkut akses air bersih dan toilet umum,” jelasnya.

“Budaya mereka anut tidak ada (pakai toilet), tapi perlu ada edukasi untuk literasi. Kami beri akses air bersih dan toilet memadai. Tapi mereka karena belum terbiasa, ke hutan atau tempat menurut mereka sepi dan memilih MCK di sana. Jadinya kami beri pemahaman lagi (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat),” ujar Abdi.

Pencegahan dan penanganan stunting harus dikerjakan multidimensi

Cegah Stunting jadi Lentera Abdi Setiawan Melayani di Pedalaman PapuaPenimbangan salah satu peserta pencegahan stunting di Danowage oleh suster Denti. (Dok pribadi Abdi Setiawan).

Terkait hasil program edukasi pencegahan stunting dan nutrisi, Abdi menilai hingga tahun keempat saat ini apakah dikatakan berhasil atau tidak, belum dapat disimpulkan secara keseluruhan. Itu lantaran, terhitung 1.000 Hari Pertama Kehidupan hingga usia balita proses pertumbuhan anak masih berlangsung.

“Tapi apabila mengacu saat awal program ini berjalan, banyak kasus anak-anak kurang gizi. Setelah penanganan, status kesehatan jauh lebih baik jika dlihat dari gizi. Begitu juga dulu ibu hamil banyak bayi lahir kondisi berat badan kurang dari 2.500 gram. Setelah kami masuk jarang kami dapati kondisi lahir bayi BBLR (berat badan lahir rendah),” urainya.

Ia menambahkan, pencegahan dan penanganan stunting tidak bisa dientaskan mandiri, tapi harus dikerjakan multidimensi. Terlebih, Abdi bersama rekannya saat menjalankan program ini bersifat nonprofit mengandalkan donasi dari tempatnya bekerja, sponsorship dan sebagainya.

Bahkan, untuk menunjang kebutuhan dan ketahanan pangan di wilayah tempat Abdi mengabdi, tak bisa hanya mengandalkan kiriman logistik dari jalur udara. “Saat kirim logistik harus pesan dan lewat jalur udara. Sebelum logistik habis harus siap dikirim lagi. Tapi itu pun saat naik pesawat lihat kondisi cukup atau tidak penumpangnya dan sebagainya karena rutenya kan jauh untuk sekali jalan dan hitung operasional,” jelasnya.

Alhasil, ia bersama rekannya pun memelihara lele dan ayam. Panen lele dapat dijadikan untuk nutrisi protein. Begitu juga ternak ayam dimanfaatkan untuk daging ayam dan telur.

Ia juga bersyukur, pada 2021 lalu terpilih sebagai nominasi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra. Lantaran terpilih sebagai nominator, ada program untuk membagikan sembako kepada masyarakat tempat Abdi bekerja.

“Karena saya tinggal di pedalaman dan bagi sembako ke masyarakat, jadi trust issue. Saya tanya, apakah ada opsi selain bagi sembako, ternyata ada. Akhirnya dana yang kami terima dipakai untuk support kegiatan stunting. Terpenting kebermanfaatannya. Karena kami nonprofit, terbuka menerima donasi dari manapun,” katanya.

Terpanggil melayani maksimal tanpa melihat sisi profit

Cegah Stunting jadi Lentera Abdi Setiawan Melayani di Pedalaman PapuaAbsi Setiawan dan istri sebelum mulai pelayanan pencegahan stunting di Danowage. (Dok pribadi Abdi Setiawan).

Melayani masyarakat sebagai tenaga kesehatan di pedalaman Papua, Abdi sangat bersyukur dan puas. Kepuasan itu menurutnya tolak ukur bukan dari materi. Apalagi, di pedalaman Papua berbicara kenyamanan dan keamanan apalagi saat ini istri dan anaknya domisili di sana tolak ukurnya jauh berbeda dibanding tinggal di kota besar atau wilayah sudah maju.

“Gak menguntungkan kenapa masih ada di pedalaman? Yang buat saya puas dan istri dukung karena punya satu visi yang sama kerjakan bagian kami apa yang sudah Tuhan titipkan. Apalagi terkait profesi saya sebagai perawat,” jelasnya.

“Orang yang terpanggil (melayani di daerah pedalaman) sedikit, kenapa tidak saya sudah terpanggil di sini melayani maksimal tanpa melihat sisi profit tapi melayani hati yang tulus kepada masyarakat,” jelas pria asal Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung ini.

Bahkan, Abdi mengatakan bakal menetap di pedalaman Papua hingga empat tahun mendatang. Setelahnya, ia berencana melanjutkan studi. “Jika Tuhan izinkan kembali ke Papua, kami bakal tetap rindu ke Papua dan punya modal lebih besar dan kapasitas lebih besar juga,” harapnya.

Hingga saat ini, Abdi bersama rekannya melayani di 6 Siloam Clinic pedalaman Papua di bawah naungan RS Siloam. Lokasi pelayanan di antaranya, Danowage Kabupaten Bovendigoel, Papua Tengah; Daboto Kabupaten Intanjaya dan Papua Pegunungan; Mamit Kabupaten Tolikara, Tumdungbon Kabupaten Pegunungan Bintang, Nalca dan Korupun Kabupaten Yahukimo. Direncanakan satu klinik terbaru akan beroperasi di Merauke tahun depan.

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya