Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965

September hitam juga terjadi di Lampung

Intinya Sih...

  • Peristiwa September Hitam di Indonesia
  • Pelanggaran HAM terjadi di bulan September
  • Munir, Tanjung Priok, Semanggi II, dan G30S/PKI

Bandar Lampung, IDN Times - Media sosial ramai dengan tagar #SeptemberHitam beberapa waktu terakhir. Hal ini karena September menjadi bulan kelam dalam sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Selama beberapa dekade, sejumlah peristiwa tragis melibatkan pelanggaran HAM berat terjadi di bulan ini, meninggalkan luka mendalam bagi bangsa dan keluarga korban. Beberapa peristiwa, seperti tragedi pasca 30 September 1965 menjadi pintu masuk bagi penindasan besar-besaran, masih menyisakan banyak tanda tanya dan kontroversi hingga kini. 

Di tengah perjuangan Indonesia dalam memperkuat demokrasi dan keadilan, kasus-kasus pelanggaran HAM ini menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah harus dituntaskan. Dari tragedi besar menyasar ribuan korban hingga kasus nyaris terlupakan.

Berikut IDN Times rangkum daftar pelanggaran HAM terjadi selama bulan September di Indonesia. 

1. Kasus Pembunuhan Munir, awal gerakan September hitam

Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965Hidup korban! Jangan diam! Lawan! (https://www.instagram.com/p/C2PJg41yUfP/)

Kasus pembunuhan terhadap Munir, seorang pejuang dan aktivis HAM merupakan kasus pelanggaran HAM berat, mengawali Gerakan September Hitam. Pembunuhan Munir Said Thalib pada 7 September 2004 menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah hak asasi manusia di Indonesia.

Munir diracun menggunakan arsenik saat berada dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Kasus ini mengejutkan publik karena keterlibatan pihak-pihak berkuasa dan dianggap juga terkait beberapa kasus HAM besar yang sedang diselidiki Munir.

Namun, hingga hari ini, otak utama di balik pembunuhan Munir belum sepenuhnya terungkap. Sementara pelaku lapangan, Pollycarpus Budihari Priyanto, dihukum atas pembunuhan tersebut, pertanyaan besar tentang siapa dalang utama pembunuhan ini masih menggantung.

Meski sudah dua dekade berlalu, isu pembunuhan Munir tetap relevan dalam pemberitaan terkini, terutama dalam upaya menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM dan penindasan oleh negara. Pada setiap peringatan tahunan, aktivis HAM terus mendorong pemerintah untuk menyelidiki kasus ini lebih dalam dan membawa semua pelaku yang terlibat untuk diadili di pengadilan. Hingga hari ini, kematian Munir masih menjadi simbol dari perlawanan terhadap impunitas di Indonesia.

2. Tragedi Tanjung Priok

Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965Poster Aksi Kamisan di depan Gedung Grahadi, Kamis (22/08/2024). (IDN Times/Ryzka Tiara)

Peristiwa Tanjung Priok terjadi 12 September 1984 di Jakarta Utara, ketika massa Islam bentrok dengan aparat keamanan rezim Orde Baru. Akar masalahnya bermula dari penolakan umat Islam terhadap penerapan asas tunggal Pancasila diwajibkan oleh pemerintah.

Ketegangan tersebut memuncak ketika aparat mengintervensi sebuah acara keagamaan di masjid setempat, memicu kemarahan warga. Aksi protes warga kemudian dibalas dengan tindakan represif dari militer, berujung pada pembantaian.

Berdasarkan laporan Komnas HAM, sekitar 79 orang menjadi korban, dengan 23 di antaranya tewas, puluhan lainnya terluka, dan ratusan ditahan tanpa proses hukum yang jelas.

Pembantaian ini menimbulkan kecaman luas, terutama dari organisasi muslim, merasa pemerintah Orde Baru tidak menghormati kebebasan beragama dan bertindak di luar batas dalam menghadapi protes damai. Meskipun pengadilan HAM ad hoc sempat digelar pada awal 2000-an, para terdakwa akhirnya dibebaskan dalam proses banding, sehingga hak-hak korban belum sepenuhnya dipulihkan. Hingga kini, tragedi Tanjung Priok masih menjadi simbol buruknya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.

Baca Juga: Hasil Temuan Komnas HAM Masalah Pra Pilkada 2024 di Lampung

3. Tragedi Semanggi II

Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965Massa membakar ban selama aksi demonstrasi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR RI, Jakarta, hari ini, Kamis (22/8/2024). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Peristiwa Semanggi II terjadi 24-28 September 1999. Peristiwa ini terjadi di tengah protes mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) dan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI.

Mahasiswa memandang RUU tersebut sebagai ancaman terhadap reformasi dan demokrasi yang baru berjalan setelah jatuhnya Soeharto. Aksi-aksi mahasiswa berlangsung di beberapa kota di Indonesia pada saat itu, berakhir dengan tindakan represif dari aparat keamanan. Tercatat, 11 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam peristiwa ini.

Protes di Semanggi II menjadi simbol ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan pasca-Orde Baru dan dianggap masih mengekang kebebasan berpendapat. Meski rezim Soeharto telah tumbang, dwifungsi ABRI masih memberikan militer peran dalam politik sipil masih menjadi isu sensitif.

Tindakan represif aparat memperburuk situasi dan semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses transisi demokrasi yang sedang berlangsung. Hingga kini, keluarga korban peristiwa Semanggi II terus memperjuangkan keadilan.

Namun, upaya mereka menghadapi banyak hambatan, termasuk keputusan DPR pada 2001 menyatakan peristiwa tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat. Meski demikian, peristiwa ini tetap menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan demokrasi di Indonesia, serta cerminan dari tantangan dihadapi oleh gerakan reformasi.

4. Peristiwa G30S/PKI

Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965Aksi kamisan yang ke-828 di depan Gedung Grahadi, Kamis (22/08/2024). (IDN Times/Ryzka Tiara)

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) merupakan salah satu titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Persitiwa ini terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Gerakan ini melibatkan penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat oleh kelompok yang menamakan diri mereka "Dewan Revolusi,".

Gerakan ini diduga dipimpin oleh sejumlah perwira militer dengan dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka mengklaim bahwa tujuan gerakan tersebut adalah mencegah kudeta direncanakan oleh Dewan Jenderal, namun narasi ini kemudian terbantahkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto​.

Setelah peristiwa tersebut, muncul tindakan balasan dari militer dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, dengan cepat mengambil alih kendali dan melumpuhkan gerakan tersebut. Peristiwa ini memicu gelombang pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI di seluruh daerah di Indonesia.

Diperkirakan antara 500.000 hingga 1 juta orang tewas dalam aksi pembalasan tersebut, menjadikannya salah satu peristiwa pembunuhan massal terbesar dan pertama dalam sejarah Indonesia. Selain itu, PKI kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang, dan Soeharto mulai membangun kekuasaannya bertahan hingga lebih dari 30 tahun​.

Apa yang terjadi dalam G30S/PKI masih menjadi bahan perdebatan hingga kini. Ada banyak versi mengenai dalang utama di balik gerakan ini, dengan beberapa peneliti internasional meragukan narasi resmi menyalahkan PKI sepenuhnya.

Meski demikian, narasi Orde Baru menyebut PKI sebagai pengkhianat bangsa menjadi dominan selama pemerintahan Soeharto. Tragedi ini tidak hanya berdampak pada politik dan keamanan, tetapi juga menciptakan trauma mendalam dalam sejarah sosial Indonesia​.

5. UBL Berdarah

Viral Tagar September Hitam di Medos, Kenang Kejadian Kelam Sejak 1965Demonstrasi rakyat di Saints Petersburg Russia (commons.wikimedia.org/George Shuklin)

Di Lampung juga terdapat peristiwa pelanggaran HAM di bulan September. Peristiwa itu dikenal dengan Peristiwa UBL Berdarah, merujuk pada tragedi 28 September 1999 di Universitas Bandar Lampung (UBL). Saat itu, mahasiswa melakukan aksi protes terkait ketidakpuasan terhadap kebijakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI.

Aksi ini mendapat tindakan represif dari aparat keamanan dan berujung pada kematian dua mahasiswa yakni Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Lampung yang tewas ditembak apparat keamanan.

Muhammad Yusuf Rizal, seorang mahasiswa FISIP dan Saidatul Fitria, seorang fotografer untuk surat kabar kampus Teknokra, tewas akibat kekerasan bersenjata dilakukan oleh aparat. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM dan hingga kini belum mendapatkan pengusutan tuntas atas kasus tersebut.

Gerakan mahasiswa di Lampung secara rutin memperingati tragedi ini sebagai bentuk penolakan untuk melupakan kejadian tersebut Setiap tahun, aktivis dan mahasiswa Lampung memperingati Tragedi UBL Berdarah dengan aksi solidaritas, menuntut adanya pengusutan lebih menyeluruh dan penegakan keadilan bagi para korban.

Mereka juga mendorong pemerintah untuk membentuk tim investigasi dan mengadakan peradilan ad hoc untuk menyelesaikan kasus ini. Meskipun rutin dilaksanakan setiap tahunnya, nyatanya hingga saat ini tidak ada tindakan lebih lanjut untuk kasus ini.

Baca Juga: AJI Bandar Lampung Gelar Penghargaan Saidatul Fitriah dan Kamaroeddin

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya